27.4 C
Jakarta

Mematuhi Pemimpin adalah Perintah Allah dan Nabi-Nya

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMematuhi Pemimpin adalah Perintah Allah dan Nabi-Nya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setelah beberapa hari di Madura, satu hari yang lalu sudah mulai merambah ke Solo gerakan radikalis yang ngotot menyuarakan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Gerakan ini dilakukan secara massa pada hari Ahad 14 Juni 2020 kemarin di Gladak, Jl. Slamet Riyadi dengan tajuk yang cukup mengerikan “Aksi Jihadul Kalimah Unjuk Rasa Konstitusional”.

Tindakan semacam ini memiliki kesan main hakim sendiri. Kesan yang lain tidak mematuhi keputusan pemerintah. Pemerintah menetapkan sebuah hukum tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun di sana mereka melakukan diskusi yang sangat panjang dan melelahkan. Apalagi, sebut Mahfud MD, isu pencabutan TAP MPRS No. 66 tidak dapat dibenarkan, karena tidak ada sampai detik ini MPR atau lembaga lain yang bisa mencabut TAP MPRS tersebut. Sampai di sini saya mulai curiga, bahwa gerakan radikalis di Solo, pun juga di daerah lain yang sepemikiran, sedang memanfaatkan isu hoaks ini untuk memecah persatuan bangsa dan mengusik ketenangan pemerintah.

Seperti namanya “radikal” tindakannya pasti terlihat dan terkesan “keras”. Kekerasan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menghendaki sikap kasih sayang (rahmah). Sikap kasih sayang benar-benar dipegang dalam Islam, karena dapat menyatukan perselisihan, menghormati perbedaan, dan menggugah jiwa. Disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 159: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.

Seharusnya sebagai muslim yang baik, gerakan radikalis hendaknya menjaga lisan dan tangannya dari melakukan sesuatu yang dapat melukai, menyakiti, apalagi merugikan orang lain. Saya dari hati nurani memang risih melihat gerakan radikalis ini. Seakan mereka benar sendiri. Mereka bahkan tidak peduli orang lain. Saya pikir mereka belum muslim, hanya mengaku muslim saja. Karena, Nabi Muhammad Saw. bersabda: Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Sambil lalu saya mengingat sejarah kemunculan Islam garis keras, sejarah mencatat Islam semacam ini muncul pada masa pemerintahan Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib. Kelompok yang bersikap radikal ini adalah Khawarij yang membangkang keputusan pemimpin Ali kala itu. Sehingga, mereka dengan gampang menuduh Ali dan pengikutnya dengan kafir, karena membuat keputusan di luar keputusan Allah yang telah disebutkan dalam wahyu Al-Qur’an. Kelompok ini semakin ke depan, semakin berkembang dan tumbuh, termasuk salah satunya gerakan yang mempelopori penyebaran fitnah penolakan RUU HIP di Solo ini.

Sikap menentang keputusan pemimpin adalah sesuatu yang tidak baik. Sebagai rakyat, kita hendaknya mematuhi pemimpin. Allah menyebutkan dalam surah an-Nisa’ ayat 59: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Pakar tafsir berbeda pendapat terkait status Ulil Amri ini? Ibnu Abbas dan Jabir menyebutkan, dia adalah pakar fikih dan ulama yang mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada manusia, sementara Abu Hurairah mengatakan, ia adalah pemimpin dan pemerintah. Lalu, memahami kepemimpinan pada ayat tersebut, Sayyidina Ali berpesan: Hak pemimpin adalah menetapkan hukum sesuai dengan wahyu Allah dan melaksanakan amanah, sedang apabila ia melakukannya, rakyat berhak mendengarkan dan mentaatinya.

Perintah Allah bagi semua manusia untuk mematuhi pemimpin digambarkan pada ayat lain: Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah [2]: 247).

BACA JUGA  Shalat Tarawih dan Hikmah yang Tersirat di Dalamnya

Pada ayat tersebut kita dapat memahami bagaimana kehadiran pemimpin yang dipilihkan oleh Allah masih mendapat penolakan dari Bani Isra’il. Mereka tidak mau mengangkat Thalut sebagai pemimpin. Karena, berdasarkan tradisi yang mereka anut, seseorang yang berhak diangkat menjadi pemimpin hanyalah dari kabilah Yahudi, sementara Thalut sendiri dari kabilah Bunyamin. Gambaran semacam ini persis sama dengan tindakan kelompok radikalis yang ambisius mengangkat pemimpin dari kelompoknya sendiri. Sehingga, bila semua itu tidak tercapai, mereka bersikap acuh tak acuh terhadap pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Sungguh tertutup pikiran dan mata hati kelompok radikalis ini!

Pada sebuah kesempatan Nabi Muhammad Saw. berpesan terkait pentingnya mematuhi pemimpin: Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan taat walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak). (HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi). Pada kesempatan lain Nabi Saw. bersabda: Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat. (HR. Bukhari).

Ada sebuah riwayat yang menarik untuk direnungkan terkait stabilitas kepemimpinan pada masa Nabi Muhammad Saw. dibandingkan sesudahnya. Bunyinya: Pada masa pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi pertengkaran dan fitnah (musibah), sedangkan pada zaman Nabi Saw. tidak?” Ali menjawab, “Karena pada zaman Nabi Saw. yang menjadi rakyatnya adalah aku dan sahabat lainnya. Sedangkan, pada zamanku yang menjadi rakyatnya adalah kalian.” Maksudnya adalah kebaikan pemimpin itu juga diukur dari kebaikan rakyatnya. Semakin berkualitas rakyat, semakin berkualitas pula pemimpinnya.

Melalui beberapa pesan, baik Al-Qur’an dan hadis, mematuhi pemimpin, baik dia terlahir dari orang besar maupun tidak, adalah suatu keharusan. Sebagai rakyat kita hendaknya mendengarkan dan mentaati segala keputusan pemimpin, baik yang kita setuju maupun yang kita tidak setuju. Karena, membangkang terhadap pemimpin bukan semakin memperbaiki keadaan, malah sebaliknya semakin memperkeruh suasana. Bila pemimpin itu salah, tugas rakyat mengingatkan tanpa melukai dan menyakiti hatinya. Ingatlah, semua manusia, termasuk pemimpin pasti pernah salah![] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru