25.6 C
Jakarta

Meluruskan Tafsir Bermasalah Mujahidin Indonesia Timur (MIT) tentang Surat An-Nahl:106

Artikel Trending

Asas-asas IslamTafsirMeluruskan Tafsir Bermasalah Mujahidin Indonesia Timur (MIT) tentang Surat An-Nahl:106
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sudah menjadi kesepakatan seluruh ulama di dunia dari zaman klasik hingga zaman kontemporer dalam menafsirkan Al-Quran harus menggunakan ilmu. Menafsirkan Al-Quran tidak boleh dengan nafsu. Dan seperti yang telah dijelaskan Nabi, barang siapa yang menafsirkan semaunya sendiri maka siapkanlah tempat di neraka. Begitu ancaman yang berbahaya dari Nabi Muhammad Saw. Bagi orang yang menafsirkan Al-Quran sembarangan. Dan pada kesempatan ini, penulis ingin meluruskan tafsir bermasalah Mujahidin Indonesia Timur tentang Surat An-Nahl: 106.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa MIT adalah kelompok militan yang mengatasnamakan Islam guna melakukan serangkaian tindak teroris. Sikap teroris mereka ini tentunya didasarkan pada dangkalnya pemahaman dali-dalil agama. Sehingga memaknai liyan sebagai kafir dan musuh, memaknai jihad sebagai perang, dan memaknai demokrasi sebagai toghut dan lain sebagainya.

Agar tidak membahayakan pemahaman masyarakat dan agar tercipta ketertiban sosial di masyarakat maka tafsir-tafsir Al-Quran, termasuk tafsir Surat An-Nahl: 106 yang dicetuskan oleh MIT harus segera diluruskan. .

Surat An-Nahl 106 berbunyi

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya: “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah). Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”.

Dalam memahami ayat ini, MIT menafsirkan bahwa setiap ikroh/paksaan dibolehkan untuk melakukan kekafiran selama-lamanya, artinya apabila seseorang pernah merasakan siksaan maka dia boleh melakukan kekafiran selama-lamanya walau tidak disiksa lagi.

Tafsir tersebut dicetuskan oleh salah seorang simpatisan MIT yang amat berbahaya, bagaimana mungkin orang Islam dibolehkan dalam keadaan kafir selama-lamanya. Jelas tafsir ini ngawur dan membahayakan akidah umat Islam.

Meluruskan Tafsir Bermasalah Mujahidin Indonesia Timur

Terkait surat An-Nahl ayat 106 ini para ulama menjelaskan bahwa dalam keadaan tidak terpaksa atau dalam keadaan tenang seperti biasa maka umat Islam haram untuk menyatakan kekafiran. Dan apabila dalam keadaan tenang ada Umat Islam yang menyatakan kekafiran maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.

Apabila dalam keadaan tiada paksaan og sampai ada yang menyatakan kekafiran berari telah tertutup mata, hati dan telinga dari petunjuk. Hal ini karena telah terperdaya oleh kenikmatan dunia seperti yang dijelaskan ayat selanjutnya, An-Nahl:107, “Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir”.

BACA JUGA  Tafsir Ayat Perang: Melihat Konteks Qs. al-Taubah [9]: 29 dalam Tafsir Buya Hamka

Dan apabila seseorang dalam keadaan terpaksa dan disuruh untuk mengucapkan kekafiran maka ada beberapa sikap yang harus dilakukan seperti yang diterangkan dalam Tafsir Ibnu Kasir

Pertama, boleh mengucapkan kekafiran hanya dilisan saja, akan tetapi hatinya tetap kokoh keimanannya. Hal ini sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Jarir

Artinya: “Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Saur, dari Ma’mar, dari Abdul Karim Al-Jazari, dari Abu Ubaidah Muhammad ibnu Ammar ibnu Yasir yang mengatakan bahwa orang-orang musyrik menangkap Ammar. Lalu mereka menyiksanya sehingga Ammar terpaksa mau mendekati sebagian dari apa yang dikehendaki oleh mereka karena dalam tekanan siksaan. Setelah itu Ammar mengadukan perkaranya kepada Rasulullah Saw., dan Rasulullah Saw. bersabda, “Bagaimanakah kamu jumpai hatimu?” Ammar menjawab, “Tetap tenang dalam keadaan beriman.” Nabi Saw. bersabda: Jika mereka kembali menyiksamu, maka lakukanlah pula hal itu.

Dari kejadian yang dialami Ammar ini turun An-Nahl: 106 yang berbunyi إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ yang artinya kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman. Maka orang yang mengucapkan kekafiran dalam keadaan terpaksa atau pura-pura tidak berdosa karena hanya sebatas di lisan saja.

Tetap Beriman Walaupun Dipaksa Kafir

Kedua, tetap teguh dalam keadaan iman walaupun dipaksa. Hal ini seperti yang dilakukan oleh sahabat Bilal. Bilal menolak keinginan mereka yang memaksanya untuk kafir. Karena itulah mereka menyiksanya dengan berbagai macam siksaan. Sehingga mereka meletakkan batu besar di atas dadanya di hari yang sangat panas. Mereka memerintahkan Bilal untuk musyrik (menyekutukan Allah), tetapi Bilal menolak seraya mengucapkan. “Esa, Esa (yakni Allah Maha Esa).” Bilal mengatakan, “Demi Allah, andaikan saya mengetahui ada kalimat yang lebih membuat kalian marah, tentulah aku akan mengatakannya.” Semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada Bilal dan memberinya pahala yang memuaskannya.

Dari sini tentunya kebolehan mengucapkan kekafiran atau berpura-pura kafir ini hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa yang bisa menghilangkan keselamatannya. Tentunya ketika sudah tidak terpaksa, haram hukumnya untuk mengucapkan kekafiran.

Walhasil penafsiran MIT di atas adalah kesalahan yang berbahaya, semoga kita terlindung dari penafsiran-penafsiran Al-Quran yang menjerumuskan. Amin

Ahmad Khalwani, M.Hum
Ahmad Khalwani, M.Hum
Penikmat Kajian Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru