29.3 C
Jakarta

Memahami Perang dalam Islam Sebelum Perang Atas Nama Islam

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMemahami Perang dalam Islam Sebelum Perang Atas Nama Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Al-Qur’an surat al-Anbiyâ’ (21): 107 menegaskan bahwa Rasulullah saw. diutus ke muka bumi adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Namun demikian, realitas kehidupan menunjukkan tidak sedikit masyarakat Muslim lebih suka menggunakan kekerasan. Bahkan, teror daripada kelembutan dan kearifan dalam menyebarkan ajaran-ajaran luhur Islam. Padahal, Allah sendiri secara tegas menyuruh umat Islam agar mengikuti dan meneladani Rasulullah saw. Apabila mereka benar-benar mencintai Allah dan meyakini hari kiamat, sebagaimana diabadikan dalam Âli ‘Imrân (3): 31 dan al-Aḥzâb (33): 21.

Sikap mau menang sendiri (arogan) dan kasar sebagian masyarakat Muslim ini pada gilirannya tidak jarang menimbulkan riak-riak konflik. Dan bahkan, berujung pertikaian dan peperangan. Baik itu, antar sesama Muslim maupun dengan non Muslim yang sejatinya hidup berdampingan dalam keadaan damai. Bahkan, sebagian Muslim radikal sengaja menggunakan kekerasan dan peperangan dalam memperjuangkan ajaran Islam yang mereka pahami. Mereka kerap kali menyerang orang-orang yang dianggap sesat karena tidak sepaham dengan mereka.

Salah satu contohnya adalah sikap orang-orang Wahhabi yang menyerang orang-orang yang tidak sepaham dengan ajaran mereka. Mereka tidak hanya menyerang non Muslim, tetapi juga menyerang sesama Muslim, baik Syiah maupun Sunni. Padah tahun 1802, mereka membakar beberapa universitas dan masjid Muslim Syiah di Karbala dan membunuh empat ribu warga Karbala. Bahkan, mereka mengeluarkan isi perut perempuan-perempuan hamil dan membuang janin-janin tersebut di atas mayat-mayat. (Yaroslav Trofimov, Kudeta Mekkah: Sejarah yang Tak Terkuak, 2011: 21-24).

Dalam kontesk Indonesia, kekerasan ini juga digunakan oleh beberapa Muslim radikal (JAD maupun ISIS) untuk menyerang orang-orang yang tidak sepaham. Dan hal ini, untuk melawan pemerintahan yang sah. Padahal, menurut Mawsû‘ah Narah an-Na‘îm, peperangan adalah bagian dari sifat dan perilaku buruk yang tercela (aifât al-mażmûmah) dalam Islam.

Dua Jenis Perang dalam Islam

Mawsû‘ah Narah an-Na‘îm membagi perang dalam Islam menjadi dua macam. Pertama, perang yang disyariatkan dalam Islam (al-arb al-masyrû‘ah), yaitu perang yang dilakukan dalam rangka membela jiwa dan raga dari serangan musuh. Ia merupakan bagian dari jihad dan berkaitan erat dengan dua hal, yaitu: melakukan pembelaan yang dibenarkan secara syariat dalam rangka melawan musuh yang menyerang masyarakat Muslim atau kemerdekaan negara Islam; dan memberikan pertolongan yang wajib dilakukan untuk membantu masyarakat Muslim atau kalangan sekutu yang sedang tidak berdaya untuk membela diri dari serangan musuh. Adapun hukum perang yang disyariatkan ini adalah fardu kifayah. Namun, dalam keadaan tertentu bisa menjadi fardu ain, seperti ketika orang-orang kafir menyerang negara Islam dan memerangi penduduknya (1998, X: 4392).

Kedua, perang yang tidak disyariatkan dalam Islam (al-arb gair al-masyrû‘ah), yaitu perang yang dilarang dan dicela dalam Islam. Beberapa bentuk perang yang tidak disyariatkan ini adalah: perang antara sesama Muslim untuk merebut kekuasaan dan kerakusan untuk menguasai hak orang lain; perang antara sesama pemeluk mazhab untuk mengukuhkan dominasi mazhab masing-masing, seperti perang antara masyarakat Muslim Sunni dengan masyarakat Muslim Syiah; perang antar kelompok, organisasi, dan partai politik untuk kepentingan kelompok dan partai politik masing-masing; dan perang antara Muslim dan non Muslim yang merupakan saudara sebangsa (warga negara) di negara tertentu, seperti terjadi di Libanon.

Dalam hal ini, pihak yang tercela adalah pihak yang memulai peperangan terlebih dahulu dan menyebabkan peperangan itu terjadi. Beberapa pihak yang menyulut api peperangan tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah dan seluruh masyarakat Muslim (hlm. 4392).

Menurut Yûsuf al-Qaraḍâwî, Islam sejatinya menghendaki perdamaian dunia dan menjauhkan umat manusia dari peperangan kecuali dalam keadaan darurat (Kalimât Fî al-Wasaiyyah al-Islâmiyyah, 2011: 47). Jihad (perang) hanya boleh dilakukan dalam rangka menolak serangan musuh, melawan musuh yang membunuh orang-orang Islam, membebaskan orang-orang lemah yang tertindas, dan menertibkan para pemberontak yang melanggar perjanjian dan melampaui batas terhadap aturan-aturan (Kaifa Nata‘âmal ma‘a al-Qur’ân al-‘Aîm?, 1999: 121).

BACA JUGA  Jangan Lupa Menghias Diri dengan Pakaian Takwa di Hari Lebaran Nanti

Jamâluddîn ‘Âṭiyyah menjelaskan bahwa perdamaian dunia yang didasarkan kepada keadilan merupakan salah satu tujuan syariat Islam (maqâid asy-syarî‘ah) yang berkaitan dengan kemanusiaan. Hal ini karena pada dasarnya hubungan antara Muslim dan non Muslim adalah perdamaian, bukan peperangan. Perang dalam Islam dilakukan hanya semata-mata untuk membela diri dari serangan musuh.

Oleh karena itu, kekafiran seseorang tidak bisa dijadikan legitimasi untuk diperangi, tetapi legitimasi yang dibenarkan syariat untuk berperang adalah membela diri dari serangan musuh. Salah satu cara agar perdamaian ini tercapai adalah adanya peraturan negara untuk memastikan keamanan secara kolektif dan peraturan untuk saling bantu dalam berbagai macam persoalan, mengukuhkan perjanjian dengan negara, dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian tersebut (Naw Taf‘îl Maqâid asy-Syarî‘ah, 2003: 168-169).

Sementara peperangan hanya menimbulkan beberapa kemudaratan (kerusakan) dalam kehidupan umat manusia seperti: ia (perang) merupakan ujian dan kemarahan Allah yang ditimpakan kepada orang-orang yang menyalahi dan melanggar perintah-Nya; menyebabkan hancurnya negara, hilangnya harta-benda, dan lenyapnya jiwa; menyebabkan kefakiran dan malapetaka bagi orang-orang yang diperangi; menyuburkan permusuhan dan kebencian; dan menyebabkan hilangnya suku bangsa (Mawsû‘ah Narah an-Na‘îm, hlm. 4406).

Pesan Rasulullah saw. dalam Berperang  

Dalam sejarahnya, Rasulullah saw. dan beberapa sahabat melakukan perang dalam rangka membela diri dari serangan musuh. Sehingga jihad mereka dikenal dengan istilah jihâd ad-daf‘i, yaitu jihad (perang) yang dilakukan dalam rangka membela diri dan melawan serangan musuh yang memang menyerang masyarakat Muslim atau menduduki daerah (negara) mereka (Yûsuf al-Qaraḍâwî, Fiqh al-Jihâd, 2009, I: 68).

Adapun berkaitan dengan perang yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan individu dan kelompok, maka hal ini adalah bid‘ah sayyi’ah yang sangat bertentangan dengan ajaran dasar Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Sebab, Rasulullah saw. sendiri mengecam sikap orang-orang Badui yang hanya menghabiskan hidupnya untuk berperang, saling mencaci-maki, memukul mulut gadis-gadis dengan pedang buatan India, menjadi para penunggang kuda yang saling menyombongkan diri dan suka berkelahi, membiarkan anak-anak menjerit dan meminta tolong dan mendidik mereka tanpa kasih-sayang dan persaudaraan.

Rasulullah saw. bersabda: “Apa yang kalian lakukan? Apakah kalian akan saling bunuh satu sama lain? Padahal kalian adalah saudara di sisi Pencipta langit dan bumi. Perang adalah perbuatan setan. Sementara perdamaian jauh lebih utama bagi kalian. Sebab, di situlah ketenteraman, kenikmatan, dan kebahagiaan hidup yang kalian dambakan berada (George Jordac, Al-Imâm ‘Alî awt al-‘Adâlah al-Insâniyyah, 2010: 37).”

Sementara apabila terpaksa harus berperang (seperti karena membela dan membebaskan diri dari serangan musuh), maka Rasulullah saw. berpesan agar: “jangan mengadu domba dan berkhianat; jangan berlebihan (melampaui batas); jangan membunuh anak-anak, perempuan, orang tua renta, dan orang yang sedang menyendiri (khalwat) di tempat pertapaan (peribadatan); jangan membakar pohon kurma; jangan menebang pepohonan; dan jangan merusak dan menghancurkan bangunan-bangunan (Al-Imâm ‘Alî awt al-‘Adâlah al-Insâniyyah, hlm. 39).”

Oleh karena itu, para ulama fikih sepakat bahwa orang-orang yang tidak boleh (haram) dibunuh ketika berperang (jihad) adalah perempuan, anak-anak, orang gila, dan banci. Selain itu, menurut jumhur ulama fikih, termasuk orang yang tidak boleh dibunuh ketika berperang adalah orang tua renta, rahib yang sedang berada di dalam biaranya, wisatawan yang berada di atas gunung dan tidak bergabung dengan masyarakat yang sedang berperang, dan para anggota gereja yang tidak terlibat dalam peperangan. Namun, apabila mereka turut bergabung dengan orang-orang yang sedang berperang, maka mereka boleh dibunuh (al-Mawsû‘ah al-Fiqhiyyah, 1989, XVI: 148-149). Wa Allâh wa A‘lam wa A‘lâ wa Akam.

Nasrullah Ainul Yaqin, S.H.I., M.A
Nasrullah Ainul Yaqin, S.H.I., M.Ahttps://www.www.harakatuna.com
Alumni Interdisciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogykarta Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru