34.3 C
Jakarta

Meluruskan Pergolakan Konflik Kemanusiaan Kekinian

Artikel Trending

KhazanahMeluruskan Pergolakan Konflik Kemanusiaan Kekinian
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Secara perlahan-lahan seiring pesatnya kemajuan teknologi dan kebutuhan manusia yang mulai beragam, seakan ada sesuatu yang belum bisa disentuh oleh agama itu sendiri. Entah itu, dimensi lahiriah (internal) ataupun dimensi ruhaniah (eksternal). Ada semacam kegugupan umat Islam untuk menghadapi pelbagai perubahan, Yasraf Amir Piliang (2011) menyebutnya dengan kurang prospeknya masa depan (prospective interpretation) untuk menghadapi perubahan fundamental dalam kehidupan manusia kontemporer masa kini.

Hari ini ditandai dengan meletusnya post-modernisme seakan menghilangkan makna kesakralan agama itu sendiri dengan berhala wacana-wacana baru yang lebih menjanjikan masa depan manusia, bisa saja ini adalah pengaruh kuat dari pemahaman kita yang semakin hari semakin kering atau karena manusia yang tidak mau untuk memahaminya lebih dalam akibat cara-cara berpikir yang mulai bergeser kebarat-baratan.

Perubahan ini mengilhami penulis untuk menjawab peran besar agama dari dua sisi sekaligus antara positif dan negatif dalam spektrum krisis kemanusiaan yang melahirkan rentetan konflik hingga riskan terjadi perpecahan di internal umat Islam itu sendiri. Perpecahan itu, meminjam bahasa Qardhawi (2001) adalah dengan perpecahan umat Islam yang hari ini masih sibuk mempertentangkan sesuatu yang sepele artinya bukan problem pokok dan fundamental.

Kesibukan mereka kadang digunakan untuk memperdebatkan masalah-masalah sampingan dan cabang (furu’) syariat, seraya mengabaikan pokok utama yang berkaitan erat dengan eksistensi dan esensi nasib umat Islam. Padahal, yang lebih subtansial musuh yang sebenarnya agama adalah sekularisme yang terus menyerbu, marxisme-ateis yang semakin tersebar luas, pada waktu yang sama zionisme juga mengukuhkan pijakan kakinya untuk melancarkan tipu daya yang beroperasi dalam tubuh umat yang besar.

Kalau saja umat muslim tidak melek pengetahuan, sadar atau tidak sadar justru mereka akan diseret oleh gelombang besar kejahilan yang semakin membutakan akan nilai-nilai pokok dalam agama Islam. Akhirnya, persoalan umat ada dalam diri kita masing-masing yang tanpa sadar dijajah dengan pemikiran-pemikiran barat yang justru larut dalam sebuah euforia yang menjanjikan kehidupan masa depan.

Krisis Islam Kemanusiaan

Maka dari itu, disinilah Seyyed Hossein Nasr (1983) menyebutnya krisis kemanusiaan yang berkepanjangan dan timpang. Karena pemikiran masa depan sudah dikosntruk dengan ilmu pengetahuan modern yang membuat jarak spritual kita dengan Tuhan semakin jauh merenggang. Modernisme yang menawarkan gagasan materialistiknya datang dengan merasuki kedalaman spiritualitas Islam. Dampaknya, semakin terkikisnya identitas keislaman yang telah lama dipertahankan.

Lambat laun umat Islam menjadi sekelompok orang masyarakat yang kehilangan jati diri sebagai umat yang dulu pernah mencapai puncak kejayaan peradaban dunia. Seolah, ini benar-benar nestapa, pelan tapi pasti penjajahan yang tidak berupa fisik membuat umat muslim bertungkuslumus dengan bayang-bayang material yang jelas-jelas akan membunuh keimanannya semakin berkurang. Pasalnya, rumah kita (baca: agama) sebagai tempat tinggal sudah bising dengan isi perdebatan sengit yang mengerikan hingga menimbulkan perpecahan di antara kaum muslim, baca saja soal-soal ijtihadiah yang menjadi ajang perselisihan madzhab-madzhab dan aliran-aliran sepanjang masa yang mustahil untuk disepakati manusia secara keseluruhan namun tetap menjadi tema pokok perselisihan yang tak ada ujungnya.

BACA JUGA  Metamorfoshow: Titik Tolak Kontra-Propaganda Khilafah

Jelas ini akan memasuki apa yang disebut oleh Imam al-Ghazali sebagai era baru, dimana manusia hanya bisa berpikir kritis namun jarang diejawantahkan dalam kehidupan yang riil. Melihat sisi negatif agama-agama sejatinya ingin menampilkan sebuah momentum besar yang bisa diterima oleh masyarakat secara luas bahkan tidak hanya terbatas pada masyarakat/manusia secara umum. Akan tetapi, kepada setiap makhluk Tuhan di muka bumi, agama memiliki peran yang signifikan.

Namun, semuanya tidak semudah menarik nafas dan menghempaskannya dengan tenang, ada proses panjang yang perlu dilalui dengan cara-cara perenungan dan perbuatan yang konkret. Sedang kenyataan berbanding terbalik dengan apa yang dicita-cita para utusan Allah. Bisa ditengarai bahwa letak kelalaian umat muslim barangkali ada di sini. Ya, disaat citra dan identitas agama kita dirusak dengan simbol-simbol yang negatif. Sehingga perhatian kita penting untuk menangkal ekstremisme, fundamentalisme, terorisme, dan kekerasan.

Adalah serangkaian produk dari pelabelan atau pencitraan oleh pihak-pihak tertentu, sebut saja seperti Amerika Serikat yang paling gencar menyuarakan. Pelabelan tersebut telah mereduksi makna Islam yang sebenarnya yang sudah diajarkan dalam hadits dan al-Qur’an. Belum lagi Islam dituduh sebagai agama yang mendorong praktik terorisme, karena banyaknya kejadian teror yang mengatasnamakan agama Islam atau memang orang Islam itu sendiri yang melakukannya, sebab cara dan pengetahuan yang berbeda.

Tantangan

Meskipun beberapa kali ini dilakukan pembantahan dengan seminar-seminar dan tulisan ilmiah tentang Islam yang rahmatan lil ālamin, akan tetapi semua seakan terkubur ke dasar bumi sebab secara formal wacana itu tidak bisa mencegah terorisme berhenti. Namun, paling tidak sebagai upaya konkret untuk proses pencegahan bisa diterima. Kasus kekerasan sesama manusia sebab adanya ideologi yang berbeda, fanatisme buta atau berlebihan dalam beragama adalah sesuatu yang negatif bahkan bisa membuat agama itu sendiri tidak memiliki fungsi sebagaimana mestinya, malah sebaliknya yang terjadi manusia memperalat agama untuk mencapai kepentingan duniawi.

Karena itulah banyak penulis jumpai para ulama yang memperjual belikan fatwa, melakukan ijtihad sendiri dan memfatwakannya sebagai bentuk kewajiban kepada orang lain. Padahal, di balik itu semua ada kepentingan sesaat yang hanya dapat dirasakan oleh orang-orang tertentu. Fenomena ini bagian yang paling riskan penulis rasakan, ketika agama hanya sebatas kendaraan untuk memuaskan hawa nafsu manusia yang rakus, ketika agama dijadikan alat untuk menjatuhkan kawan sesama, dan ketika agama mulai tidak lagi memiliki ruh yang sakral untuk membentengi kehidupan manusia.

Dengan demikian, bisakah agama menjawab semua tantangan krisis kemanusiaan? Kemungkinan besar masih memiliki harapan sebagaimana manusia memiliki harapan masa depan untuk terus hidup ketika ada usaha untuk mempelajari dan mempraktikannya dengan baik. Wallahua’lam…

Jamalul Muttaqin
Jamalul Muttaqin
Penulis Lepas

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru