26.1 C
Jakarta

Memantapkan Teologi Asy’ariyah di Tengah Pusaran Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMemantapkan Teologi Asy’ariyah di Tengah Pusaran Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menilik perkembangan sejarah keagamaan di Indonesia dan bahkan di sejumlah negara mayoritas muslim secara langsung atau tidak langsung, banyak memiliki hubungan erat dengan mazhab Asy’ariyah. Hadirnya agama yang disebut oleh Jose Casanova (1994) sebagai agama publik memberi ruang yang luas bagi agama untuk mempengaruhi masyarakat dalam membentuk kecenderungan keagamaan mereka. Kecenderungan inilah sangat relevan apabila dikaitkan dengan agama Islam di Indonesia.

Dari sejak tumbangnya rezim Orda Baru pada tahun 1998 telah menujukkan kecenderungan keagamaan yang sebelumnya masih tertidur manis di ruang publik, hingga menciptakan pandangan politik identitas untuk menempatkan diri dan mencari identitas di tengah masyarakat dengan merujuk pada pandangan teologis masing-masing secara tertutup.

Ujung Tombak Radikalisme Salafi

Pandangan teologis kadang tidak bisa dilepaskan dengan praktik politik identitas yang sering disebut dengan Islamisme (Bayat, 2013) sehinga perlahan menguatkan penyebaran ideologi radikalisme di Indonesia dan semakin pudarnya teologi Asy’ariyah, pada pertemuan para sufi tingkat Internasional di Pekalongan kemarin (8-9 April 2019) yang digagas oleh Habib Luthfi bin Yahya para ulama merasa resah sebab teologi Asy’ariyah semakin tidak dikenal di kalangan generasi muslim muda. Misirisnya, generasi muslim milenial sekarang lebih kenal terhadap teologi yang Salafi, membuat mereka tertutup dan radikal.

Fenomena ini menggugah Dr. Muchlis M. Hanafi, Sekjen Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) cabang Indonesia, beliau memberikan pandangan tentang memudarnya kehadiran teologi Asy’ariyah di ruang publik, menurutnya, tidak lain karena kurangnya ta’lim atau pengajian. Generasi muda muslim di Indonesia membutuhkan penjelasan tentang teologi Asy’ariyah yang memadai dan lebih mudah dipahami. Cara-cara ini sebagai langkah raksasa yang sangat tepat untuk menangkal kekuatan paham radikalisme Islam di Indonesia.

Pembacaan terhadap teologi Asy’ariyah setidaknya dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir sangat penting dibicarakan ditengah pusaran situasi geopolitik yang kompleks-berkecamuk, dan munculnya media-media mainstream yang dimanfaatkan untuk memunculkan paham-paham radikalimse terus bermunculan. Sehingga kemunculan tersebut mengondisikan terjadinya kontestasi teologis yang sangat beragam dan mengakibatkan munculnya Islamisme di ruang publik sebagai politik identitas yang merubah wajah Islam menjadi lebih garang, tertutup dan kaku.

BACA JUGA  Lawan Propaganda Radikalisme di Media Sosial, Ini Strateginya

Menjadikan Teologi Asy’ariyah sebagai ‘New Normal’

Jika percaturan ideologi telah masuk dalam situasi yang sangat genting perlu ada langkah stabilitas politik yang diatur ulang, merombak, atau mengenalkan kembali, memberikan inovasi-inovasi terhadap masyarakat dengan cara membiasakan. Cara ini bisa saja disebut sebagai “kenormalan baru” untuk membiasakan masyarakat berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam yang moderat. Mengenalkan kembali corak teologi Asy’ariyah sebagai kemapanan sikap yang moderat. Aliran Asy’ariyah dan Maturidiah yang menjelma menjadi paham Ahlus Sunnah wal Jamaah, membuktikan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah Sunni yang menjunjung nilai-nilai kedamaian.

Bagaimana kenormalan baru itu bisa berjalan, pertama, dengan perlahan, menciptakan corak paham Asy’ariyah, Syafi’iyah dan tasawuf moderat, toleran dan terbuka; sebagai nilai, norma dan budaya nusantara. Mencerminkan Islam nusantara yang damai. Mencegah aksi kekerasan yang bermotif politik, tidak melakukan politisasi agama apalagi praktek-praktek radikalisme agama yang marak ditemui di Indonesia.

Kedua, memahi konstelasi sejarah teologi yang dibangun Imam al-Asy’ari yang telah berhasil merumuskan teologi para ulama salaf sebagai generasi yang dianggap berwatak wasathiyah (moderat). Al-Asy’ari berhasil memadukan antara nalar dan teks. Imam al-Asy’ari menegaskan dalam kitab-kitabnya menetapkan dalil-dalil nalar dari mazhab ulama salaf—mencari sesuatu yang bisa dipadukan antara teks-teks dari tradisi salaf dan dalil-dalil rasional dari ulama pada masanya—untuk dipahami dalam konteks masa kini, oleh ulama kontemporer dan tidak bertentangan dengan nalar yang berlaku pada masanya (Mohammad Yunus Masrukhin, 2020).

Dalam lintasan generasi yang dituturkan di atas, menyiratkan bahwa, kemoderatan (wasathiyah) memiliki pola-pola yang sangat beragam. Keberagaman tersebut selalu menimbang tantangan teologis dan perkembangan pengetahuan dan peradaban yang telah dicapai oleh manusia. Bahkan, tidak berlebihan jika mengatakan bahwa, yang paling menyatukan dan mengikat variasi pemikiran teologi Asy’ariyah dalam lintas generasi adalah usaha mereka untuk membangun teologi wasathiyah yang relevan dan kontekstual dengan perkembangan zaman.

Jamalul Muttaqin
Jamalul Muttaqin
Penulis Lepas

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru