26.1 C
Jakarta

Memahami Radikalisme, Newspeak dan Covid-19 ala Noam Chomsky

Artikel Trending

KhazanahMemahami Radikalisme, Newspeak dan Covid-19 ala Noam Chomsky
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau paksaan. Meski gerakan-gerakannyanya terlihat dengan pola yang sama, ditemukan beberapa macam aliran radikal yang masing-masing dari mereka mempunyai gradasi yang berbeda. Kendati demikian, persamaan yang mencolok adalah sebuah gagasan tentang pemurnian agama, pelegimitasian kebenaran dan menaruh kebencian terhadap sesuatu yang berasal dari yangg bukan golongannya. Paham itu marak di media sosial.

Merebaknya paham radikalisme bukan lagi biasa. Tetapi, pemahamannya sangat berbahaya bagi keutuhan kesatuan dalam sebuah negara. Betapa tidak, dalam gradasi terendah pun akan ditemui kelompok yang menggemborkan bid’ah dan menebarkan pangkat syirik kepada orang yang bukan dari bagiannya.

Bahkan, jika ditinjau lebih jauh, akan ditemui sebuah benang merah keterhubungan sebab-akibat, di mana seseorang yang terus menapaki jalan kelompok radikalisme akan sampai pada titik gradasi puncaknya yaitu menjadi teroris. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh KH. Aqil Siraj bahwa paham radikal yang dalam hal ini wahabi memang bukan teroris tapi satu digit menuju teroris. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat paham yang dianut oleh para pelaku teroris yang telah melakukan aksinya dan tertangkap oleh publik seperti Osamah Bin Laden, Nurdin M Top, Abdullah Sonata, Abu Durjana dan lain-lain.

Newspeak dan Radikalisme di Media Sosial

Sangat disayangkan ketika potensi qodrati untuk memahami sesuatu tidak dapat hidup bebas, ia dibentuk oleh opini yang dibuat dan dikendalikan pihak berkuasa, inilah yang Noam Chomsky sebut sebagai newspeak. Sebuah newspeak telah dibuat untuk membatasi pandangan tentang realitas. Dalam prosesnya, makna sebuah kata/kalimat seolah diambil alih dan dipakaikan untuk kata yang lain demi kepentingan kelompok tetentu. Ketika kekerasan dimaknai sebagai jalan menuju Tuhan, pembunuhan dipahami sebagai jalan mencari keridoan dan perlawanan adalah sebuah langkah pengorbanan pada jalan yang benar.

Sungguh mirisnya pembenaran kekerasan itu tidak ada dalam agama manapun, ketika proses penyebaran radikalisme dan terorisme menggunakan kata atau kalimat baru yang indah dan menggoda. Seolah mulia dan sangat didamba. Dengan demikian, disebar dengan bebasnya di media sosial yang ada.

Jika melihat data yang dikeluarkan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), penduduk pengguna internet di Indonesia pada tahun 2016 mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2014 hanya mencapai angka 44,6 juta user, pada tahun 2016 mencapai 132,7 juta pengguna. Sebuah angka yang cukup menggiurkan dan menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan online.

BACA JUGA  Golput Bukan Solusi untuk Demokrasi NKRI, Hindari!

Di sisi lain, hal ini menjadi momok menakutkan jika dikaitkan dengan pembahasan di atas. Betapa tidak, ini merupakan sasaran penyebaran paham radikal yang sangat luas. Lebih dari 51% dari jumlah penduduk. Oleh karena itu, perlu adanya kontra radikalisasi dan penanggulangan terorisme melalui media sosial yang bisa menangkal paham dari kelompok mereka.

Optimisme Pencegahan

menjadi satu hal yang sulit untuk dihadapi, ketika radikalisme dan terorisme terjadi atau menyebar di dunia maya. Hal itu karena penyebaran dilakukan oleh orang yang tidak diketahui. Oleh karenanya, newspeak itu merupakan sebuah penanaman kerangka berfikir, maka langkah terbaik dalam menangkal terorisme di dunia maya adalah dengan cara memproduksi newspeak berbentuk kontra narasi yang bertujuan untuk membentuk pemikiran masyarakat luas tentang bahaya terorisme yang sebenarnya.

Tidak terkecuali pada masa pandemi Covid-19 ini, narasi-narasi yang dibangun oleh kaum radikalis selalu berujung tombak pada ketidakpercayaan terhadap negara beserta sistemnya. Dengan pola yang sama mereka menggiring term Covid-19 sebagai sebuah bencana yang Allah timpakan untuk orang-orang yang membangkang dan tidak mengikuti hukum Allah. Dengan sedikit menukil Kitab Suci dan beberapa pandangan yang diklaim sebagai bukti. Lagi-lagi, kata khilafah menjadi diksi yang digaungkan sebagai satu-satunya solusi pandemi ini.

Padahal, jika saja memberi sedikit ruang untuk berfikir ulang apakah benar pandemi ini merupakan hukuman dari Allah. Kita akan menemukan fakta bahwa virus ini menyerang seluruh dunia tanpa melihat latar belakang aspek keagamaan, tentu kita tidak bisa menafikan beberapa orang yang terpapar Covid-19 ini, terdampak setelah acara tablig akbar di Jakarta Barat (detik, 07/04).

Tentunya, tidak etis jika tuduhan hukuman dilekatkan pada orang-orang saleh itu. Pada akhirnya, perlu kiranya kita untuk adil dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Secara lahiriah, Biarkan Covid-19 ini dihadapi oleh para dokter dan tenaga medis, dihentikan penularannya dengan mengikuti anjuran pihak berwajid. Kemudian, secara batiniah dihentikan dengan doa dan harapan-harapan. Sedangkan khilafah, disimpan baik-baik untuk koleksi.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru