28.9 C
Jakarta

Memberantas FPI, Memberantas Pembising Negeri

Artikel Trending

Milenial IslamMemberantas FPI, Memberantas Pembising Negeri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sejumlah anggota TNI berseragam lengkap mendatangi Markas DPP Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan, Jakarta Pusat, pada Kamis (19/11) lalu. Mereka menurunkan baliho Habib Rizieq Syihab, yang kemudian mendapat perlawanan dari para pengikutnya. Tindakan TNI tersebut lantas menuai pro-kontra. Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurrahman dengan lantang mengaku itu adalah instruksinya. Jika perlu, menurutnya, memberantas FPI harus menjadi pilihan. “Kalau perlu, FPI bubarkan saja,” jelas Dudung, pada Jum’at (20/11).

Sementara pihak mendukung, karena FPI dituding sebagai biang kekacauan, terutama ketika Imam Besar mereka pulang—dideportasi Arab Saudi. Pihak lain menyebut bahwa TNI telah bertindak terlalu jauh karena ikut campur dalam urusan politik. “Kelihatannya isi baliho bagus2 saja knp banyak yg kepanasan? Apa yg harusnya dikerjakan memberantas separatis tdk dilakukan eh malah memberantas baliho,” tulis Fadli Zon, politikus Partai Gerindra, di akun Twitter pribadinya. Separatisme yang dimaksud Fadli Zon adalah gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM) yang terkesan dibiarkan oleh TNI.

Kritik juga datang dari juru bicara HTI, Munarman. Ia menyampaikan beberapa poin, yang di antaranya, TNI menjalankan operasi militer selain perang. Berdasarkan UU, perintah OMSP hanya bisa dikeluarkan atas kebijakan politik negara yang dalam hal ini Presiden Joko Widodo.  Munarman menyebut, hal yang dilakukan TNI dengan menargetkan FPI hanya untuk menakut-nakuti. “Itu artinya kebijakan politik negara yang langsung diputuskan oleh Presiden saat ini adalah spanduk, baliho dan nakut-nakutin FPI,” ujar Munarman, sebagaimana dilansir Kumparan.

Wajah populisme Islam hari-hari ini memang tengah menggempita, dan diprediksi menciptakan alur politik baru yang menjadi rival kelompok nasionalis. Di hadapan Habib Rizeq, pemerintah dianggap tidak berdaya. Sementara pada saat yang sama, jaringan FPI semakin menguat, bahkan berpotensi ada penyatuan kekuatan dengan para aktivis HTI. Apakah ini akan menjadi sinyal buruk, dalam artian pemerintah juga akan memberantas FPI sebagaimana yang dilakukan terhadap HTI tiga tahun lalu?

Masa Depan FPI Akan Serupa HTI?

FPI bukan HTI. Itu jelas. HTI tidak menuntut penegakan khilafah, melainkan bercita-cita menjadikan syariat Islam sebagai konstitusi yang melampaui hak kesetaraan: NKRI Bersyariah. Meski begitu, sampai saat ini belum ada sikap tegas bahwa FPI menentang konsep khilafah, justru dalam berbagai aksi mobilisasi massa, mereka terlihat membaur bersama. Di antara kerumunan, bendera hitam HTI berkibar jelas. Habib Rizieq misalnya, tidak pernah ketahuan mengkritik Felix Siauw. Karenanya, tidak heran jika ditanya: setelah HTI bubar, apakah FPI akan mengalami nasib yang sama?

Sebagai organisasi yang sama-sama menggunakan emosi keagamaan umat, FPI dan HTI adalah kawan dalam hal memusuhi pemerintah dan ingin menumbangkan mereka. Stigmatisasi rezim sudah keduanya lakukan. Yang satu mencitrakan Jokowi dan pemerintahannya sebagai komunis anti-Islam, sementara yang lainnya memburukkan sistem pemerintahan secara keseluruhan. FPI lebih siluman karena pada satu sisi, mereka menyetujui konsep kebangsaan demokratis. Jadi sekalipun sama-sama mengincar kursi kekuasaan, HTI tetap lebih konfrontatif, sementara FPI lebih lunak.

BACA JUGA  Menyelamatkan Demokrasi: Menentang Politik Dinasti dan Khilafahisasi NKRI

Jika relasi FPI akan terus memanas dengan pemerintah, sebagaimana yang hari ini tengah dipertontonkan, maka ia adalah ancaman. Sebagai ancaman terhadap NKRI, memberantasnya menjadi keniscayaan. Tolok ukurnya adalah apabila mereka menyasar empat pilar kebangsaan. Selama ini, narasi mereka, kendati tidak efektif mendominasi umat dan kekuasaan, sangat masif. Sekarang juga mereka telah menjadi besar, apakah kemudian semakin mencitrakan pemerintah sebagai yang tidak berdaya di hadapannya?

Tidak ada yang tahu dan memprediksi bahwa memberantas FPI akan dilakukan. Militansi pengikut HTI kalah dengan FPI. Ia tidak hanya memperoleh simpati tokoh, melainkan juga menguasai akar rumput (grassroot). Boleh jadi saat ini, rembuk ke arah pembaruan tengah dilakukan. Konsekuensi pembubaran akan lebih besar, jauh daripada reaksi atas pembubaran HTI. Semuanya harus dipertimbangkan dengan jelas. Pemerintah tidak butuh rekonsiliasi, dan Habib Rizieq pasti enggan berdamai. Solusinya hanya satu, menunggu realitas ke depan. Jika FPI semakin konfrontatif, bernasib seperti HTI adalah niscaya.

Beranikah Negara Memberantas FPI?

Menarik untuk mengutip pernyataan Vedi R. Hadiz dalam buku Populisme Islam (2018: xix) berikut:

Tanggapan awal Joko Widodo terhadap ancaman yang dihadapinya setelah kejatuhan Ahok, bekas sekutu politik dekatnya, agak berbau represif, ditandai oleh pembungkaman salah satu organisasi yang menjadi pemicu aksi bela Islam, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dikatakan bahwa tujuan HTI menciptakan khilafah yang bersifat transnasional merupakan ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dicabutnya badan hukum HTI memiliki dampak yang signifikan terhadap perlawanan mereka. Mereka jadi kalah, tak terorganisir. Sekalipun aktivis HTI tetap eksis di berbagai platform dengan narasi yang lebih vulgar tentang makar, tetapi mereka kini tak ubahnya ban yang sudah kemps—bisa berjalan namun tidak memiliki efektivitas yang dominan. Yang diuntungkan dalam hal ini bukan hanya rakyat, melainkan secara khusus adalah pemerintahan Jokowi sendiri.

Negara, idealnya, memiliki kemampuan penuh untuk melakukan apa saja secara konstitusional. Apalagi tujuannya adalah dalam rangka keutuhan NKRI. Dengan kata lain, memberantas FPI bukan perkara sulit, tetapi rezim hari ini memakai cara persuasif. Jika ada kemungkinan bahwa FPI tidak akan lagi menciptakan kebisingan negeri, pembubaran tidak akan terjadi. Dari sini, seharusnya para aktivis FPI tahu diri, bahwa andai mereka ingin diberagus, maka itu teramat mudah bagi pemangku kebijakan.

Selaiknya FPI tidak memancing kericuhan yang membuat pemerintah merasa perlu bertindak represif sebagaimana yang dilakukannya kepada HTI. Habib Rizieq seharusnya mengubah gaya dakwah, sekalipun sikap keras kepalanya tidak akan menerima kelunakan. Arogansi besar yang dibangun FPI sangat bising: menggaungkan Revolusi Akhlak tetapi dirinya sendiri tidak berakhlak; menggaungkan kejayaan syariat Islam tetapi intrik politiknya jauh dari kata Islami. Nasab dibanggakan, menjadi seolah yang paling dekat dengan Islam.

Baiknya, memang, jika persuasi tetap tidak digubris, pemberantasan dengan cara mencabut badan hukumnya harus segera dilakukan. Selain demi kelestarian persatuan majemuk, stabilitas persatuan NKRI,juga untuk menghindari kebisingan yang memuakkan.

Wallahu A’lam bi as-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru