29.8 C
Jakarta

Media Sosial Kampus Islam dan Konten Intoleran

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMedia Sosial Kampus Islam dan Konten Intoleran
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Persoalan intoleransi maupun radikalisme di media sosial adalah imbas kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di era media baru (Ahmad Zamzamy, Menyoal Radikalisme di Media Digital, 2019). Ada beragam provokasi, penggalangan massa kontraproduktif, ujaran kebencian, fitnah, maupun ghibah yang meluncur di dunia maya berbalut religiusitas.

Dalam sejumlah kesempatan, agama menjadi sumbu utama perdebatan sehubungan dengan intolerasi dan radikalisme di media sosial (Nihayaty & Rohmy, Pemanfaatan Media Sosial Komunitas Untuk Menghadapi Konten Islam Ekstrem di Internet, 2020).  Tentu saja, semua pihak mesti urun partisipasi untuk memerangi problem intoleransi maupun radikalisme di media sosial.

Artikel ini, mengupas sekelumit peran perguruan tinggi Islam untuk menghadapi gempuran konten negatif semacam itu. Spesifiknya, tentang bagaimana peran media sosial kampus Islam.

Berdasarkan data Dirjen Pendidikan Tinggi Islam yang diakses pada 8 Maret 2021, terdapat 58 perguruan tinggi Islam negeri dan 829 perguruan tinggi Islam swasta di Indonesia. Artinya, ada total 887 kampus berbasis Islam di negeri ini.

Dengan kata lain, ada 887 website potensial untuk memproduksi konten positif. Di samping itu, setidaknya ada masing-masing 887 akun Facebook, Instagram, Twitter, dan YouTube, yang juga bisa kita manfaatkan. Yang perlu kita gelorakan adalah produktivitas membuat konten dan penyebarannya.

Di aspek penyebaran, potensi kampus-kampus Islam tak kalah banyak. Sebab, tiap institusi pasti memiliki civitas akademika, baik dosen, tenaga kependidikan, maupun mahasiswa, yang sebagian besar tentu punya akun media sosial maupun aplikasi obrolan seperti WhatsApp dan Telegram.

Maksudnya, asalkan konten sudah ada, penyebarannya bisa dilakukan oleh seluruh akun media sosial resmi kampus, maupun akun-akun media sosial dan aplikasi obrolan civitas akademika. Antara lain, melalui fitur status atau semacamnya yang ada di masing-masing platform. Terlebih, tiap kampus umumnya punya basis-basis alumni yang relatif tersebar di sejumlah daerah. Jadi, modal Sumber Daya Manusia untuk ikut menyebarkan konten relatif sudah memadai.

Tantangan utama dari program pembuatan dan penyebaran konten positif guna menggerus eksistensi unggahan negatif yang intoleran, radikal, fitnah, dan ghibah berbasis agama, adalah produktifitas dan konsistensi (Achmad Farid, Optimalisasi Media Sosial Pesantren untuk Membendung Konten Negatif di Dunia Maya, 2019).

Apabila tiap kampus sudah punya etos kerja dan kegigihan serta rutin memproduksi konten dan menyebarkannya, tentu dunia maya di Indonesia akan terbanjiri dengan hal-hal yang menarik, informatif, edukatif, bahkan bernilai dakwah. Baik dalam bentuk teks, foto, meme, maupun video.

Konten yang dimaksud bisa secara spesifik berbicara tentang pentingnya toleransi, kebersamaan, ataupun saling menghormati. Bisa pula mengenai hal-hal yang menarik dan atraktif semacam tips dan trik belajar bahasa asing. Intinya, topik konten positif bsia beraneka rupa. Terpenting, dapat bernegasi jelas dengan pesan-pesan negatif atau ujaran kebencian.

BACA JUGA  Menyikapi Radikalisme dan Narasi Keislaman yang Dipolitisasi

Mengingat, kabar atau artikel yang informatif, edukatif, dan menarik, juga merupakan pesan-pesan yang juga muncul dari spirit keislaman. Yang perlu kita garisbawahi, banyak entitas yang sifatnya umum, sejatinya juga Islami. Karena ayat-ayat Allahu ta’ala tersebar di penjuru jagat dan bisa pihak mana pun nikmati, tanpa memandang dalil atau kepercayaan agama tertentu.

Analoginya, bila dua puluh persen saja dari jumlah kampus Islam di Indonesia yang memproduksi konten tersebut, berarti ada tak kurang 177 konten Islami. Sebanyak 177 konten itu disebarkan oleh masing-masing akun media sosial resmi kampus tersebut. Juga, oleh segenap civitas akademika beserta para alumni.

Bayangkan, kalau minimal 1.000 akun civitas akademika dan alumni dari masing-masing kampus yang ikut menyebarkan. Artinya, ada 177.000 persebaran dalam satu hari. Angka yang cukup fantastis, bukan?

Memproduksi dan menjadi sentral penyebaran konten adalah bagian dari tugas kehumasan. Meski demikian, tidak harus bagian atau divisi humas yang mengerjakannya. Semua bagian atau divisi kampus bisa berbagi tugas.

Sebagai contoh, tugas kehumasan di sebuah pemerintah daerah, umumnya dijalankan oleh bagian humas dan dinas komunikasi dan informatika. Di kampus, tugas kehumasan bisa dijalankan oleh bagian atau divisi humas dan bagian atau divisi lain secara sinergis. Mungkin juga melibatkan eksponen mahasiswa.

Fakta membuktikan kalau keberadaan media sosial di Indonesia memiliki posisi tawar dalam konstelasi sosial. Beberapa tahun silam, misalnya, terdapat upaya penggalangan dukungan dalam fenomena Cicak versus Buaya maupun Koin untuk Prita (Merlyna Lim, Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia, 2013).

Media sosial telah menjadi salah satu sentra aktivis kemasyarakatan. Apabila konten Islam yang ramah tidak membanjiri kanal-kanal dunia maya, bukan tidak mungkin konten Islam yang memenuhi beranda internet adalah yang bermuatan eksklusivitas kontraproduktif.

Harus kita pahami bahwa potensi media sosial kampus Islam untuk menyebarkan kebaikan relatif besar dan strategis. Maka itu, kampus Islam mesti menguatkan peran mengisi media sosial dengan konten bernuansa rahmatan lil ‘alamin.

Kreativitas kampus Islam untuk mengemas produksi konten juga harus teruji. Hal semacam ini bisa masuk dalam lingkup upaya berlomba-lomba untuk kebaikan. Menariknya, apabila konten menjadi viral, kampus bisa sekaligus promosi.

Walau sebaiknya, dalam menjalankan program yang berangkat dari semangat dakwah seperti ini, profit kapital bukanlah sasaran utama. Tapi paling tidak, pandangan soal kemungkinan melakukan promosi melalui konten positif yang kreatif bisa menjadi salah satu pemacu semangat pula.

Terlebih, semakin viral konten dalam sebuah website, dapat pula menaikkan ranking website tersebut. Dengan kata lain, peringkat kampus tersebut juga bisa meningkat, paling tidak di versi parameter perankingan internasional webometrics.

Rio F. Rachman
Rio F. Rachman
Dosen Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Awardee Beasiswa 5000 Doktor Kemenag di FISIP Universitas Airlangga.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru