29.7 C
Jakarta
Array

Membaca Pemikiran Politik Islam Sayyid Qutb dan al-Maududi

Artikel Trending

Membaca Pemikiran Politik Islam Sayyid Qutb dan al-Maududi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Siapa yang tidak mengenal dua tokoh besar dalam pemikiran politik Islam kontemporer Sayyid Qutb dan al-Maududi. Bagi pengamat gerakan politik Islam kontemporer kedua tokoh ini akan familiar di telinga mereka. Kedua tokoh ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perpolitikan Islam kontemporer. Di Mesir, Sayyid Qutb pernah bekerja sama dengan Nasser untuk menggulingkan rezim sebelumnya, sedangkan al-Maududi telah berhasil mendirikan negara Islam di India, yaitu Pakistan.

Al-Maududi hidup di negara pasca kolonial. Pada masa itu Inggris telah menancapkan hegemoninya di negara India. Al-Maududi memikirkan bagaimana bentuk negara pasca kolonial. Ia kemudian menganalisis segala bentuk kekurangan dari pemikiran Barat seperti fasisme, kapitalisme, sosialisme, dan komunisme.

Hasil pembacaannya tersebut al-Maududi berkesimpulan bahwa sebuah kemustahilan untuk memisahkan kehidupan agama dari negara. ia berusaha untuk melepaskan atau mematahkan cengkraman dari dunia Barat. Ia dengan tegas menolak pemikir-pemikir modernis yang berusaha mendialogkan antara Islam dan Barat. Al-Maududi menginginkan agar kembali ke nash karena ia menganggap nash tidak bisa diganti dengan apapun. Menurut Antony Black (2001) pandangan-pandangan seperti ini bisa memposisikan al-Maududin sebagai pendiri kedua gerakan fundamentalisme.

Al-Maududi kemudian merancang sebuah sistem pemerintahan yang berdasarkan Islam. Al-Maududi percaya bahwa untuk mewujudkan komunitas Islam yang berdasarkan wahyu TUhan kepada Muhammad, umat harus memiliki kekuasaan politik. Melalui kekuasaan politik ini bisa mempengaruhi moralitas dan peradaban manusia. Di samping itu juga, kekuasaan politik ini akan menentukan arah maju atau tidaknya peradaban manusia.

Ikhwanul Muslimin al-Maududi

Untuk memperjuangkan pemikiran tersebut, al-Maududi kemudian mendirikan wadah yaitu Jamaat Islami (Persatuan Islam, 1941). Komunitas ini adalah untuk menghimpun orang-orang yang memiliki dedikasi dan tujuan sama, yaitu mewujudkan sistem yang benar. Akan tetapi, organisasi ini berbeda dengan Ikhawanul Muslimin sebagai organisasi massa. Organisasi ini menghimpun kalangan elit intelektual maupun moral. Para anggotanya harus berdedikasi untuk jihad melawan kekafiran dan amoralitas setiap aspek kehidupan.

Jauh di seberang India, tepatnya di Mesir, juga muncul pemikir politik Islam yang kontroversial, dia adalah Sayyid Qutb. Dalam segi sikap terhadap modernis, Qutb sama dengan al-Maududi yang menolak modernism. Ia percaya bahwa Islam telah mengajarkan seluruh aspek kehidupan manusia. Islam tidak perlu belajar terhadap Barat karena menurutnya Islam telah memberikan solusi atas segala problematika umat manusia.

Maka apabila manusia menggunakan sistem buatan manusia sendiri, menurut Qutb, ia akan terjebak pada Jahiliyah modern. Qutb mengatakan bahwa konsep Jahiliyah modern sebagai penggambaran adanya kelompok masyarakat yang tidak menggunakan sistem Islam atau hukum Islam sebagai pijakannya. Menurut Qutb, dunia modern yang dibangun oleh Barat, baik dari segi sosial, politik, dan aspek lainnya sebagai bentuk dari Jahiliyah modern. Oleh karena itu, konsep ini berlawanan dengan hakimiyat, sebuah konsep Qutb yang mencoba menerapkan Islam sebagai solusi atas problematika manusia kontemporer.

Untuk tercapainya tujuan tersebut, Qutb melibatkan dirinya dalam Ikhwanul Muslimin. Ia bersama Ikhwanul Muslimin mencoba menerapkan sistem syariah di Mesir, akan tetapi perjuangannya harus sampai ke tiang gantung karena dianggap merencanakan pemberontakan terhadap Nasser. Kontribusi pemikiran lainnya yang tak kalah penting lagi adalah tentang dikotomisasi partai politik, antara partai Islam dan partai kafir. Partai Islam digambarkan sebuah organisasi yang memperjuangkan Islam sebagai solusi, sedangkan partai kafir ditujukan bagi mereka yang memperjuangkan sekularisasi.

Pengaruh Pemikiran Sayyid Qutb dan al-Maududi

Di Indonesia, kedua pemikir tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar, namun yang paling kentara adalah  Sayyid Qutb. Jargon partai Islam dan partai kafir akan selalu meramaikan publik menjelang Pemilu. Tidak perlu saya sebutkan di sini siapa yang mengatakan demikian, yang jelas dikotomisasi antar partai telah menyebabkan umat terpecah-pecah. Kedua pemikir di atas hanya bisa dipelajari bukan dijadikan sebagai sumber insipirasi lahirnya sebuah gerakan.

Tantangan terbesar umat Islam Indonesia selanjutnya adalah bagaimana mengarusutamakan gagasan-gagasan tentang politik Islam yang telah dikembangkan oleh para pemiki Islam Indonesia, dan bukan malah mengarusutamakan para pemikir politik Islam Timur Tengah. Hal ini bertujuan agar proses pembangunan dan kemajuan didasarkan atas aspek sosio-historis bukan agamis.

 

M. Mujibuddin SM
M. Mujibuddin SM
Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru