30 C
Jakarta

Masyarakat Diminta Waspadai Radikalisme dan Terorisme Selama Pandemi Covid-19

Artikel Trending

AkhbarNasionalMasyarakat Diminta Waspadai Radikalisme dan Terorisme Selama Pandemi Covid-19
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta-Masyarakat diminta tetap waspada dengan aksi radikalisme dan terorisme di tengah pandemi Covid-19. Hal itu disuarakan oleh sejumlah tokoh di tanah air, Rabu (22/4/2020).

Mereka adalah Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jawa Timur dan mantan Narapidana Teroris (Napiter) Dr. Hesti Armiwulan S.H, M. Hum, pendiri NII Crisis Center Ken Setiawan, dan peneliti senior Badan Litbang Kementerian Agama Dr. Abdul Jamil Wahab serta pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI), Aisha Kusumasomantri, S.Sos, MA .

“Saat ini, semua upaya mesti difokuskan untuk penanganan dan pencegahan Covid-19, meski demikian masyarakat tidak boleh lengah dan selalu waspada terkait kemungkinan adanya aksi radikalisme dan terorisme di tengah wabah pandemi virus corona tersebut,” kata Hesti.

Hesti yang juga staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Surabaya menyatakan, dari hasil pantauan Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) menyebutkan, provinsi Jatim merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat kerawanan potensi aksi radikalisme dan terorisme tertinggi di Indonesia.

“Masyarakat mesti semakin bijaksana dan fokus atas penanganan Covid-19 dan jangan terjebak pada isu yang mematik sikap intoleransi, karena sikap intoleransi ini adalah awal munculnya radikalisme. Biasanya sikap intoleransi ini akan diarahkan pada sikap anti pemerintah,” ujarnya.

Abdul Jamil Wahab menyatakan, motif gerakan terorisme kebanyakan bermotif keagamaan dan balas dendam. “Mereka akan terus berjuang sampai sistem khilafah islamiyah berhasil mereka berlakukan di Indonesia. Ada hal yang dilematis dalam melawan gerakan ini, karena radikalisme dan terorisme bergerak dengan memperbanyak kelompoknya, untuk regenerasi, dengan memperbanyak komunitas,” katanya.

Gerakan radikalisme ini, lanjut Abdul Jamil Wahab, juga mengikuti perkembangan jaman termasuk dalam kontek komunikasi, meski juga ada yang tetap memilih jalur komunikasi tradisional. “Era modern jangan dikira para pelaku tidak mengikuti perkembangan jaman termasuk era medsos guna melakukan transformasi faham radikalisme. Kewaspadaan harus dilanjutkan dalam masa pandemi ini. Narasi-narasi yang sifatnya mencerahkan dan membantu masyarakat, harus terus dilakukan,” tegasnya.

Kalangan Radikal Semakin Gencar Mengkafirkan di Tengah Pandemi Covid-19

Disisi lain, Ken Setiawan mengatakan keyakinannya bahwa para pelaku radikalisme tetap melakukan aksi dan aktivitasnya ditengah pandemi Covid-19. Mereka jangankan dengan agama lain, dengan satu agama saja mereka ada pada tahap mengkafirkan. Mereka berbanding terbalik dengan slogan Islam rahmatan lil alamin. Dalam hal pandemi ini, mereka memojokkan pemerintah bahwa pemerintah gagal dalam memberikan rasa aman,” ungkap Ken Setiawan.

BACA JUGA  MPR RI Sosialisasikan 4 Pilar Kebangsaan untuk Cegah Radikalisme

Tujuannya adalah agar warga negara tidak percaya lagi kepada pemerintah dengan dalih penanganan covid-19 ini salah karena negara tidak menganut sistem khilafah. “Banyak kebijakan Pemerintah yang dinilai tidak memihak Islam, seperti tidak boleh jumatan dan tarawih. Padahal, ini maksudnya baik. Sudah lihat beberapa saudara kita yang terkena positif covid-19 karena Sholat Jumat,” ujarnya.

Lebih lanjut Ken Setiawan mengatakan bahwa ada data yang menyebutkan saat ini, hampir 80 persen kelompok radikal menguasai penggunaan medsos. “Sehingga sejumlah kebijakan pemerintah positif sengaja diplintir agar menimbulkan rasa ketidaknamyanan pada publik yang pada sisi akhir menurunkan kepercayaan publik pada pemerintah. Hal ini juga termasuk pada kebijakan pemerintah dalam penangananan Covid-19,” ujarnya.

Sementara itu Aisha Kusumasomantri, mengatakan pemerintah Indonesia mengalokasikan segala sumber daya untuk menangani Covid-19, dan kelompok radikal terus memantau untuk mengkitisi kinerja Pemerintah dengan sentimen negatif.

“Kebijakan PSBB dibenturkan dengan kewajiban beribadah dan sistem Khilafah. Ini berpotensi menimbulkan distrust atau ketidakpercayaan warganegara kepada Pemerintah. Meskipun ada pandemi ini, bahaya radikalisme tidak hilang, karena walaupun tidak melalui pertemuan-pertemuan tradisional, komunikasi tetap berlanjut melalui chatting di media sosial,” ungkapnya.

Langkah Pemerintah Putus Mata Rantai Corona dan Radikalisme

Aisha juga menyatakan mereka memunculkan isu bahwa peniadaan bentuk-bentuk kegiatan ibadah merupakan bentuk represi kepada umat Islam. “Padahal Pemerintah memberlakukan pembatasan dalam rangka memutus mata rantai sekaligus pencegahan penyebaran wabah Covid-19,” kata Aisah.

Dia juga menyebutkan, secara khusus pandemi Covid-19 cenderung mempengaruhi pertahanan negara, seperti alutsista yang dipakai untuk penyemprotan disinfektan. “Dalam negara demokrasi ini, kita tidak bisa mengontrol media. Perkembangan TI yang sedang terjadi berdampak pada masyarakat dalam menggunakan sosmed. Kita masuk dalam paradox of the plenty. Dimana semakin banyak informasi yang kita terima, semakin kita bingung mana informasi yang bisa dipercaya,” ujarnya.

Aisha menambahkan hal ini yang dimanfaatkan para kelompok ini. “Mereka bisa menyebarkan ketakutan di masyarakat, dalam bentuk lain, peralihan dari penyebaran ketakutan yang sebelumnya mereka melakukan fear bombing,” tandas Aisha.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru