28.4 C
Jakarta

Melawan Aksi Teror: Terorisme Tidak Punya Agama!

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMelawan Aksi Teror: Terorisme Tidak Punya Agama!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beberapa hari yang lalu, ada dua peristiwa teror yang mengganggu ketenangan hidup masyarakat Indonesia dalam waktu sepekan. Teror pertama berupa bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar yang dilakukan oleh salah satu anggota kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Teror kedua berupa penembakan di Markas Besar (Mabes) Polri yang dilakukan oleh seorang perempuan yang berideologi Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS).

Meskipun secara zahir para pelaku terorisme tersebut mengaku Islam, tetapi perbuatan mereka (perilaku terorisme) sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan perilaku terorisme mencoreng ajaran dan wajah Islam yang sesungguhnya. Menurut Rasulullah saw., “orang beriman adalah orang yang mengamankan manusia, baik darahnya maupun harta-bendanya” (Yûsuf al-Qaraḍâwî, Fiqh al-Jihâd, I, 2009: 61).

Dengan demikian, Muslim yang suka mengganggu dan meneror orang lain (baik berupa penembakan, bom bunuh diri, maupun lainnya) bukan merupakan mukmin sejati. Sebab, mukmin sejati adalah orang beriman yang memberikan keamanan kepada manusia (baik Muslim maupun non Muslim) mengenai jiwa dan harta-bendanya, sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas.

Radikalisme Merusak Ajaran dan Spirit Sejati Islam

Syekh Shawki ‘Allam (Mufti Agung Mesir) tegas mengatakan bahwa terorism has no religion (terorisme tidak punya agama). Sebab, terorisme lahir dari pikiran yang buruk, hati yang keras, dan pribadi yang congkak. Oleh karena itu, terorisme tidak bisa lahir dari agama mana pun, karena hati yang senantiasa mengikatkan diri kepada pentunjuk Ilahi tidak akan menerima segala bentuk keburukan, perusakan, dan kecongkakan (The Ideological Battle: Egypts Dar al-Iftaa Combats Radicalization, hlm. 62).

Para ektremis bukan orang-orang yang mempelajari Islam di pusat-pusat pengetahuan Islam secara sungguh-sungguh. Namun, mereka lahir dari lingkungan yang rusak, di mana tujuan mereka adalah murni urusan politik yang sama sekali tidak memiliki dasar agama.

Makanya, tidak heran jika radikalisme mendistorsi dan merusak ajaran dan spirit Islam yang sejati, seperti perdamaian (as-salâm) dan kebebasan beragama. Islam secara tegas melarang penggunaan kekerasan untuk menyebarkan keyakinan dan ajaran Islam. Dalam hal ini, Allah secara tegas menyatakan tidak ada paksaan dalam beragama, sebagaimana diabadikan dalam al-Baqarah (2): 256 (hlm. 4-5).

Melawan Narasi Kebencian kepada Liyan

Syekh ‘Abd al-Karîm Zaidân menyebutkan bahwa rukun Islam adalah tiga, yaitu: (1) bersaksi tiada Tuhan selain Allah; (2) bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah; dan (3) amal saleh. Ketiga rukun Islam ini berdasarkan hadis, yaitu: “Islam adalah bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan, dan haji jika mampu” (Uṣûl ad-Da‘wah, 2002: 16).

BACA JUGA  Bulan Ramadan Jadi Sarana Penyebaran Paham Radikal, Waspada!

Menurut Syekh ‘Abd al-Karîm Zaidân, salat, puasa, zakat, dan haji disebutkan dalam hadis tersebut karena merupakan bagian amal saleh yang sangat penting. Oleh karena itu, setiap Muslim tidak hanya cukup membaca dua kalimat syahadat tersebut, tetapi juga harus melakukan amal saleh (hlm. 16), di mana amal saleh tidak hanya terbatas kepada salat, puasa, zakat, dan haji.

Dengan demikian, umat Islam harus senantiasa menebarkan amal saleh kepada orang lain sebagai bagian dari rukun Islam, bukan malah menebarkan teror, ketakutan, dan kepanikan di mana-mana. Sebab, meskipun orang lain bukan merupakan saudara seagama, atau sebangsa, tetapi dia merupakan saudara sesama manusia. Apalagi, menurut Syekh Shawki ‘Allam, salah satu dasar Islam adalah cinta dan persaudaraan, bukan kebencian dan permusuhan (hlm. 4).

Namun, beberapa Muslim ekstremis menjadikan kebencian dan permusuhan sebagai salah satu agenda buruk mereka. Mereka suka menebarkan kebencian dan permusuhan kepada pemerintah dan orang lain yang tidak sepaham, baik Muslim maupun non Muslim. Makanya, para teroris di Indonesia kerap meneror pemerintah, rumah ibadah non Muslim, dan tempat lain, baik berupa penembakan, bom bunuh diri, maupun aksi terorisme lainnya.

Aman Abdurrahman (dedengkot JAD), misalnya, menegaskan bahwa semua institusi negara Indonesia dan para pejabatnya adalah kafir yang harus diperangi. Bahkan rakyat yang masih setia kepada pemerintah Indonesia adalah kafir dan boleh diperangi, karena dianggap sebagai pembela ṭâgût (lihat “Seri Materi Tauhid: For the Greatest Happiness, Aman Abdurrahman (1972 M),” dalam Inspirasi Jihad Kaum Jihadis, 2017: 379-380).

Menurut Sunarwoto (peneliti Salafisme UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dalam status Facebook-nya, kebencian kepada liyan merupakan salah satu infrastruktur kekerasan atas nama agama (terorisme).

Dalam hal ini, jika kebencian kepada liyan dibangun dengan baik, maka kekerasan atas nama agama (baik berupa penembakan, bom bunuh diri, maupun lainnya) akan terwujud. Oleh karena itu, jika ada tokoh agama dan dai yang mengajarkan kebencian kepada liyan, maka dia sejatinya turut serta membangun infrastruktur kekerasan atas nama agama (Sunarwoto Saja, 30/03/2021).

Dengan demikian, para tokoh agama, dai, pejabat publik, maupun masyarakat umum harus menghentikan narasi kebencian dan permusuhan kepada liyan, baik dalam kondisi biasa maupun menjelang pesta demokrasi. Sebab, seluruh anak bangsa adalah saudara sebangsa (ukhuwwah waṭaniyyah) dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semua pihak harus menggalakkan narasi cinta, kasih-sayang, dan saling menolong kepada sesama anak bangsa, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…

Nasrullah Ainul Yaqin, S.H.I., M.A.
Nasrullah Ainul Yaqin, S.H.I., M.A.
Alumni Interdisciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogykarta Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru