32.9 C
Jakarta

Membangun Indonesia dengan Cinta

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMembangun Indonesia dengan Cinta
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berbicara soal cinta secara tidak langsung berbicara soal memiliki. Bukan cinta kalau tidak ada rasa memiliki. Cinta dan rasa memiliki bak dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Memisahkan cinta dengan rasa memiliki adalah angan-angan yang kosong.

Cinta selalu memprioritaskan yang dicintai. Menduakan adalah isyarat bukan cinta. Menduakan bukti khianat. Khianat dan cinta adalah dua kosakata yang berlawanan. Sehingga, dapat dikatakan, khianat adalah cinta yang ternodai. Memprioritaskan yang dicintai adalah bukti cinta itu sendiri.

Cinta juga perhatian. Siapa yang belum perhatian sama Anda berarti dia belum mencintai Anda. Cinta dan perhatian adalah dua kata yang saling membangun. Masing-masing saling menguatkan, saling mengikat, dan saling mengasihi. Tidak peduli adalah bentuk pengabaian dari cinta. Anda yang diabaikan hendaknya segera menarik pengharapan sebelum Anda terhempaskan. Sebab, hati yang terhempas akan merasakan perihnya luka sembari bersenandung lagu Cita Citata: Sakitnya tuh di sini. 

Rumus cinta tersebut menunjukkan bahwa cinta itu logis. Tidak benar mencintai tanpa pertimbangan akal, kendati cinta itu bermuara di hati. Ingat bahwa hati itu atas bimbingan akal. Akal yang bijak akan mengantarkan hati menjadi suci. Akal yang picik akan menggiring hati menjadi kotor. Hati yang bersih akan selalu dibalut dengan cinta yang mengantarkan kepada kebahagiaan hidup. Sebaliknya, hati yang kotor akan membawa kepada nestapa dan nelangsa. Akal adalah kendali, sementara hati adalah cermin. Didiklah akal dengan baik sehingga dapat mengendalikan sikap Anda melihat diri Anda secara bijaksana di depan cermin yang bersih, dan kemudian setiap yang terlihat akan selalu membuat Anda introspeksi diri, bukan menuhankan dirinya sebagai makhluk yang maha benar dan menuding orang lain sebagai manusia yang maha salah.

Mengingat soal eksistensi cinta membuat hati terluka saat melihat kenyataan Indonesia yang kisruh, demo sana-sini, bahkan hujatan datang silih berganti. Indonesia adalah negara yang dibangun oleh ulama-ulama besar. Salah satu ulama yang sampai sekarang masih dikenang namanya dan kuburannya dikunjungi berjuta-juta peziarah adalah Wali Songo (Sembilan Wali). Para wali ini menanamkan pesan dakwah yang membekas kuat di hati masyarakat hingga sekarang. Dakwah mereka tidak menggurui, tapi dikemas dengan sikap yang ramah dan tutur kata yang santun, sehingga dakwah benar-benar berkesan di hati. Hati yang tersentuh dengan cinta sang pendakwah akan terketuk secara otomatis untuk meraih petunjuk Tuhan yang amat absurd.

Perjuangan Wali Songo kemudian dilanjutkan oleh ulama Nusantara yang mencintai Islam moderat (wasathiyyah). Islam moderat jelas berbeda dengan Islam ekstrem dan terorisme. Islam moderat mencita-citakan Islam yang “luwes” atau fleksibel, tidak berat sebelah. Islam semacam ini berusaha merangkul dua sisi yang berlawanan: sisi liberal dan sisi ekstrem. Liberalisme memprioritaskan akal, sementara ekstremisme menuhankan teks. Liberalisme dan ekstremisme adalah dua paham fanatik. Fanatisme memiliki kesan negatif. Karena itu, Islam moderat menawarkan solusi positif agar akal dan teks sama-sama berjalan beriringan, karena teks membutuhkan konteks dan konteks dibangun oleh teks.

Islam Nusantara adalah Islam moderat. Islam moderat dibangun dengan sentuhan budaya. Sedang, Indonesia sendiri termasuk negara yang memiliki khas budaya yang beragam dan berbeda dibandingkan dengan negara lain. Islam dan budaya saling kait-berkait. Hukum syariat berkaitan erat dengan budaya. Hukum akan pasti berbeda kalau dihadapkan dengan budaya yang berbeda. Khas budaya Indonesia yang beragam mengantarkan moderasi sebagai tawaran positif bagi Islam Nusantara. Islam moderat tidak tertutup dari perbedaan. Setiap perbedaan, baginya, adalah rahmat, sehingga suatu keharusan perbedaan itu dirangkul. Indonesia mencakup beragam agama: Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Islam moderat tidak menghujat agama di luar Islam. Apapun agamanya tetap dihormati dan diperlakukan sama. Karena, Islam sendiri tidak mengajarkan pemeluknya mengumpat, mengutarakan ujaran kebencian, dan bertindak zalim bagi siapa pun. Karena, pemeluk agama lain memiliki kesamaan dengan pemeluk agama Islam: sama-sama manusia yang wajib dihormati.

BACA JUGA  Tafsir Lingkungan di Tengah Kebijakan Penguasa

Tidak perlu ada aksi 212, people power, dan beragam bentuknya yang kesemuanya hanya menghilangkan ikatan persaudaraan dan mengubah cinta menjadi benci. Aksi semacam itu sejatinya bukan ajaran Islam, karena Islam agama cinta, sehingga di sana ada rasa memiliki, memprioritaskan, dan memberikan perhatian. Buktinya, aksi-aksi ekstrem ini tidak menanamkan cinta, melainkan menyulut kebencian, memecah persatuan, dan memorak-porandakan Kebhinekaan bangsa Indonesia. Yang jelas, mereka yang gemar mengikuti aksi kekerasan ini sejatinya tidak memiliki rasa cinta terhadap negara di mana mereka dilahirkan. Mereka termasuk perusak (mufsidun) negara pluralis yang merangkul perbedaan dan menghindari perpecahan.

Dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (Qs. Ali Imran/3: 92).

Ayat ini menjelaskan standar cinta seseorang. Orang yang memberikan sesuatu yang ia miliki berarti ia memiliki cinta sejati. Karena, yang ia miliki adalah sesuatu yang amat ia cintai. Dalam tafsir an-Nukat wa al-Uyun al-Mawardhi memahami “al-birr” dengan tiga pandangan: Pertama, pahala dari Allah Swt. Kedua, mengerjakan kebaikan yang berpotensi mendapatkan pahala. Ketiga, surga. Sedangkan, berinfak yang disinggung pada ayat tersebut dapat berupa tiga hal: Pertama, sedekah fardu. Kedua, segala sedekah, baik fardu maupun sunnah. Ketiga, segala bentuk kebaikan.

Bila “al-birr” banyak dipahami dengan sedekah, lalu apa bentuk dari sedekah itu? Apakah pemberian dalam bentuk harta? Ataukah senyuman saat bertemu? Pemberian dan senyuman di depan saudara Anda adalah sedekah. Pertanyaannya, apakah people power dan aksi 212 dapat mengentaskan kemiskinan dengan sedekah harta dan menyejukkan hati dengan sedekah senyuman? Sedikit pun tidak. People power dan aksi 212 telah menorehkan citra negatif dalam sejarah di Indonesia. Kesannya, Indonesia belum mampu mengamalkan sila ketiga, yakni “Persatuan Indonesia.” Karena aksi ekstrem ini, Indonesia jadi terpecah belah: ada Kubu Kampret, ada Kubu Cebong. Indonesia sangat berharga sehingga para pahlawan gigih berani melawan penjajahan Belanda tempo dulu. Dengan ikhtiar dan doa, penjajahan dapat dihapuskan dan berganti menjadi negara yang merdeka. Menghapus penjajahan orang luar adalah hal yang mudah, tetapi mengamputasi penjajahan rakyat sendiri amat sangat sulit. Karena, sulit melacak penjajah yang datang dari tubuh sendiri. Sama halnya, sulit mendeteksi orang munafik, karena orang munafik bermuka dua; secara lahir pura-pura baik, padahal secara batin berhati busuk.

Adalah sikap yang picik kalau people power dijadikan solusi untuk mengutarakan kritik rakyat terhadap pemerintah. Karena, pada kenyataannya people power hanya menyelesaikan masalah di tengah jalan dan tidak duduk bareng di forum formal yang dibarengi dengan diskusi yang mempertemukan dua pandangan yang berbeda. Berkoar-koar di jalan adalah sikap anak kecil yang belum cukup akan pengetahuan, belum siap menerima kenyataan hidup, dan belum berani menerima tantangan hidup. Sikap anak kecil bukanlah sikap akademisi yang menyelesaikan segala persoalannya dengan diskusi dan musyawarah. Tidak ada ceritanya, akademisi menyelesaikan studinya di jalan raya, namun studi itu diselesaikan di meja sidang yang dihadiri penguji, presentator, dan audiensi.

Sebagai agama cinta, Islam merangkul perbedaan, bukan memecah persatuan. M. Quraish Shihab berpesan, “Orang yang picik mencari yang buruk pada yang benar. Orang yang bijak mencari yang benar pada yang buruk.” Saya bertanya-tanya, “Apakah people power dan aksi 212 adalah sikap yang bijak atau yang picik? Ataukah mereka laskar yang berdiri di atas cinta palsu?” [] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru