25.6 C
Jakarta
Array

Melihat Keteladanan Pemimpin Bangsa

Artikel Trending

Melihat Keteladanan Pemimpin Bangsa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pilkada serentak telah selesai dilaksanakan pada Rabu (27/06) yang lalu. Kini kita tinggal menunggu hasil pengumuman resmi dari KPU tentang pejabat terpilih di masing-masing wilayah. Meskipun sudah ada berbagai lembaga survey yang melakukan hitung cepat (Quick Qount), namun di sejumlah wilayah yang selisih kemenangannya tipis masih harap-harap cemas menunggu hasil hitung resmi dari KPU.

Dalam pilkada serentak yang lalu, ada sejumlah kejadian unik yang terjadi, mulai dari kemenangan suara kotak kosong atas calon tunggal Pilwakot Makassar, hingga menangnya calon pejabat yang telah ditahan oleh KPK karena kasus korupsi dalam pemilihan Bupati Tulungagung. Bisa dibilang ini merupakan kejadian unik dan mengenaskan, kasus pertama menunjukkan bagaimana rakyat merasa tidak percaya dengan calon tunggal yang didukung banyak Partai Politik tersebut, kasus kedua mungkin karena rakyat belum bisa menilai figur calon dengan baik.

Di masa kini, orang berlomba-lomba ingin menjadi pejabat negara karena tergiur dengan jaminannya, seolah menjadi pejabat negara adalah profesi yang menguntungkan. Tak heran kita sering mendengar ada saja orang yang menjual sejumlah aset berharganya demi kampanye agar dia memenangi pemilihan umum. Ada pula yang rela memberikan mahar politik kepada partai tertentu demi dicalonkan menjadi calon anggota legislatif atau kepala daerah tertentu. Ini layaknya perniagaan yang mencoba mencari keuntungan, ketika terpilih maka tujuan utama ialah bukan melayani rakyat, melainkan mengembalikan modal yang telah dikeluarkan semasa pencalonan diri dan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya, kasus korupsi dan suap pun sangat tinggi di Indonesia. Belum lagi budaya “serangan fajar” atau politik uang untuk meraih suara rakyat yang hingga Pilkada kemarin pun masih banyak dilakukan.

Pada 2016, Global Corruption Barometer (GCB) melakukan survey yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga negara yang paling besar korupsinya. Belum lagi pada tahun 2017 yang lalu publik dibuat tercengang karena untuk pertama kalinya ketua DPR RI menjadi tersangka korupsi. Setya Novanto, yang kala itu menjadi ketua DPR RI ditahan akibat kasus korupsi E-KTP setelah sebelumnya beberapa kali dia menghindari pemanggilan dari KPK.

Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan menyatakan selama enam bulan pertama 2017 sudah ada 226 kasus korupsi dengan kerugian negara sekitar Rp 1,83 triliun dan nilai suap Rp 118,1 miliar. Dan penghujung tahun 2017, meningkat menjadi 576 kasus dengan kerugian sekitar Rp. 6,5 triliun dan nilai suap Rp. 211 miliar. (www.antikorupsi.org)

Tingginya kasus korupsi di ranah pemerintahan membuktikan masih banyaknya orang yang menganggap bahwa jabatan pemerintahan ini adalah cara untuk meraup keuntungan dan tujuan pribadi mereka sendiri, bukan untuk melayani dan berbakti untuk rakyat.

Seorang pejabat sejatinya ialah pemimpin bagi rakyatnya yang seharusnya memberikan contoh dan suri tauladan yang baik bagi segenap rakyatnya. Ketika para pemimpinnya bermasalah, maka tidak mengherankan jika di kalangan bawah masalah pun tidak kunjung usai.

John C. Maxwel, dalam karyanya, Leadership 101, menyebutkan bahwa pemimpin itu ialah orang yang bisa mempengaruhi. Maka kita bisa bisa memperkirakan, pengaruh apa yang akan diberikan kepada rakyat ketika pemimpin bangsa ini tidak bertindak dan memberikan contoh yang baik.

Teladan Pemimpin Bangsa

Jika mau berkaca pada sejarah, seharusnya para pejabat sekarang ini merasa malu kepada para pejabat pemimpin bangsa kita dahulu.

Ada sebuah pepatah Belanda yang dahulu sering dipakai oleh para pendiri bangsa kita, “Leiden is lijden” yang artinya memimpin adalah menderita. Itu juga merupakan kalimat yang pernah diucapkan oleh Haji Agus Salim, “Memimpin adalah menderita, bukan untuk menumpuk harta”. Dan apa yang diucapkan oleh orang sempat menjadi menteri luar negeri Indonesia ini bukan hanya sekedar ucapan saja, semasa hidupnya Agus Salim memang dikenal sebagai pemimpin yang kehidupannya sederhana bahkan cenderung hidup susah. Wim Schermerhorn, seorang diplomat perwakilan Belanda dalam perundingan Linggarjati sempat menyatakan kekurangan orang tua asal Minangkabau ini: “Agus Salim hanya memiliki satu kekurangan, semasa hidupnya dia selalu miskin dan melarat”.

Sebagaimana sang guru, salah satu murid Agus Salim yakni Mohammad Natsir, yang pernah menjabat dua kali sebagai menteri penerangan, dan menjadi perdana menteri pertama NKRI ini sempat membuat bingung George McTurnan Kahin, seorang sejarawan dan akademisi dari Cornell University ketika mereka bertemu pada tahun 1948 di Yogyakarta. George McTurnan Kahin melihat bahwa penampilan Natsir tidak selayaknya seorang menteri negara, karena saat itu Natsir memakai jas yang penuh dengan jahitan tambalan.

Kita juga sering mendengar kisah bagaimana Mohammad Hatta, seorang wakil presiden pertama Indonesia, harus menahan diri hanya untuk membeli sebuah sepatu baru yang sangat diinginkannya karena tidak memiliki uang untuk membelinya. Dan masih banyak lagi kisah inspiratif bagaimana pemimpin bangsa ini dahulunya ialah benar-benar orang yang berjuang untuk bangsa.

Pepatah kita mengatakan pengalaman adalah guru yang berharga, maka sejarah para pendiri bangsa ini pun merupakan guru yang sangat berharga. Sebagaimana pula Presiden pertama Indonesia, Soekarno, mengungkapkan jangan sekali-kali melupakan sejarah. Ada baiknya di sekolah-sekolah lebih dikuatkan kembali pelajaran sejarahnya sebagai pendidikan karakter anak bangsa. Hal ini penting agar generasi kita tidak buta sejarah dan memahami akar bangsanya. Itulah makna ketika kita belajar dari sejarah, melihat masa lalu untuk menatap dan melangkah ke masa depan. Ibarat ketika kita akan meluncurkan anak panah, semakin kita menarik kuat ke belakang maka akan semakin cepat dan kuat anak panah melesat ke depan.

Kita tentu merindukan pemimpin bangsa layaknya Soekarno, Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, atau Mohammad Natsir. Kini kita hanya bisa membaca kisah-kisah dan pemikiran mereka. Namun kita masih bisa membentuk pemimpin masa depan yang baik untuk bangsa Indonesia.

*Syaidina Sapta, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru