26.6 C
Jakarta
Array

Membedah NU dan Islam Indonesia

Artikel Trending

Membedah NU dan Islam Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

NU dan tradisi Islam di Indonesia ini tentu sudah mengenal bahwa NU adalah Nahdlatul Ulama yang didirikan pada tahun 1926. Dan NU itu menganut paham Aswaja (ahlus sunnah wal jamaah), meskipun sesungguhnya kaum muslimin Indonesia itu sebagian atau mayoritas terbesarnya adalah ahlus sunnah wal jamaah apakah dia itu NU, Muhammadiyah, Persis, apakah Nahdlatul Wathan, Darul Dakwah wal Irsyad, mereka semua adalah orang penganut ahlus sunnah wal jamaah atau bisa disebut dengan istilah kelompok yang mengamalkan pemahaman sunni.

Tapi bedanya adalah bahwa Aswaja-Nya NU ini disebut Aswaja dengan tiga prinsip dasar. Pertama, mengikuti kalam atau teologi asy’ariyah. Kedua, mengikuti fiqih mazdhab yang empat (madzahibul ar ba’ah) dengan penekanan khusus pada madzhab syafi’i. Ketiga, adalah mengikuti tasawuf ghazali atau tasawuf imam al-ghazali, tasawuf akhlaqi, tasawuf amali, ataupun tareqat-tareqat yang sudah mu’tabarah atau bersifat shahih dan valid.

Masyarakat menegaskan NU sering disebut sebagai representasi dari tradisi Islam (Islam tradisional). Islam tradisi yaitu Islam yang memang sudah terbentuk menjadi sebuah tradisi sejak zaman nabi Muhammad Saw, sampai kepada para sahabat, tabi’in, tabi’in-tabi’in, sampai kepada ulama-ulama sesudahnya dan sampai sekarang ini.

Oleh karena itu, maka tradisi NU sesungguhnya sangat kaya karena banyak sekali sumbernya, sumbernya yaitu sejak zaman nabi sampai generasi saat ini yang menghasilkan berbagai macam keputusan (ijma’), dan ijtihad, yang kemudian dituliskan di dalam kitab-kitab standar. Di Indonesia kita bisa kenal dengan kitab kuning di mana berbagai macam kita klasik itu sudah menjadi ciri khas model pendidikan pesantren yang dimiliki oleh kiai NU.

NU itu menganut tradisi kitab kuning, tradisi kitab kuning itulah yang menjadi sumber pemikiran dan kemudian selain juga kitab-kitab kuning itu, NU sangat-sangat mendasarkan diri kepada pemikiran ulama-ulama zaman lalu (tradisi ulama), makanya kemudian tidak mengherankan kalau kemudian. Misalnya saja, NU mengikut kalau kalamnya asy’ariyah, meskipun juga kadang-kadang orang mengkritik kalam asy’ariyah ini sebagai diskursus terlalu menyerah kepada takdir, misalnya saja begitu. Dan ada juga orang yang menganggap bahwa penekanan yang terlalu berlebihan kepada takdir ini membuat umat Islam mundur.

Namun sekali lagi inilah tradisinya NU yang sangat kaya dengan berbagai macam tradisi, dan NU juga terkenal sangat akomodatif di dalam tradisi lokal terutama mampu beradaptasi dengan prinsip toleran dan responsif. Selain itu, NU juga sering diasosiasikan dengan pesantren-pesantren yang sesungguhnya dimiliki oleh para kiai NU secara umum.

Dan pesantren-pesantren ini telah memiliki tradisi yang sangat lama dan sudah panjang, pesantren ini memiliki peran yang sangat penting. Pertama, meluruskan atau mentransmisikan paham ahlus sunnah wal jamaah (Aswaja) itu diteruskan melalui pesantren. Kedua, di pesantren itu telah melakukan reproduksi ulama atau melahirkan calon-calon ulama.

Oleh karena itu lah, kalo kita lihat sepanjang sejarahnya adalah ulama-ulama besar yang pertama kali muncul di pulau Jawa, baik itu di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat itu adalah muncul dari golongan pesantren. Dengan tradisinya itu disebut sebagai tradisi Aswaja. Yaitu, kiai-kiai yang bergerak bukan hanya dalam pengelolaan pesantren, akan tetapi juga mengembangkan pemikirannya, mempertahankan tradisi Aswaja itu sendiri.

Dan salah satu keunggulan atau kelebihan dari tradisi yang dikembangkan oleh para kiai NU, ini adalah kemampuan untuk beradaptasi, menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Bisa mengembangkan pendidikan secara bertahap dan pelan-pelan, juga mengadopsi pendidikan modern, tapi pada saat yang sama tetap menekankan kepada tafaqqu fiddin. Yaitu, mendalami agama, dan mempelajari agama.

Dengan kemudian, saya kira kita sekarang ini di Indonesia bisa berharap atau hanya boleh berharap pesantren itu yang tetap akan melahirkan ulama. Karena lembaga pendidikan yang lain saya kira tidak menghasilkan ulama, atau tidak menghasilkan calon-calon ulama. Oleh karena itu, maka tradisi pesantren yang berada pada lingkupan tradisi NU harus kita pelihara, harus kita kembangkan, dan diberdayakan. Sebab itu, pesantren ini menjadi warisan Islam yang terus berkesinambungan tidak hanya di masa silam, akan tetapi ke masa depan.

Oleh: Hasin Abdullah, peneliti Bidang Hukum UIN Jakarta, dan Alumni SMA-Tahfidz Darul Ulum Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan.

[zombify_post]

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru