27.5 C
Jakarta

Menangani Radikal-Terorisme: Spirit Nasionalisme yang Tak Banyak Diminati

Artikel Trending

Milenial IslamMenangani Radikal-Terorisme: Spirit Nasionalisme yang Tak Banyak Diminati
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Almarhum Gus Dur dalam esainya, Tugas NU dan PKB dalam Politik Nasional, pada 6 Desember 2004 silam, pernah membuat pernyataan yang mungkin membuat sebagian orang heran: “…ada kecenderungan pengurus NU adalah orang yang kalah saing dalam PKB, yang membuat mereka lalu berorientasi politik praktis.” Apakah itu ada kaitannya dengan konflik PBNU dan PKB hari-hari ini?

Berbicara tentang teritorial politik PKB, kata Gus Dur, berarti pula bicara peran NU dalam kancah politik nasional. Membicarakan PKB tanpa menyinggung NU dianggap sesuatu yang mustahil, karena PKB itu sendiri merupakan bagian independen NU dalam politik praktis. Meski politik NU sejujurnya tak sepragmatis itu.

NU dan Loyalitas Nasionalisme

Gus Dur menegaskan bahwa orientasi NU tetaplah bidang pendidikan dan pemikiran keagamaan, terutama wasatiah melalui Islam Nusantara. Radikal-terorisme juga termasuk ke dalam pemikiran keagamaan. Jika teritori kekuasaan mesti menjadi otoritas untuk mengonter gerakan radikal-teror, maka apa pun alasannya, itu tetap berada di wilayah politik praktis.

Radikalisme kemudian hanya komoditas belaka, menjadi tameng untuk mendapat posisi dalam pemerintahan. Melindungi negara lantas jadi lahan pamrih atas posisi tersebut. Alih-alih membuat paham radikal musnah, justru radikalisme itu sendiri kini kian masif karena pemberantasannya diwarnai sebuah transaksi politik. Misalnya kata-kata, “kalau tidak dapat kursi menteri A, kita tidak ikut konter radikal-terorisme“.

Konsistensi NU dalam loyal kepada negara adalah sesuatu yang tidak perlu diragukan. PBNU tahu bahwa sementara nahdiyin menjadikan organisasinya sebagai komoditas politik, dengan dalih melindungi negara dari radikalisme. Jika demikian, maka benar kata Gus Dur, dalam esai tersebut, bahwa mungkin yang diperlukan ialah “pembenahan personalia”.

Bagi beberapa kalangan, bisa jadi itu adalah berita buruk. Intensitas segelintir nahdiyin mengintervensi kebijakan pemerintah juga disikapi pro dan kontra. Ada yang mengatakan, itu demi negara. Yang lainnya berpendapat, itu sudah keluar dari khitah. Apa pun alasannya, melindungi negara dari radikalisme sesungguhnya adalah ‘tugas umum’ warga negara. Namun begitu, bukankah yang demikian menjadi bukti konkret bahwa nasionalisme tak lagi digemari sebagai tugas moral warga negara?

Nahdiyin dan Kontra-Radikal-Terorisme

Kita mungkin tidak akan berani mengatakan bahwa sementara nahdiyin sudah melangkah melampaui koridor ke-NU-an, karena beberapa alasan misalnya. Tetapi kita juga tidak memiliki hak untuk memonopoli narasi kontra-radikal-terorisme itu sendiri. Membela Pancasila dan melindungi negara, atau segala wujud nasionalisme itu adalah wajib tanpa perlu imbalan apa pun yang sifatnya pragmatis.

BACA JUGA  Melawan Otoritarianisme-Radikalisme dengan Tradisi Kritisisme

Sebagai nahdiyin, dengan jargon yang melekat di benak seperti “NKRI Harga Mati”, menangani radikal-terorisme merupakan puncak loyalitas atas nasionalisme. Jika beberapa hari lalu Banser jadi sorotan karena membubarkan pengajian Ustaz Syafiq Riza yang Wahabi, maka langkah yang lebih strategis semestinya juga dilakukan nahdiyin di pusat, yakni PBNU, untuk mendesak perumusan regulasi terkait. Radikal-terorisme tidak boleh dibiarkan.

Memang benar apa yang diterangkan oleh Cholil Nafis, tindakan militerisasi untuk menangani radikal-terorisme adalah sesuatu yang tidak perlu. Kendati demikian, para dai Wahabi juga mesti menyudahi kebiasaannya untuk mengumpat kelompok yang berbeda. Labelisasi bid’ah dan khurafat dapat dikategorikan sebagai narasi radikal, sehingga mereka juga perlu berbenah dari doktrin-doktrin yang mendestruksi kerukunan antarkelompok Islam.

Bagaimanapun, radikalisme adalah persoalan yang kompleks. Memberantas secara militer adalah penanganan hilir, tetapi tidak menghanguskan yang di hulu, otak dari segala paham radikal tersebut. Langkah nahdiyin sebagai tanggung jawab nasionalisme harus berorientasi pada pemberantasan persuasif untuk membunuh ideologinya—sebuah penanganan langsung di akar. Dengan demikian, spirit nasionalisme akan akan memuncak lagi.

Nahdiyin: Katalisator Nasionalisme

Melindungi negara dengan cara terlibat menangani radikal-terorisme adalah PR bersama. Perang total melawan ideologi perusak negeri mesti menjadi spirit bersama. Para nahdiyin mesti berada di garda terdepan dan menjadi katalisator. Boleh jadi dengan demikian spirit nasionalisme akan meningkat lagi.

Memberantas radikal-terorisme pun tidak lagi tugas pemerintah semata, melainkan seluruh elemen masyarakat. Nahdiyin adalah para aktor yang berjalan di atas khitah NU untuk “memberi advokasi demi kepentingan orang banyak,” seperti diuraikan Gus Dur dalam esai tersebut. Melindungi negara dari paham radikal-teror adalah keniscayaan bersama. Ia bukan persoalan yang hegemonik organisasi tertentu, namun di tengah defisit spirit nasionalisme ini, nahdiyin mesti mengatalisasi hal tersebut.

Penggiringan narasi publik untuk menyalahkan nahdiyin seperti dalam kasus Banser kemarin bukanlah ide bagus. Pertimbangan keterlibatan nahdiyin dalam tanggung jawab nasionalisme tidak sekadar berasaskan tugas mulia menjaga keutuhan negara, tetapi juga memantik semaraknya spirit nasionalisme itu sendiri.

Tugas nahdiyin sebagai katalisator kontra-radikal-terorisme ini juga dapat menjadi penangkal stigma grassroot bahwa PBNU terlalu elitis ihwal nasionalisme, di samping mengantisipasi apa yang dikhawatirkan Gus Dur bahwa “NU asyik bermain politik praktis di tingkat nasional dan melupakan hal-hal di atas.” Jika nahdiyin berada di garda terdepan dalam menangani radikal-terorisme, spirit nasionalisme seluruh bangsa juga akan ikut bangkit kembali.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru