29.7 C
Jakarta

Membela Negara Islami

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMembela Negara Islami
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Perubahan sistem politik di Indonesia selalu diwarnai oleh politik identitas, terutama pada Pemilu 2019 lalu. Kelompok-kelompok ekstrem-radikal telah memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan tertentu dalam rangka mengganti tatanan pemerintah, baik dalam konteks sosial, politik, budaya, hukum, dan ekonomi. Dan aspirasi mereka meminta penegakan negara khilafah, dan formalisasi syariat.

Meskipun kelompok ekstrem-radikal tidak pernah melakukan upaya pemberontakan pada negara, dan aksi terorisme. Mereka kerapkali menebar intoleransi, dan paham ekstrem-radikal ke tengah-tengah masyarakat. Pun isu agama tidak pernah berhenti dibenturkan dengan Pancasila sebagai dasar falsafah dalam bernegara, konfrontasi mereka menunjukkan suatu sikap ketidaksetiaan pada negara.

Sehingga, eksistensi kelompok ekstrem-radikal dapat dibuktikan oleh kehendak mereka dalam bernegara, agama telah mereka jadikan alat untuk melawan ideologi negara tanpa mengurangi rasa sadar sedikit pun. Apalah arti hubungan harmonis antara Islam dan negara, jika ketidaksetiaan itu datang dari umat Islam sendiri?

Di sisi lain, perlawanan pada negara yang disertai simbol-simbol agama telah menjadi bukti terang bahwa kaum ekstremis-radikalis tidak mematuhi atau mentaati syariat Islam. Sebagaimana dalam kaidah maqasidus syariah meletakkan fungsi hidf din yaitu, menjaga agama. Artinya, seseorang dapat dianggap taat pada agama apabila dia memiliki komitmen baik dalam menjaga hubungan baik dengan negara.

Nasaruddin Umar, dalam hal ini, telah menarik pemahaman soal intisari Islam itu ar-rahim (cinta kasih), makanya kamu wajib alias harus menjadikan cinta sebagai landasan dalam semua aktivitas, termasuk dalam bernegara. Karena secara hakikat Islam itu diturunkan ke muka bumi untuk menciptakan perdamaian, bukan malah sebagai pencipta kegaduhan sosial, dan menebar ancaman (teror).[hal. 1]

Sebaliknya, kerusakan semakin tampak akibat kekerasan atau aksi terorisme yang dilakukan oleh jaringan kelompok teroris. Mulai dari ISIS, al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, Hamas, JAD, MIT, MIB, dan kelompok lainnya. Adapun di Indonesia, meski tidak melakukan aksi teror adalah FPI, eks HTI, dll. Indikator kelompok teroris, dan kelompok ekstrem-radikal tersebut adalah jihadnya politis.

Keberadaan mereka (kalangan Islamis) hanya satu pilihan yaitu menginginkan negara Islam Indonesia (NII). Tetapi, bukan negara Islami. Selaras atas apa yang dikatakan Haidar Bagir, Islam seperti inilah “Islamnya manusia”, bukan “Islamnya Tuhan” karena merupakan hasil interpretasi terhadap ajaran Tuhan.[hal. 6]

Bernegara Ala Rasullullah

Buku yang ditulis Azhar Muhamad Akbar, memuat berbagai gagasan segar soal bagaimana menjadi muslim yang taat pada negara sembari setia pada negara. Perlu digaris bawahi, bahwa kelompok yang tidak ingin negara Indonesia menjadi negara Islami, sikap tersebut adalah berbuat tidak taat pada hukum agama. Dan persoalan demikian yang menyebabkan segelintir umat Islam agak radikal alias memberontak.

Etika Rasulullah Saw dalam bernegara. Ia sedemikian terbuka (demokratis) dengan berbagai beda pandangan. Meskipun Rasulullah adalah nabi, tidak lantas bersikap otoriter, keras dan tidak mendengarkan orang lain. Bahkan, bukan hanya dengan umat Islam, dengan non-Muslim pun Rasulullah Saw sering bermusyawarah.[hal. 31]

Sebelum berdirinya kota Madinah kala itu, Rasulullah hidup berdampingan dengan kaum Yahudi, dan Nasrani. Hal ini etika atau akhlak yang dipraktikkan dalam rangka taat pada ajaran Islam, dan setia pada negara. Sebab itu, Rasulullah merindukan hubungan yang harmonis baik dengan negara maupun agama lainnya.

Praktik keberagamaan dan kenegaraan ala Nabi harus menjadi keteladanan prioritas tanpa terkecuali. Sungguh luar biasa akhlak dan etika Nabi dalam bernegara. Bukan konsep dan gagasan belaka, tapi terpancar dalam perilakunya juga. Itulah etika yang diajarkan Rasulullah dan orang-orang beriman dalam bernegara.[hal. 32]

Benih-benih sikapnya yang arif mencerminkan sebagai seorang best leader yang humanis, dan menjunjung tinggi pluralisme. Dengan demikian, kebijakan Rasulullah tampak penuh kasih, dan peduli pada agama dan negara. Walaupun muslim mayoritas ia tidak melakukan tindakan maupun kebijakan yang sifatnya diskriminatif.

BACA JUGA  Hadis-hadis tentang Politik Kebangsaan; Sebuah Telaah

Dalam tinta sejarah, Nabi Muhammad Saw saja pernah merumuskan piagam Madinah yang mengandung prinsip-prinsip kenegaraan. Yakni prinsip kebebasan beragama, menjaga hubungan antar kelompok, dan kewajiban bela negara. Prinsip-prinsip itu telah ditampilkan Rasulullah dalam kehidupan bernegara.[hal. 42]

Dimana melalui piagam Madinah Rasulullah berkehendak menciptakan kondisi aman, tentram, dan damai. Sehingga, semua kalangan, dalam hal ini, umat Islam dan non-Muslim tidak lagi bersiteru ataupun berselisih dan berkonflik yang disebabkan faktor perbedaan keyakinan. Terutama soal klaim mayoritas dan minoritas ini.

Gaya Rasulullah mengatur kepemimpinan dalam bernegara, dan membungkam kelompok ekstrem-radikal adalah dengan merumuskan piagam Madinah. Begitu juga, Indonesia yang menjadi kuat disebabkan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 yang dirumuskan oleh pada pendiri bangsa, serta para ulama yang ikut andil berijtihad dalam rangka menfinalkan konsensus kebangsaan.

Membela Negara

Membela Pancasila sama dengan membela negara, kenapa segelintir umat Islam terkadang beranggapan bahwa orang tersebut munafik, dan tidak taat pada ajaran Islam? Tentu, dalam situasi demikian, mungkin mereka belum cukup mampu mengjangkau apa yang dilakukan pemerintah seperti Presiden. Ketika itu, Rasulullah Saw menjabat di kota Madinah, sedangkan di Indonesia kali ini adalah Joko Widodo.

Nasionalisme adalah cinta tanah air dengan wujud bela negara. Dan Rasulullah pun mempraktikkannya dengan membela kota Madinah dari ancaman kaum Paganis Mekkah dengan beberapa kali peperangan. Sementara itu, Rasulullah mencintai kota Madinah sebagai tanah airnya, yang patut dibela sehingga dalam Islam terkenal sebuah pepatah “Hubbul Wathan Minal IIman”. Artinya, cinta tanah air adalah sebagian dari iman.[hal. 47]

Mereka (kelompok ekstrem-radikal) tidak sadar bahwa tindakan pemerintah merupakan bentuk kecintaan, peduli, dan kesetiaan bagaimana negara harus diperjuangkan demi keamanan seluruh masyarakat Indonesia. Inilah nasionalisme yang sesungguhnya yaitu taat pada agama, dan setia pada negara itu sendiri.

Dalam kaitan tersebut, karena kecintaannya itu, Rasulullah juga mewajibkan warganya membela kota Madinah apabila diserang oleh musuh dengan cara musyawarah. Muslim ataupun bukan sama-sama diwajibkan membela karena walaupun beragam, baginya, semua warga itu sama, yakni satu bangsa.[hal. 48]

Dalam buku ini tergambar jelas bagaimana Rasulullah mengamalkan etika sosial yang baik selama memimpin kota Madinah, dan menjaga hubungan agama (Islam) dengan negara. Inilah nasionalisme Nabi yaitu meneguhkan komitmen kebangsaan tanpa pilih kasih, seluruh masyarakat Madinah dianjurkan untuk melawan musuh yang ingin menyerang.

Tiba di akhir kesimpulan, bahwa masuknya jaringan kelompok terorisme, dan kelompok ekstrem-radikal. Tentu, adalah bahaya (musuh) tersendiri bagi keamanan negara Islami. Sebab, tindak kekerasan yang mereka lakukan hanya dendam membara yang keinginan untuk mendirikan negara Islam Indonesia ditolak mentah-mentah.

Maka dari itu, keimanan bukan hanya dalam dada, tapi ditampilkan dalam perilaku. Oleh sebab itu, perilaku kita menjaga negara ini, dan cinta pada tanah air merupakan cerminan iman.[hal.150]

Judul Buku      : Taat Pada Agama, Setia Pada Negara

Penulis             : Azhar Muhamad Akbar

Penerbit           : Yayasan Islam Cinta Indonesia

Tahun Terbit    : 2018

ISBN               : 978-602-53014-5-2

Tebal               : 154 Halaman

 

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru