Harakatuna.com, Jakarta – Persoalan kebebasan berpendapat dengan cara kritik belakangan ini banyak menyita perhatian publik. Di satu sisi, pemerintah membuka kran kritik yang mengarah kepada perbaikan, namun pada saat yang sama implementasi aturan hukum tentang kebebasan berpendapat belum diatur secara detail dan rigid.
Akademisi Universitas Indonesia (UI), Muhammad Syauqillah menanggapi masalah tersebut. Menurutnya, diperlukan suatu revisi dalam peraturan perundang-undangan agar dapat lebih detail mengenai implementasi aturan hukum berkenaan dengan kebebasan berpendapat.
“Perlu ada revisi dengan menambahkan aturan yang lebih detail dan rigid tentang bagaimana implementasi aturan hukum berkenaan dengan kebebasan berpendapat dan aturan hukum yang mengatur tentang ketertiban, keamanan dan penyebaran kebencian,” jelas pria yang biasa disapa Syauqi ini, Rabu (17/2/2021).
Ia mengatakan bahwa dengan bermodalkan aturan tersebut, sekiranya dapat dijadikan titik temu antara bagaimana hak kebebasan berpendapat oleh publik, sekaligus bagaimana suatu tindak pidana yang merupakan kejahatan.
“Titik temu tersebut juga diperlukan, mengingat saat ini, dalam konteks penanganan terorisme, ekstrimisme dan radikalisme, masih banyak penyebaran kebencian kepada kelompok tertentu,” terang dosen yang juga menjabat Ketua Program Studi Kajian Terorisme UI ini.
Berkaitan dengan itu, Syauqi mengungkapkan sebuah fakta bahwa kini masih banyak penggunaan media elektronik sebagai wadah untuk katalisasi tindak pidana terorisme, baik untuk pendanaan, perekrutan, pelatihan hingga propaganda kelompok teror.
“Untuk ancaman teror, aparat penegak hukum sampai saat ini belum menggunakan UU No. 5 Tahun 2018, tentang Terorisme, di mana ancaman teror menggunakan kekerasan sudah masuk dalam kategori unsur tindak pidana sebagaimana pasal 1,” jelasnya.
Lebih dari itu, Syauqi juga menegaskan bahwa term hak asasi manusia (HAM) dalam konteks saat ini tidak bisa secara serta-merta digunakan, mengingat kelompok teror, ekstrimisme juga menggunakan term hak asasi manusia terutama hak kebebasan berpendapat untuk melakukan operasinya.
“Jika HAM sepenuhnya digunakan tanpa adanya pembatasan atas hak asasi manusia, maka persoalan selanjutnya akan masuk pada problematika ketertiban umum, keamanan umum dan kedamaian suatu negara,” pungkas Syauqi.