34 C
Jakarta

Memahami Hakikat Pencegahan dalam Penanggulangan Radikalisme dan Terorisme

Artikel Trending

KhazanahResonansiMemahami Hakikat Pencegahan dalam Penanggulangan Radikalisme dan Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ketika tragedi Bom Bali terjadi pada tahun 2002, bangsa ini bukan hanya terkejut dengan hadirnya kejahatan luar biasa bernama terorisme, tetapi juga masih terlihat gagap dalam melakukan upaya penanganan dan pencegahan. Hampir satu dekade energi bangsa ini dihabiskan dengan upaya penegakan hukum melalui penindakan dengan menangkap, memetakan dan mengamputasi jaringan kelompok teror. Upaya yang sudah cukup sukses dan dipuji banyak negara tersebut ternyata tidak cukup memutus mata rantai terorisme.

Bangsa ini mulai sadar bahwa bahaya terorisme sebagai kejahatan kemanusian yang berdimensi trans-nasional tidak hanya berada pada aspek aksi, tetapi ideologi beserta faktor pendorong lainnya justru teramat lebih berbahaya. Mengamputasi aktor, jaringan dan logistik kelompok radikal, bukan satu-satunya cara efektif dalam menanggulangi kejahatan yang luar biasa ini. Hakikat teror sesugguhnya berakar dari ideologi kekerasan yang dilengkapi dengan faktor pemicu dan pendorong seperti lingkungan dan kondisi rentan yang menjerat seseorang dalam jaringan terorisme.

Berdasarkan data hasil riset terhadap 110 Pelaku Tindakan Terorisme bertema “Research on Motivation and Root Causes of Terrorism” yang dilakukan oleh The Indonesian Research Team, tahun 2012 yang terdiri dari Kementerian Luar Negeri, INSEP dan Densus 88 menunjukkan bahwa motivasi aksi teror di Indonesia sebanyak 45,5 persen karena ideologi agama, 20 persen karena solidaritas komunal, 12,7 persen karena mob mentality, 9,1 persen situasional dan 1,8 persen karena separatisme. Data ini menunjukkan bahwa motivasi ideologi keagamaan menjadi salah satu sumber utama dan dominan dalam proses radikalisasi.

Sebelumnya, penanggulangan terorisme masih bertumpu pada penanganan aksi yang acapkali mengabaikan proses radikalisasi  yang disebabkan oleh narasi-narasi ideologis. Begitu pula, penanganannya pun masih sangat parsial dan tidak komprehensif. Karena itulah, pada tahun 2010 atas dorongan masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), negara membentuk satu lembaga koordinator yang bertugas mengoordinasikan penanggulangannya dari aspek hulu hingga hilir. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diamanatkan menjadi lembaga yang melaksanakan penanggulangan terorisme secara holistik dan komprehensif yang bertumpu pada aspek pencegahan.

BACA JUGA  Bimtek PPIH 2024: Upaya Kementerian Agama Melahirkan Uwais Al-Qarni di Zaman Modern

Di sinilah harus dipahami bahwa sesungguhnya dalam skema penanggulangan terorisme di Indonesia, BNPT mengemban tugas penting pada aspek pencegahan dengan mensinergikan seluruh kekuatan dan modal yang dimiliki bangsa ini. Pada tahun 2018, peran ini dikuatkan dengan hadirnya UU Nomor 5 Tahun 2018 yang semakin memperjelas strategi pencegahan melalui tiga pendekatan: kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Penting dipahami bahwa ketiga pendekatan ini harus diletakkan dalam kerangka upaya pencegahan terorisme.

Pertanyaannya, apa sebenarnya pencegahan terorisme? Pencegahannya berangkat dari pola pikir bahwa terorisme bukan sekedar aksi, tetapi peristiwa kekerasan atau ancaman kekerasan yang diawali dengan proses radikalisasi. Paham radikal atau ideologi kekerasan merupakan akar yang berkelindan dengan faktor pendorong dan pendukung yang menyebabkan seseorang jatuh dalam aksi teror. Dapat dikatakan bahwa menanggulangi terorisme harus berangkat dari landasan awal bernama pencegahan radikalisme.

Dengan demikian, hakikat pencegahan dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme bertumpu pada tiga aspek sasaran dan tujuan :

Pertama, mencegah individu atau kelompok yang belum terpapar paham radikal supaya tidak terpapar dan imun dari radikalisasi melalui strategi kesiapsiagaan.

Kedua, mencegah individu atau kelompok yang sudah terpapar dalam kadar rendah dan menengah supaya sembuh kembali atau tidak meningkat ke level tinggi dan atau tidak bergabung ke jaringan terorisme melalui strategi kontra radikalisasi.

Ketiga, mencegah individu atau kelompok yang sudah terpapar pada kadar tinggi supaya tidak melakukan aksi terorisme, terkurangi kadarnya, dan atau sembuh kembali dari paham radikal melalui strategi deradikalisasi.

Ketiga sasaran dan tujuan serta strategi pencegahan di atas dapat menjadi gambaran bahwa sesungguhnya upaya penanggulangan terorisme melalui pencegahan harus dilakukan secara komprehensif dan efektif dengan melihat obyek sasaran dan strategi yang tepat.

Selanjutnya, hal terpenting bahwa pencegahan terorisme harus dilakukan dengan sinergis-koordinatif dengan memadukan keterlibatan seluruh lembaga/kementerian terkait dengan kekuatan civil society.

Brigjen. Pol. R. Ahmad Nurwakhid, M.M
Brigjen. Pol. R. Ahmad Nurwakhid, M.M
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Republik Indonesia

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru