26.1 C
Jakarta
Array

Memaknai Negara Islam dan Khilafah Kyai Mojo

Artikel Trending

Memaknai Negara Islam dan Khilafah Kyai Mojo
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Senin lalu(5/8), Ijtima ulama ke IV kembali  digelar oleh Persatuan Alumni 212 di Sentul Bogor merekomendasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI syariah berdasarkan pancasila. Tentu saja hasil ijtima ini menuai kontroversi.

Pasalnya ini jauh dari nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri yang merupakan hasil konsesus final founding father dalam membangun kesatuan Negara Republik Indonesia. Inilah yang mendasari penulis untuk membaca ulang sejarah serta menuliskanya kembali.

Terkait negara Islam ini dahulu pangeran diponegoro menginisiasi wadah  Balad (negara) Islam dengan melakukan perang sabil (suci)terhadap kafir. Namun ngabdul hamid atau pangeran diponegoro tidak serta merta menerapkan wacana itu tanpa restu beberapa Ulama. Maka, perlu dicatat perang tersebut bukan untuk memerangi masyarakat non muslim di Indonesia.

Dalam buku Jejaring Ulama Pangeran Diponegoro karya zainul Milal Bizawie yang penulis baca. Konsep pendirian Negara islam itu sendiri karena konteksnya saat itu dalam sistem kerajaan yang dipimpin oleh khalifah atau sultan. Gagasan balad islam inilah yang membawa Diponegoro melakukan elaborasi konsep jihad sekaligus khilafah.

Khilafah antara Konsep dan Sistem Politik

Khilafah sebagai sebuah konsep dan sistem politik mulai diperbincangkan dalam konteks kebangsaan pasca perang jawa. Dalam Babad Diponegoro terungkap satu diskusi tentang arti “khilafah” itu sendiri, yang melibatkan sejumlah ulama termasuk salah satunya Kyai Mojo.

Dalam buku tersebut kyai mojo  memberi pemahaman tentang arti khilafah dan posisinya kepada ngabdul hamid (Pangeran Diponegoro -red).” khilafah itu adalah pemerintahan yang terdiri dari empat pilar kekuasaan; yakni ratu (eksekutif), wali (Legislatif), pindhita atau ulama (Yudikatif), mukmin (masyarakat sipil). Dari ini semua kemudian muncul konsep Musyarakah (masyarakat) dan Roiyah (rakyat).

Masing-masing tidak boleh saling membenci karena sudah menerima kekuasaan secukupnya. Pembagian kekuasaan tersebut dalam penerapan kekhalifahan oleh kyai mojo sebenarnya merupakan pilar-pilar kekuasaan dalam nation state. Bukan dalam konteks pemahaman kalangan pejuang sistem khilafah saat ini.

Dalam bukunya, Gus Zainal menjelaskan bahwa gagasan ini sudah tersebar ke Nusantara dan menjadi pemikiran politik para ulama sejak jaman walisongo. Bahkan sekitar empat puluh tahun lalu. Setelah perang jawa para ulama Nusantara pernah mengadakan pertemuan di Aceh dan mendeklarasikan apa yang disebut “Jumhuriyyah Indunisiyah” (Republik Indonesia). Padahal saat itu dibeberapa daerah masih terdapat kerajaan-kerajaan dan dikuasai belanda.

Inilah hasil ijtihad politik para ulama Nusantara yang melebihi zamanya. Inilah yang mendasari sikap politik ulama Nusantara dalam merespon berbagai persoalan dimasyarakat selama masa kolonial. Hingga menyatakan Indonesia adalah darul islam atau darul ahdi wal sahadah hingga menegakkan Indonesia sebagai NKRI tanpa bungkusan syariah.

Dalam kitab Adabul Dunya Wal Diin, al Mawardi pun mengatakan bahwasanya pemimpin yang berdaulat merupakan salah satu asas pokok terwujudnya kemaslahatan dunia. Untuk mewujudkan itu semua, kita harus menerapkan enam asas pokok. Diantaranya adalah (1) Agama yang dianut, (2) Pemimpin yang berdaulat, (3) Keadilan bagi seluruh rakyat, (4) Keamanan dan ketentraman, (5) Negeri yang subur,(6) Cita-cita yang luhur (Al Mawardi,1986 :148) ini sesuai dengan poin pancasila yang dibahas oleh para imamah (pemimpin bangsa).

Bagaimanapun generasi saat ini wajib membaca ulang sejarah,supaya tidak gagal faham memaknai konsep jihad, khilafah, dan negara islam yang sebenarnya sudah tuntas dibahas oleh para pendahulu yang pokok utamanya adalah keputusan final berdirinya NKRI.

*Suci Amaliyah, Gusdurian Bekasi Raya /Tim Instruktur IPPNU Jateng /Pemuda Lintas Agama Kab Tegal

 

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru