25.4 C
Jakarta

Melawan Dengan Kelembutan

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMelawan Dengan Kelembutan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Memimpin dengan Hati: Pengalaman sebagai Kepala BNPT, Penulis: Suhardi Alius, Jumlah Halaman: 384 Halaman, Tahun Terbit: 2019, Penerbit: Gramedia Pustaka Utama. Peresensi: M. Nur Faizi.

Perubahan kultur masyarakat yang tiap hari makin konsumtif, hedonisme, dan mementingkan diri sendiri secara tidak langsung ikut memperlemah ketahanan Nasional. Selain itu, sikap main hakim sendiri dan berbagai budaya kekerasan lainnya masih hadir di tengah kehidupan masyarakat. Akibatnya, pola hidup rukun makin terancam, masyarakat mudah marah akibat konflik sosial yang sederhana.

Buku ini menceritakan secara detail tahap-tahap melawan tindak kekerasan. Seringkali cara-cara kekerasan yang dilakukan masyarakat justru menjadi justifikasi negatif bahwa bangsa Indonesia selalu mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Aparat kian dituntut untuk memutus mata rantai konflik yang ada di masyarakat. Namun yang terjadi, aparat hanya dapat meredam bentuk konflik yang muncul ke permukaan. Faktor yang menjadi akar permasalahan belum bisa diselesaikan. Akibatnya, konflik sewaktu-waktu bisa meletus kembali.

Maka, pluralitas bangsa berupa keragaman suku, budaya, nilai, dan agama menjadi modal kuat menuju kerukunan bangsa. Namun, di sisi lain pluralitas bangsa bisa disalah gunakan sebagai pemicu prasangka yang bisa menyebabkan konflik yang luar biasa. Selain pluralitas bangsa, konflik juga dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi bangsa yang belum juga mencapai kesetabilan.

Kesenjangan antarkelompok masyarakat terutama dalam bidang pelayanan masyarakat, missal pendidikan, kesehatan, dan berbagai layanan sosial lainnya dapat memicu kecemburuan. Kecemburuan tersebut bila dibumbui oleh identitas kelompok maka dapat menyebabkan konflik. Maka, setidaknya ada empat hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah ataupun seluruh elemen bangsa untuk melerai konflik sosial di masyarakat. Disini disebutkan empat penyebab utama timbulnya konflik dalam masyarakat.

Pertama, saat ini Indonesia mengalami situasi rawan aksi kekerasan. Jika hal ini terus menerus dibiarkan, konflik atas nama kebebasan tidak dapat lagi dikendalikan. Bukan tidak mungkin, konflik ini terjadi karena oknum dari tokoh politik ikut memprovokasi masyarakat untuk bertindak amoral.

Kedua, berbagai konflik yang terjadi di tengah masyarakat disebabkan hilangnya keteladanan dari elit politik atau pemimpin di setiap level pemerintahan. Minimnya contoh perilaku terpuji dari elit politik membuat rakyat tidak lagi percaya dan memilih bersikap apatis. Hal ini belum termasuk provokasi yang dilakukan oknum tertentu untuk menaikkan emosi rakyat.

BACA JUGA  Felix Siauw dan Propaganda Khilafah di Indonesia

Ketiga, permasalahan minoritas dan mayoritas kerap menjadi problema sosial yang memicu konflik. Kelompok minoritas digolongkan sebagai kelompok yang menerima pelayanan minim dibandingkan kelompok lainnya [hlm. 45]. Streotip mengenai minoritas dan mayoritas selalu menjadi pembeda dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ketidakadilan yang didapat dapat memicu konflik.

Keempat, ketidakberdayaan dan ketidakadilan dalam penegakan hukum, yang dilatarbelakangi tumpang tindihnya aturan ataupun regulasi yang tidak jelas. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi luntur [hlm. 55]. Hal itu bisa terjadi karena kurangnya sinergitas antar instansi yang masih meluncurkan ego masing-masing tanpa memikirkan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah secara tuntas.

Menjadi tugas bersama untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakat melalui perubahan paradigma dari yang sebelumnya bersifat konvensional menuju pendekatan proaktif. Dengan begitu, konsep pemahaman yang timbul tidak hanya dilihat dari kejadian di hilir saja. Namun secara bijak masalah dilihat dan dipahami secara utuh untuk melihat seberapa besar potensi konflik kemudian menemukan solusi terbaik menyelesaikan permasalahan.

Jika hal ini berhasil dilakukan, maka kebijakan dan solusi penanganan konflik tidak hanya berfokus kepada permasalahan yang muncul ke permukaan, melainkan akar permasalahan juga dapat ditangani dan diatasi supaya tidak menjadi faktor pemicu konflik yang lebih besar.

Sementara itu, pendekatan keamanan juga harus selaras dan tidak mungkin dilepaskan dari pendekatan kesejahteraan. Mutu tinggi dari tingkat kesejahteraan dapat melahirkan situasi yang kondusif bagi pembangunan bangsa. Kedua dimensi ini akan saling bergandengan tangan untuk mencegah konflik bertaburan.

Oleh karena itu, pemangku kebijakan seperti kepala desa, camat, gubernur, maupun presiden harus peka dalam melihat berbagai gejolak dan dinamika, serta mencari solusi terbaik di wilayahnya. Pemerintah sendiri perlu menggiatkan penyebaran konten positif di media sosial sebagai konsumsi sehat rakyat. Penyebaran ini nantinya dapat mendorong kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, sehingga masyarakat akan berbondong-bondong mendukung kebijakan yang diambil pemerintah.

Perlindungan bangsa terhadap konflik sangat membutuhkan proses perencanaan, pembinaan, pengembangan, serta penggabungan seluruh elemen bangsa. Namun yang lebih penting dari itu adalah langkah untuk menyamakan tujuan dan paradigma menjaga keamanan bangsa, antara pemerintah dengan seluruh masyarakat.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru