28.4 C
Jakarta

Melawan Islamofobia, Taktik Kaum Radikal Mempermainkan Psikologi Umat Islam

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMelawan Islamofobia, Taktik Kaum Radikal Mempermainkan Psikologi Umat Islam
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Terma dan pembahasan mengenai islamofobia sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Dakwah Rasulullah SAW direspons oleh kaum kafir Quraisy dengan pertantangan dan kebencian.

Di era post truth mutakhir kini, istilah islamofobia dikaitkan dengan narasi islamofobia. Berbagai kebijakan negara yang  dinilai tidak menguntungkan posisi diri dan kelompok radikal selalu diklaim sebagai ekspresi islamofobia.

Islamophobia adalah bentuk ketakutan berupa kecemasan yang dialami seseorang maupun kelompok sosial terhadap Islam dan orang-orang Muslim yang bersumber dari pandangan yang tertutup tentang Islam serta disertai prasangka bahwa Islam sebagai agama yang “inferior” tidak pantas untuk berpengaruh terhadap nilai-nilai di masyarakat (Moordiningsih, 2004).

Dengan menggunakan strategi pemainan psikologis playing victim, kaum radikal berperan seakan-akan menjadi korban dari kebijakan pemerintah yang islamifobia. Kaum radikal yang semakin didesak oleh iklim keharmonisan yang diupayakan pemerintah (umara) dan ulama justru membangun citra bahwa mereka adalah entitas yang terdzalimi.

Permainan psikologis semacam ini dapat menguntungkan kaum radikal untuk tetap bertahan untuk kemudian bangkit dan ‘menyerang.’ Dengan memposisikan diri sebagai korban, maka akan banyak kalangan yang mudah bersimpati, menolong, dan bahkan rela berkorban demi sebuah penyelamatan.

Padahal, kaum radikal adalah kelompok yang memecah belah NKRI dengan strategi adu domba yang efektif sejak masa lampau. Sebagaimana kita ketahui bersama, runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit bukan karena ancaman dari luar, melainkan karena adu domba dan permainan playing victim yang membabi buta.

Kini, kelompok radikal melalui berbagai kanalnya sedang ‘mengemis simpati’ umat dengan kisah-kisah kriminalisasi tokoh agama hingga kebijakan negara untuk membakar api perlawanan umat terhadap negara. Kaum radikal membangun citra seolah-olah kebijakan negara dipengaruhi oleh islamofobia di Indonesia.

Padahal, tidak ada kebijakan negara yang berawal dari Islamofobia. Kebijakan negara tidak lahir dari kebencian dan ketakutan terhadap umat Islam. Justru, negara hadir untuk menjaga iklim kehidupan beragama yang sehat dan mampu mendukung pencapaia pribadi yang matang, humanis, dan beretika.

BACA JUGA  Meluruskan Kesalahpahaman Toleransi Islam di Tengah Konflik Palestina-Israel

Terorisme dan radikalisme harus dilawan dengan gerakan bela negara dan belajar agama secara benar dan bersanad sehingga sanad keilmuan terhubung hingga Rasullah Saw. Kaum radikal sengaja membingkai narasi islamofobia untuk menghimpun massa agar melawan negara secara destruktif dan hanya mengedepankan emosi belaka, tanpa iman dan akal.

Kelompok radikal di balik permainan psikologis playing victim menginginkan adanya perpecahan umat beragama. Posisi kaum radikal yang kini semakin ‘terdesak’ mendorong mereka meningkatkan harga diri kelompok melalui narasi islamofobia dalam kebijakan negara.

Hal ini senada dengan teori identitas sosial yang dikemukakan oleh Tajfel & Turner (dalam Augoustinos & Reynolds, 2001)  yang menjelaskan bahwa prasangka dan diskriminasi terhadap kelompok lain berawal dari keinginan individu-individu untuk mengidentifikasikan dirinya dengan suatu kelompok sosial yang lebih unggul dari kelompok lain, dengan tujuan untuk meningkatkan harga diri mereka.

Jelas bahwa kaum radikal menganggap bahwa islamofobia terbangun secara terstruktur di Indonesia. Padahal, fakta mengemukakan bahwa tidak ada islamofobia terstruktur di NKRI. Justru, kebijakan negara yang ada ialah pengembangan terhadap nilai-nilai keislaman. Dan secara alamiah, hal ini jelas berkebalikan dengan nilai-nilai destruktif yang dianut kaum radikal.

Berdasarkan pola ini, semakin jelas bahwa kaum radikal mendengungkan bahwa terdapat islamofobia secara struktural di negara hanya demi melindungi eksistensi kelompoknya.

Pungkasnya, kita perlu menyikapi isu narasi islamofobia secara holistik dan bijaksana. Bila ada narasi Islamofobia di media social secara membabi buta, tak perlu terbawa arus apalagi bersimpati fanatik ke alamat yang salah (baca: kaum radikal).

Kehati-hatian dalam bersikap akan menuntun pada sikap yang tenang dan tidak terburu-buru sehingga kita tak terjebak dalam permainan psikologis yang hanya akan menguntungkan kelompok radikal. Wallahu’alam.

Nurul Lathiffah, S.Psi., M.Psi
Nurul Lathiffah, S.Psi., M.Psi
Pendamping sosial sekaligus pendidik Madrasah Diniyah Baitul Hikmah yang suka menulis kajian psikologi keislaman.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru