28.6 C
Jakarta

Melihat Istilah ‘Tobrut’: Budaya Seksis yang Merenggut Hidup Perempuan

Artikel Trending

KhazanahTelaahMelihat Istilah ‘Tobrut’: Budaya Seksis yang Merenggut Hidup Perempuan
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Istilah perempuan ‘tobrut’, belakangan ini, menjadi istilah yang marak dibicarakan di media sosial. Banyak juga di TikTok, video dengan tagline cewek tobrut membanjiri FYP disertai dengan dance kekinian.

Istilah tobrut artinya adalah singkatan gaul dari toket brutal. Jadi cewek tobrut artinya cewek toket brutal. Istilah tobrut dalam bahasa gaul biasanya digunakan ketika melihat wanita yang memiliki ukuran buah dada di atas normal. Tidak heran apabila video yang ramai di media sosial adalah perempuan dengan penggunaan jilbab tapi memiliki payudara yang besar dengan lekuk tubuh yang jelas terlihat.

Jika dilihat dari berbagai tren yang muncul, istilah tobrut juga kerapkali digunakan oleh para perempuan melalui akun media sosial dengan quote-quote dewasa. Istilah ‘tobrut’ lambat laun menggeser sebuah pemaknaan yang awalnya amat sangat buruk, menjadi sebuah kebanggaan oleh sebagian perempuan di media sosial. Padahal, kalau kita telaah makna ‘tobrut’ di atas, kita bisa memahami bahwa istilah tersebut berasal dari budaya seksis yang tidak lepas dari masyarakat kita. Budaya seksis masih menjadi bahan bercanda atau bahan guyonan untuk kehidupan masyarakat, yang jelas-jelas sangat merugikan perempuan.

Namun, uniknya justru masyarakat kita, khususnya perempuan tidak mengerti bahwa istilah seksis tersebut sangat merugikan perempuan. Melalui fenomena ini, tubuh yang seharusnya menjadi sarana manusiawi yang etis, justru menjadi sarana konsumsi industri yang fetis dan hedonis yang perlu dipuja. Ini juga memperjelas posisi tubuh perempuan yang sering dikapitalisasi oleh pasar untuk keuntungan semu semata.

Media Sosial dan Budaya Seksis

Budaya seksis seperti menjadikan tubuh perempuan sebagai bahan bercanda, merupakan salah satu budaya yang masih melekat pada masyarakat. Bahkan, sampai hari ini jika kita mengkritik tentang konten bercanda yang seksis, kerapkali dianggap sebagai orang yang ‘baperan’. Stigma feminis yang biasa mengkritik konten bercanda seksis dianggap sebagai makhluk yang mudah tersinggung. Padahal, budaya seksis tersebut sangat merugikan pihak perempuan, karena menjadikan tubuh perempuan sebagai objek.

BACA JUGA  Belajar dari Keberhasilan Fatayat NU Jawa Barat dalam Penanggulangan Radikalisme

Meski demikian, seperti yang sudah disinggung di atas bahwa, perempuan juga menjadi kelompok yang melanggengkan budaya tersebut melalui produksi konten, sehingga terus mengakar di masyarakat. Hal ini terjadi karena pada hari ini, masih banyak sekali perempuan yang sudah terhegemoni dan didominasi oleh kapitalisme. Fakta ini juga diperkuat oleh Gramschi, bahwa hegemoni tercipta ketika sebuah ideologi dipaksakan sedemikian rupa, akan tetapi mendapatkan persetujuan dan didukung oleh mayoritas secara sadar. Kesadaran ini hilang akibat penindasan yang sudah terjadi. Dengan kata lain, kita semua yang melanggengkan budaya tersebut tanpa menyadari bahwa budaya penindasan terhadap perempuan terus mengakar.

Tujuan utama yang ingin dicapai oleh masyarakat pada hari ini adalah popularitas dan viralitas. Keduanya kerapkali mengorbankan sesuatu yang bersifat etis, seperti halnya tubuh perempuan. Apabila kita menjadi kelompok yang turut serta melanggengkan istilah ini, kita sama saja pelaku penindasan itu sendiri. Semakin tinggi dan populer istilah ‘tobrut’ di media sosial, menandakan bahwa perempuan hidup di dalam tekanan sosial yang tidak ada akhirnya.

Objektivikasi citra negatif perempuan, akan berpengaruh terhadap kepercayaan diri perempuan. Sebab ini akan berpengaruh pada kehidupan nyata. Kita akan secara refleks menyematkan istilah ‘tobrut’ kepada seorang perempuan yang kita temui di jalan, atau yang kita kenal.

Tanpa disadari pula, kita juga akan membandingkan bentuk anggota tubuh perempuan lain. Dengan demikian, budaya seksis ini akan terus mengakar dalam kehidupan kita. Tidak hanya itu, budaya seksis ini membatasi fisik seorang perempuan, yang mengakibatkan kualitas kecerdasan, profesionalitas atau kepemimpinan perempuan kerapkali diabaikan. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru