27.1 C
Jakarta

Memahami Moderasi Islam ala Santri Salaf

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMemahami Moderasi Islam ala Santri Salaf
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Terompa Dakwah; Mendekap Islam, Menadah Kasih Sayang, Penulis: Badrut Tamam Arifin, Penerbit: Duta Media Publishing Pamekasan, Cetakan: Maret 2021, ISBN: 978-623-675-66-7, Peresensi: Muhammad Izul Ridho.

Modernisasi pemikiran dalam berislam adalah suatu keniscayaan. Akhir-akhir ini banyak kalangan yang beranggapan bahwa santri pesantren salaf masih berpikiran jumud atau sering disebut sebagai kaum eksklusif, dianggapnya santri salaf tidak terbuka terhadap realitas modernisasi yang tak dapat dihindari di abad ini. Eksklusif satu term penyebutan yang berkonotasi negatif bagi kalangan intelektual. Anggapan semacam ini semakin menjadi ketika dihadapkan dengan isu-isu radikalisme.

Radikalisme adalah satu dari sekian ancaman pada keutuhan bangsa dan negara, mungkin karena empati kebanyakan santri salaf pada mereka yang terlanjur dilabeli sebagai radikalis. Hadirnya buku karya Badrut Tamam yang berjudul “Terompa Dakwah (Mendekap Islam, Menadah Kasih Sayang)” telah mematahkan anggapan-anggapan miring terhadap santri salaf. Sebab Badrut adalah salah seorang santri salaf di salah satu Pondok Pesantren di Pulau Madura, ia melalui karyanya telah menunjukkan keterbukaan pemikiran santri salaf dan kesiapan mereka untuk berpacu dengan realitas kehidupan.

Satu hal yang sangat menarik dari karya Badrut ini adalah uraiannya tentang perempuan dan peranannya. Disebutnya tiga peranan Muslimah yang perlu dioptimalkan; perempuan sebagai wanita salihah (mar’ah shalihah), perempuan sebagai istri yang taat (zaujah muthi’ah) dan perempuan sebagai tempat pendidikan pertama (ummu al-madrasah) (hlm. 46). Ketiga peranan itu sangatlah bertolak belakang dengan eksploitasi moral yang menganggap perempuan dihargai hanya sebatas karena kilauan rambutnya, kumulusan wajahnya dan keindahan kulitnya semata.

Selanjutnya, di dalam testimoninya Dr. Iksan Kamil Sahri menyorot dua sub pembahasan yang ia tidak sependapat dengan apa yang ditulis oleh Badrut (hlm. 118). Hal itu membuat pembaca terfokus pada dua sub tersebut. Kedua sub pembahasan itu adalah; ketidaksepahaman Badrut dengan hasil Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdhatul Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdhatul Ulama tahun 2019 untuk tidak menyebut non-Muslim sebagai kafir.

Keputusan tersebut diambil sebagai sebuah upaya dalam rangka mewujudkan misi perdamaian dunia. Sebutan Kafir dianggap sangat sensitif dan berpotensi akan menimbulkan konflik dan dianggap pula sebagai bentuk kekerasan teologis yang mengusik persaudaraan dan berpotensi memecah belah bangsa dan negara (hlm. 31). Tokoh PBNU yang mungkin sejalan dengan pandangan saudara Badrut adalah Gus Baha’udin Nursalim, sebab sampai saat ini beliau tetap menggunakan istilah kafir dalam setiap pengajian yang diampunya.

BACA JUGA  Menangkal Overdosis Beragama

Kata “Kafir” sendiri sebenarnya tidak lantas memiliki arti sebagai non-Muslim/umat manusia di luar Islam. Terdapat beberapa penyebutan kafir yang disandangkan kepada Muslim yang mengingkari nikmat Allah yang ada padanya. Disebutnya mereka dengan “Kufur Nikmat”. Dalam bahasa arab arti kata kafir adalah menutupi atau mengingkari, Badrut mengungkapkan bahwa disebutkannya kata Kafir di dalam naskah Piagam Madinah menunjukkan bahwa kafir sudah menjadi istilah dalam agama Islam sejak awal kehadirannya dan masih digunakan meski sesudah hijrahnya Nabi ke Madinah dan hal itu dilestarikan di dalam al-Qur’an.

Menurut Badrut sebenarnya terdapat hal yang lebih urgen untuk diperhatikan dalam rangka memperkukuh persatuan bangsa Indonesia yaitu pentingnya menjaga keharmonisan internal umat Islam dengan mengubur sedalam-dalamnya ungkapan yang  berpotensi menimbulkan disintegrasi di internal umat Islam. Semisal istilah liberal, radikal, bid’ah dan fundumentalis. Uraian Badrut tentang liberalisme dan radikalisme adalah pembahasan kedua yang disorot oleh Dr. Iksan.

Radikal dan liberal dua istilah yang cukup dikenal luas oleh masyarakat Indonesia sebab kedua istilah itu pernah dimainkan sebagai isu perpolitikan Nasional. Ir Soekarno dalam salah satu pidatonya mengajak seluruh elemen bangsa Indonesia membuang jauh-jauh alam pikiran liberalisme yang menyesatkan. Sedangkan istilah radikalisme muncul sejak akhir abad kedua puluh pasca terjadinya banyak aksi-aksi teror dan kekerasan sosial (separatis) oleh kelompok-kelompok yang tidak puas dengan pemerintah dan menginginkan perubahan atau pelepasan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan hanya Allah Tuhan yang berhak disembah adalah kewajiban mutlak bagi penganutnya, sehingga segala bentuk pluralisme dan sinkretisme agama adalah sebuah kesalahan dan dilarang dalam Islam maka dari itu kebebasan yang berlebihan (liberalisme) dalam beragama adalah suatu kekeliruan dan bentuk kesesatan nyata.

Sedangkan, berbeda pandangan dalam interpretasi ajaran Islam (amaliyah furu’iyah) adalah sebuah keniscayaan, namun tidak boleh perbedaan itu sampai berlebihan dengan membid’ahkan yang tidak sepaham apalagi mengkafirkan karena berlebihan dalam beragama akan menimbulkan sifat radikal dan ekstrem yang paradoks dengan agama itu sendiri.

Terakhir, layaknya sebuah katalog dan mozaik, karya Badrut Taman ini juga layak menjadi pengantar rujukan untuk memahami isu-isu keagamaan kontemporer. Saudara Badrut berusaha menyampaikan keramahan Islam dan kemoderatan Islam di tengah-tengah masyarakat yang beragam, tanpa melepaskan dari keautentikan agama Islam itu sendiri, serta tetap menyeimbangkan relasi ilhaiyah dan insaniyahnya. Wallahu A’lam Bi Al-Shawab.

Muhammad Izul Ridho
Muhammad Izul Ridho
Alumni Pascasarjana UIN Khas Jember, Pengajar di PP. Mahfilud Duror II Suger Kidul Jember.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru