25.4 C
Jakarta

Media Sosial, Ujaran Kebencian dan Sikap Kita

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMedia Sosial, Ujaran Kebencian dan Sikap Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Perkembangan teknologi dewasa ini sangat berdampak luas pada kehidupan masyarakat Indonesia, misalnya bidang keagamaan. Kemudahan akses informasi punya dampak positif bagi dakwah Islam, tetapi kemudahan ini juga seringkali digunakan untuk alat provokatif bagi orang-orang yang suka akan keributan. Ini sekaligus menjadi persoalan serius.

Faktanya memang di Indonesia Media Sosial sangat digemari oleh masyarakatnya. Melansir dari Tribunnews.com (Rabu, 19/06/2019) bahwa pengguna media sosial di Indonesia tercatat menduduki peringkat keempat terbesar dari dunia setelah India, Amerika Serikat dan Brazil. Jumlah pengguna aktif sosial media di Indonesia mengalami peningkatan sebanyak 20% di tahun 2019 yakni mencapai 150 juta pengguna.

Menurut Salesforce Rypple, dua pertiga pengguna media sosial mempunyai persepsi positif terhadap keberadaan Facebook dan Twitter. Ini merupakan modal sosial yang berharga guna mendorong transformasi nilai-nilai toleransi, anti-kekerasan, menebar kebaikan dan solidaritas kemanusiaan di kalangan generasi muda melalui media internet. Tak bisa dimungkiri, media sosial memiliki kapasitas untuk menjadi kekuatan perubahan sosial alternatif.

Perlu diingat bahwa sepanjang informasi yang disebarluaskan memang benar dan bermanfaat untuk kepentingan publik, seberapapun banyak informasi yang dibagi dan disebarluaskan melalui media sosial tidaklah menjadi masalah. Namun, lain soal ketika informasi yang dibagikan melalui media sosial ternyata memiliki muatan hasut, ujaran kebencian, menebar hoax dan lain sebagainya yang berpotensi memicu timbulnya keresahan masyarakat.

Pada kenyataannya, kelompok-kelompok penebar kebencian dan berhaluan garis keras lebih mampu mengonsolidasikan isu-isunya melalui internet ketimbang kelompok-kelompok moderat/liberal. Situs-situs yang menyiarkan moderatisme Islam lebih sering diserbu komentar-komentar yang menyerang. Satu kondisi yang sulit ditemukan pada situs sebaliknya. Hal ini merupakan tantangan nyata bagi dimensi pandagan toleransi dan anti-kekerasan di jejaring media sosial.

Dalam beberapa pengalaman awal, pemanfaatan media sosial sebagai media dimensi toleransi dan anti-kekerasan masih rendah di kalangan anak muda. Mereka lebih dominan menggunakan facebook untuk kepentingan katarsis individual ketimbang menyuarakan solidaritas sosial. Inilah oleh sebab itu, bisa kita lihat bersama bahwa besarnya antusiasme generasi muda terhadap pemakaian internet belum sebanding dengan tingkatan kesadaran mereka memanfaatkan peran positif media sosial dalam memperkuat arus moderat.

BACA JUGA  Golput Bukan Solusi untuk Demokrasi NKRI, Hindari!

Suburnya Ujaran Kebencian di Media Sosial

Dalam konteks ini, kekerasan di media sosial seperti ujaran kebenjian itu sering kali menjadi bagian dari ritual yang justru dilakukan di waktu yang mulia, seperti ceramah keagamaan. Pada dasarnya, tindakan menyebarkan benih-benih kebencian dan permusuhan misalnya terhadap kelompok yang dianggap berbeda dan sesat sudah memasuki ranah kekerasan kelompok. Proses di tahap inilah yang kali bisa memacu satu kelompok melakukan kriminalisasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda secara pandangan keagamaan.

Tdiak sedikit kasus yang memperlihatkan betapa banyak kelompok minoritas, baik dalam satu agama maupun beda agama, sangat rentan menjadi korban intoleransi dan kriminalisasi. Tidak adanya tindakan hukum terhadap pelaku kekerasan akan memancing aksi serupa di tempat lain, baik oleh kelompok yang sama maupun dari pihak kelompok korban. Adanya upaya propaganda ini akan terus berjalan sejara masif bila tidak segera kita hentikan.

Bagaimana Sikap Kita ?

Oleh karena itu, tantangan perjuangan toleransi, anti-kekerasan, dan membasmi ujaran kebencian di jejaring media sosial merupakan wilayah baru dalam perkembangan gerakan sosal-keagamaan di pelbagai negara Muslim, khususnya Indonesia. Terlebih, organisasi-organisasi sosial keagamaan mainstrem belum terlihat menunjukkan inisiatifnya dalam mereformasi komunikasi organisasinya di tengah gempita media sosial.

Inilah tugas kita, sebagai generasi muda Muslim harus cerdas merebut ruang-ruang publik di media sosial dan memberinya semangat dan muatan keagamaan yang toleran dan humanis. Revolusi informasi yang menandai abad ke-21 ini mensyaratkan revolsi pola pikir manusianya, tidak terkecuali dalam mengkreasi medium-medium untuk mentransformasikan nilai-nilai keagamaan universal.

Tak mengherankan apabila menguatnya intoleransi, bahkan kekerasan dalam kehidupan beragama, menjadi sisi lain yang gelap. Ketiadaan terobosan terhadap melawan ancaman eskalasi konflik saling menghina. Kondisi ini akan semakin buruk jika konflik itu dibiarkan bereskalasi dan dieksploitasi demi kepentingan politik dan keamanan. Mari berjuang!

Rojif Mualim
Rojif Mualim
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru