30 C
Jakarta

Melindungi Anak WNI Eks ISIS

Artikel Trending

Milenial IslamMelindungi Anak WNI Eks ISIS
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dibalik sikap dan penolakan kebijakan pemerintah terhadap 600 WNI eks ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) adalah persoalan yang sangat lumrah terjadi. Menurut ulama ushul putusan pemerintah dapat kita nilai sesuai dengan kaidah fikih (درء المفاسد وجلب المصا لح). Artinya, “Menolak bahaya harus lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan”.

Pemulangan 600 WNI eks ISIS, mulai dari istri hingga anak-anak para pengikut kelompok Islam ekstrem–radikal mengundang banyak reaksi pro kontra dari banyak kalangan. Di sisi lain, sebagian elit negara dan masyarakat menerima kepulangan mereka. Sebaliknya, ada juga yang menolak kembalinya mereka ke negara Indonesia.

Apalagi kepulangan anak-anak seolah-olah dinilai ancaman besar bagi negara Indonesia. Penilaian tersebut tentu menjadi catatan penulis terhadap kebijakan pemerintah yang lebih menolak bahaya daripada menarik kemaslahatan, jika ini subtansinya anak adalah generasi perubahan yang akan menentukan masa depan bangsa dan negara.

Anak seharusnya dinilai sebagai dimensi perubahan bukan dipandang sebelah mata. Sehingga membuat sikap dan putusan pemerintah tidak bijaksana, meskipun memerlukan adanya rehabilitasi dan deradikalisasi untuk anak WNI eks ISIS adalah langkah yang kita apresiasi, terutama pemerintah yang memiliki tanggung jawab atas persoalan ini.

Oleh karena itu, perlu kita ingat jika merujuk pada ratifikasi Konvensi Hak Anak 1996 Indonesia adalah negara yang meratifikasi regulasi tersebut. Berdasarkan filosofi tersebut harusnya pemerintah tidak menolak anak-anak. Akan tetapi, memulangkan mereka. Lalu, dimasukkan ke dalam program rehabilitasi dan deradikalisasi.

Kebijakan program rehabilitasi dan deradikalisasi memang membantu anak-anak untuk hijrah dan berubah terhadap pemahaman awal. Yaitu, menjadi generasi milenial yang menjunjung tinggi nasionalisme dan berpikir secara moderat. Anak adalah generasi perubahan yang kelak akan menentukan arah kehidupan bangsa dan negara.

Jika menolak pertimbangan hukumnya sesuai dengan kaidah fikih. Di satu sisi, jika pemerintah menolak kepulangan anak WNI eks ISIS, maka telah bertentangan dengan hadis Nabi SAW. Berikut ini: (ليس منا من لم يرحم صغيرنا ولم يوقر كبيرنا). Artinya, “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak-anak dan yang tidak menghormati orang tua”.

ISIS, Khilafah, dan Anak Korban Radikalisme

Perilaku dan kebiadaban ISIS tidak mencerminkan kelompok Islam rahmatan lil ‘alamin yang menjunjung tinggi Pancasila, demokrasi, dan kemanusiaan. Kelompok ISIS hanya menggunakan agama sebagai alat untuk berjihad dan memperjuangkan misi kekhilafahannya terhadap penegakan syariat dan pembentukan negara Islam.

Penulis menilai anak bukan pelaku dan pengikut ISIS sebenarnya. Namun, mereka adalah korban doktrin ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Motivasinya adalah menegakkan khilafah Islamiyah. Dalam konteks ini, ada beberapa catatan .Pertama, secara yuridis, kelompok militan ISIS telah sengaja melakukan pemberontakan (law breaking) terhadap pemerintahan yang absah dan konstitusional di negara Suriah, dan Iran.

Kedua, secara teologis memiliki kesamaan dalam keyakinan (agama), tetapi secara pandangan maupun aliran serta praktik mungkin jauh berbeda. Ketiga, secara historis, khilafah hanya berlaku dimana semenjak khulafaur rasyidin itu pasca kepemimpinan Nabi Muhammad SAW mengalami pergantian melalui sistem ahlul halli wal aqdi. Di antaranya, Abu Bakar Ash-Shiddiq (13/632-634 M), Umar Bin Khattab (13-23 H/634-644 M), Usman Bin Affan (23-26 H/644-656 M), dan Ali Bin Abi Thalib (36-41 H/656-661 H).

BACA JUGA  Persatuan Melampaui Kepentingan: Telaah Rekonsiliasi Politik Kebangsaan

Keempat, secara sosiologis, respon masyarakat Indonesia dalam konteks kehidupan sosial masyarakat lebih menghendaki ideologi Pancasila daripada khilafah. Kelima, secara antropologis, faktor kebudayaan yang jauh berbeda antara negara Indonesia yang mayoritas muslim dibandingkan negara Islam lainnya, khususnya di kawasan Timur Tengah.

Semua catatan penulis tersebut dapat menunjukkan bahwa khilafah yang kini dideklarasikan oleh ISIS, dan Hizbut Tahrir. Di Indonesia, tidak lain hanya bentuk regenerasi Islam puritan alias ekstremisasi, dan radikalisasi. Istilah pemahaman ini memungkinkan dari pengikut kelompok jihadis tersebut potensial melahirkan teroris.

Dalam konteks penolakan kebijakan anak WNI eks ISIS, secara filosofis pemerintah harusnya menilai anak mereka bukan dari kapasitas pelaku. Melainkan mereka adalah anak-anak yang seharusnya dianggap korban dari paham ekstremisme dan radikalisme. Sehingga perlu adanya pertimbangan ulang dari pemerintah itu sendiri.

Hukum Melindungi Anak

Anak sebagai generasi perubahan dalam tata kehidupan agama, bangsa dan negara. Secara susbtantif, memiliki hak untuk dijamin pendidikan, perlindungan, dan keamanan. Oleh karena itu, negara sebagai pelayan masyarakat, terutama anak-anak pencari keadilan harus dijamin sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pun Rasulullah SAW memerintahkan untuk berlaku adil terhadap sesama anak-anak dan tanpa mengistimewakan salah satu dari mereka, dalam sabdanya (اتقوالله واعدلوبين أولادكم). Artinya, “Bertakwalah pada Allah dan berlaku adillah kalian sesama anak-anak kalian”. Negara dalam hal ini pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi anak-anak, sebab perlindungannya adalah jaminan dari keadilan.

Pada Konvensi Hak-hak Anak 1989 menegaskan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2),  serta pasal 6 ayat (1) dan (2) merumuskan tentang hak-hak anak. Bahkan, negara dan pemerintah wajib melindungi hak anak sebagai generasi kedepannya. Sehingga menurut hemat penulis, penolakan pemerintah terhadap nasib anak WNI eks ISIS dapat dinilai sebagai kebijakan yang diskriminatif.

Paling tidak, ada jaminan perlindungan dari negara terhadap hak-hak anak tersebut. Maqasidus syariah pun menegaskan tentang pentingnya hifdz an-nasab, yaitu menjaga keturunan. Menjaga dan melindungi anak merupakan esensi menjaga keturunan guna kepentingan masa depan anak. Agar tidak mudah lagi terpapar paham ekstremisme, dan radikalisme.

Prioritas hukum ini, setidaknya dapat menjamin kemaslahatan bagi anak-anak sebagai korban penipuan ISIS. Langkah pemerintah akan lebih baik jika menata ulang pertimbangan tersebut tanpa harus menolak mereka. Oleh sebab itu, hak-hak anak agar dapat diperlakukan seadil-adilnya oleh pemerintah. Sehingga lebih terkesan kebijakan yang bersifat edukatif.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru