26.1 C
Jakarta

Memberantas Ormas Intoleran dengan Gerakan Penuh Teladan

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMemberantas Ormas Intoleran dengan Gerakan Penuh Teladan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ormas di Indonesia selalu menyumbangkan kontribusi di setiap zamannya. Masa pra-kemerdekaan, ormas menjadi salah satu penggerak dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Tidak hanya menjadi motor pendidikan, ormas juga menyimpan cadangan tenaga sebagai prajurit andal yang menebalkan lini depan. Akan tetapi peran ormas kian diuji di zaman reformasi, dan posisinya kian dihadapkan persoalan ideologi. Bukan menghadapi penjajah luar, melainkan saudara sendiri yang turut mengancam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Meskipun seringkali ormas memunculkan gerakan revolusioner yang mengerek negara ke pentas dunia. Namun, saluran aspirasi dari ormas tertentu tanpa adanya telaah mendalam bisa menghancurkan keutuhan negara itu sendiri. Contoh nyata dua ormas yang dibubarkan karena dianggap sebagai perusuh dan mengancam kedaulatan bangsa adalah FPI dan HTI.

Kedua ormas tersebut sama-sama berpendapat bahwa pembentukan negara Islam bisa dijadikan solusi atas merebaknya penderitaan dan kemunduran bangsa selama ini. Padahal dengan keadaan Indonesia yang multikultural, sangat memungkinkan terjadinya perpecahan di antara penduduk. Contoh paling nyata, pada saat penggantian Piagam Jakarta menjadi Pancasila yang butir pertamanya dianggaap mengucilkan non-Muslim.

Terjadi perdebatan panjang di sana. Dan untuk menghindari konflik lebih panjang, semua pihak sepakat untuk menghapus kata-kata yang dipermasalahkan.

Pewujudan negara Islam merupakan gagasan lama yang masih diperjuangkan hingga sekarang. Bentuk realisasi dari visi ini sudah bermacam-macam, dari pembentukan Perda Syari’ah yang dahulu menuai konflik, hingga demo besar-besaran untuk menyuarakan gagasan. Bayangkan saja, bagaimana gerombolan manusia dengan jumlah besar mengepung jalanan. Kemmudian dengan garangnya menghabisi semua pendapat yang dirasa bertentangan.

Kemudian pernah ada gerakan penyusupan ajaran ke desa-desa melalui penguasaan masjid yang dimulai dengan memberikan pelayanan kebersihan secara gratis. Memulai dari petugas kebersihan, lalu naik pangkat menjadi imam shalat. Setelah semua tugas itu dijalankan, maka kepercayaan naik, dan diangkatlah menjadi khatib atau pembicara dalam berbagai acara. Dari sana ajaran-ajaran radikal mulai disebarkan ke ribuan masyarakat perdesaan.

Kenyataan ini membuat pemerintah harus lebih waspada dalam memilah ormas yang berperan dan ormas yang mengancam. Kehadiran ormas-ormas baru yang muncul karena isu-isu belakangan ini, haruslah dikontrol, agar nantinya tujuan dari ormas tersebut tidak berbelok dan mengancam kedaulatan bangsa.

Demikian, pemerintah telah melakukan sebuah trobosan besar dengan menyusun undang-undang tentang ormas. Pada tanggal 24 Oktober 2017, pemerintah telah mengesahkan Perpu. No. 2 Tahun 2017 menjadi salah satu tameng dalam mengatasi radikalisme di Indonesia. Meskipun begitu, peran aktif dari kerjasama pemerintah, warga, hingga ormas moderat juga diperlukan. Mereka bisa membantu masyarakat yang sudah terpapar paham radikal.

BACA JUGA  Bahaya Islam Transnasional dan Kewajiban Masyarakat untuk Memeranginya

Kehadiran ormas NU dan Muhammadiyah di masyarakat akan sangat berperan dalam perpolitikan ideologi. Dasar-dasar pergerakan mereka bisa menjadi tameng dalam menghambat lajunya penyusupan ideologi intoleran.

Dalam NU, ada 3 ajaran yang selalu diwariskan dari Rasulullah, sahabat, hingga ulama sekarang. Pertama, At-tawasuth, sikap tengah-tengah, tidak condong ekstrem kiri atau pun ekstrem kanan. Memunculkan sebuah solusi yang tidak berdampak pada terjadinya pertengkaran. Biasanya solusi yang diambil mengedepankan intelektualitas berpikir, agar nantinya tidak menimbulkan kerancuan di kedua belah pihak.

Kedua, Al-tawazun ataupun seimbang. Sikap ini didasarkan pada pengambilan dalil dan nalar dalam menentukan keputusan. Solusi terhadap semua permaasalahan adalah melihat situasi dan kondisi yang terjadi. Jika menghadaapi masyarakat yang intelektualis dan tidak terlalu percaya akan dalil naqli, maka proses penalaran dibutuhkan. Oleh sebab itu, penguasaan di antara keduanya harus dibangun secara seimbang.

Ketiga, Al-i’tikad, yang berarti tegak lurus. Prinsip ini mengatur agar senantiasa berada di jalan kebenaran. Meskipun senantiasa tawaran-tawaran menggiurkan datang, jalan kebenaran adalah harga mati yang harus ditempuh. Sikap ini yang mengantarkan NU menjadi ormas yang moderat. Tidak bergeser dari tanduk kebenaran, dan terus menerjang setiap kemungkaran dengan cara-cara yang mengesankan.

Pun begitu untuk Muhammadiyah sendiri, K.H. Ahmad Dahlan pernah berpesan dalam membangun dakwah yang ideal. “Teladan yang baik adalah khotbah yang jitu.” Kata-kata tersebut terus bergema dan menjadi naluri dalam setiap pergerakan dakwah Muhammadiyah. Mereka membuktikan dengan kehadiran madrasah-madrasah, rumah sakit, dan koperasi yang berfungsi untuk kesejahteraan umat. Mereka terus berkembang dan membuktikan dengan teladan yang baik.

Prinsip keduanya bisa menjadi counter ataupun inspirasi bagi organisasi radikal yang berusaha menghancurkan negeri. Ciri ormas radikal yang terlalu keras bisa diubah menjadi agak lembut dan lebih bersahaja. Kemudian mengartikan dakwah dengan gagasan-gagasan yang inspiratif dan mampu menolong semua orang. Semoga ormas bisa berfungsi secara optimal untuk kemajuan bangsa.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru