25.7 C
Jakarta

Melindungi Anak dari Konten Radikal di Era Digital 

Artikel Trending

KhazanahOpiniMelindungi Anak dari Konten Radikal di Era Digital 
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di era sekarang ini, bisa dikatakan konten digital menjadi salah satu hal yang paling memengaruhi kehidupan anak-anak atau kalangan remaja. Hampir setiap saat, anak dan remaja kita melihat berbagai jenis konten dari perangkat mereka: gawai, iPods, tablet, dll. Studi “Keamanan Penggunaan Media Digital pada Anak dan Remaja di Indonesia” pada 2014 dari Menkominfo bersama UNICEF menyatakan jumlah anak dan remaja Indonesia yang memakai ponsel untuk mengakses internet tak kurang dari 52 persen.

Konten-konten digital yang dikonsumsi anak dan remaja kita beragam. Dari mulai berbentuk gambar, video, lagu atau suara, teks, dll. Masalahnya, tak sedikit konten bermuatan hal-hal negatif seperti kekerasan, radikalisme, percintaan yang mengarah ke seks, pornografi, peperangan dan kejahatan. Inilah yang mengancam anak dan remaja kita hari ini. Sebab kita tahu, anak-anak dan remaja masih dalam fase pembentukan sehingga belum mampu menyaring berbagai informasi yang mereka konsumsi.

Guna membangun kesadaran akan bahaya konten negatif bagi anak dan remaja, penting bagi para orang tua memahami terlebih dahulu bagaimana cara atau strategi para “pemasar” produk atau konten media dalam membidik para anak dan remaja kita. Dari sana, para orang tua akan melihat inti persoalan dan bisa menentukan langkah yang bisa diambil secara lebih tepat dan efektif agar anak terhindar dari dampak buruknya.

Rebecca Hagelin, penulis yang lebih dari 25 tahun memperjuangkan nilai-nilai pro-keluarga di Washington DC dalam bukunya 30 Cara dalam 30 Hari Menyelamatkan Keluarga Anda (Pustaka Alvabet: 2015) mengatakan, kebanyakan pemasar membidik anak dan remaja dengan membangkitkan hormon dan emosi mereka yang mudah menggelora dengan membuat konten yang merangsang, hingga memicu adrenalin dan membuat ketagihan. Hari ini, iklan memiliki andil besar dalam memengaruh anak dan remaja. Jadi, setiap orang tua perlu memberi bekal anak sikap kritis dalam memandang iklan.

Menurut Hagelin, menangkal pengaruh iklan media bisa dilakukan dengan membantu anak mempelajari iklan itu sendiri. Orangtua bisa menanamkan sikap kritis anak dan remaja terhadap iklan yang mereka lihat. Misalnya, memberi pertanyaan: “Apa yang sebenarnya dijual pihak sponsor? Apakah produk itu sendiri, atau hanya image yang dikaitkan pada produk tersebut?” atau “Apakah saya benar-benar membutuhkan produk ini? Atau pihak sponsor sekadar menciptakan kebutuhan untuk produk ini?”

Selain iklan, anak dan remaja juga sangat dipengaruhi tokoh idola mereka. Di sini, penting bagi orangtua memberi pengertian tentang makna idola, pahlawan, atau siapa pun yang patut diidolakan anak. Ini agar anak tak terjerumus mengidolakan tokoh atau karakter-karakter yang justru memberi pengaruh hal-hal negatif. Seperti menyebarkan kekerasan, kejahatan, pornografi, perundungan (bullying), radikalisme, dan sebagainya.

BACA JUGA  Radikal-Terorisme Sasar Medsos, Akankah Kita Diam Saja?

Membangun Karakter

Di dalam memantau, membimbing, dan memandu anak mengonsumsi konten-konten digital, orang tua sebaiknya tak hanya fokus pada membolehkan atau melarang. Namun lebih kepada bagaimana menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai moral yang harus dipegang agar menjadi karakternya hingga dewasa. Oleh karena itu, orang tua harus banyak berkomunikasi dengan anak untuk membangun kesadaran bahwa menjauhi konton-konten negatif tersebut bukan karena dilarang, namun karena sadar dampak negatifnya.

Terkait konten radikalisme misalnya, orangtua harus aktif membangun kesadaran dan kewaspadaan pada anak bahwa tidak semua konten berisi narasi atau ajakan-ajakan yang sekilas bernuansa agama bisa dipercaya. Ini, pertama-tama harus dibangun dengan pemahaman agama yang toleran, damai, dan moderat kepada anak.

Anak, terutama remaja, harus diajarkan bersikap kritis terhadap ajaran agama yang beredar di dunia maya. Jangan sampai anak gampang terprovokasi konten-konten radikal yang gemar menyuarakan “jihad”, “perang”, hingga mudah menuduh orang lain “kafir”. Kita tahu, tak sedikit remaja termakan hasutan kelompok ekstremisme agama dari dunia maya, hingga rela terbang ke Suriah untuk “berjihad”.

Komunikasi dan pendampingan tersebut harus dibangun dan dibiasakan di lingkungan keluarga. Saat anak sedang asyik menonton tayangan-tayangan di televisi, video-video di Youtube, bermain game, media sosial, menelusuri berbagai informasi di mesin pencari, dan sebagainya, orangtua perlu melakukan pendampingan sekaligus memberi pengertian kepada anak tentang apa yang mestinya dipahami dari konten-konten tersebut. Tentu, komunikasi harus dilakukan sehangat mungkin, dengan bahasa yang empatik dilandasi kasih sayang. Ini agar anak mau menerima dengan baik dan penuh kesadaran apa-apa yang orangtua katakan.

Era digital adalah realitas yang tak terhindarkan. Orangtua hari ini tak bisa begitu saja melarang anak-anak mengakses konten-konten digital. Sebab bagi anak-anak, dunia digital adalah masa depan mereka. Dunia yang sangat dinamis, menuntut kreativitas dan inovasi yang luar biasa. Yang wajib dilakukan orangtua adalah mendampingi dan membekali anak dengan landasan agama yang moderat, pengetahuan yang luas, sikap kritis, dan kesadaran-kesadaran moral agar bisa mengkonsumsi konten digital dengan bijak, sehat, dan cerdas.

Al Mahfud
Al Mahfud
Penikmat buku, penulis lepas, Aktif menulis topik-topik radikalisme-terorisme, Alumni IAIN Kudus.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru