26.7 C
Jakarta

Masa Depan Santri di Tengah Himpitan Radikalisme

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMasa Depan Santri di Tengah Himpitan Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Pada tulisan kali ini saya ingin bercerita tentang kegiatan kuliah tafsir yang disampaikan kepada santri di rumah mertua saya. Cerita ini penting saya bagikan karena sedikit banyak uraian yang saya bagi mengajak santri mulai menyadari narasi-narasi ekstremis yang biasanya tidak disadari oleh sekian santri di banyak pesantren, apalagi ustaznya juga ikut menjadi penggerak narasi berbahaya tersebut.

Tema kuliah yang saya sampaikan sedikit banyak menyinggung pembahasan soal ‘kafir’. Istilah ‘kafir’ memang sudah lama bergema dan terdengar. Tapi, istilah ini disalahpahami oleh kelompok tertentu, yang jika saya boleh menyebut, kelompok radikal. Tidak penting saya menunjuk secara spesifik kelompok yang masuk dalam kategori radikal. Mungkin cukup saya perlihatkan ciri-cirinya, meski ciri-ciri ini tidak dapat dijadikan kaidah seutuhnya.

Ciri-ciri kelompok yang gemar mengkafirkan biasanya, jelas saya di kuliah tafsir, mengenakan celana cingkrang bagi laki-laki dan pakai cadar bagi perempuan. Hampir mereka yang berpakaian semacam ini merasa paling muslim dan paling shaleh dibandingkan yang lain. Sehingga, mereka memiliki kecenderungan untuk mengkafirkan atau mengganggap bukan kelompok mereka terhadap orang yang tidak sepemikiran, meski seiman.

Ciri-ciri yang sebut tadi bukan mengeneralisir. Tapi, itu hanya ciri-ciri pada umumnya. Sebab, ada beberapa orang yang celana cingkrang dan pakai cadar sikapnya baik dan pikirannya terbuka. Mungkin, lebih tepatnya ciri-ciri yang ‘pas’ adalah bahwa orang gemar mengkafirkan berpikiran tertutup dan bersikap acuh tak acuh. Mereka juga tidak sabar dalam berdakwah. Mereka ingin mengubah sesuatu secara instan tanpa proses. Mereka anehnya tidak mencontoh dakwah Nabi yang dilakukan dengan proses yang panjang dan pendekatan yang baik.

Di tengah-tengah kuliah, saya mencoba melontarkan pertanyaan seputar ‘kafir’: “Siapakah orang kafir?” Sontak seorang santri menjawab dengan tegas: “Kristen.” Saya sedikit kaget. Sehingga, saya segera meluruskan, bahwa kafir itu bukanlah Kristen atau pemeluk agama di luar Islam. Maksudnya, semua pemeluk agama, termasuk Kristen, bukanlah orang kafir, karena mereka masih beriman kepada Satu Tuhan. Terus, kafir itu siapa? Jelas, kafir itu adalah orang musyrik atau mereka yang bertuhan lebih dari satu.

BACA JUGA  Membaca Al-Qur'an dan Momen Hijrah Para Teroris

Bukti, bahwa pemeluk agama di luar Islam bukan kafir dapat dilihat dari bunyi Sila 1 Pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila ini diperuntukkan untuk semua agama yang berbeda-beda di Indonesia. Sehingga, dengan Sila ini semua agama memilih Satu Tuhan dan jelas pemeluknya beriman terhadap Tuhan tersebut. Masihkah disebut mereka disebut kafir? Pasti, tidak. Sebutlah mereka pemeluk agama di luar Islam atau yang lebih akrab orang yang beriman.

Meluruskan pemahaman santri seputar term ‘kafir’, bagi saya, merupakan sesuatu yang sangat penting. Santri, meski setiap hari ditempa dengan pengetahuan agama yang cukup kuat, tapi jika doktrin yang ditanamkan keliru, akan berpotensi mengantarkannya menjadi pelaku aksi-aksi terorisme yang membahayakan banyak orang. Tanpa alasan lagi, perbuatan terorisme sangat dikecam dan dilarang dalam semua agama, termasuk dalam agama Islam. Mewaspadai paham radikal di pesantren–tempat di mana santri itu belajar–sangat mungkin terjadi. Karena, tidak semua pesantren itu berada dalam kondisi yang baik-baik saja. Ada beberapa pesantren yang dicurigai masuk dalam kubangan terorisme. Saya tidak perlu menunjuk pesantren mana yang saya maksud. Jika pembaca ‘kepo’ atau ingin tahu, cukup searching di google.

Santri ini sebagai penerus para ulama yang mewarisi perjuangan Nabi. Santri sederhananya harus bersikap seperti Nabi. Nabi bersikap santun dalam berdakwah, sehingga orang yang dianggap musuh diperlakukan sebagai teman. Nabi tidak pernah berpikir negatif dalam berdakwah. Nabi selalu optimis, sehingga dakwahnya membuahkan hasil yang cukup membanggakan. Sahabat Umar yang mulanya memusuhi Nabi, tapi karena Nabi doakan dengan tulus, hijrah menjadi pengikut Nabi yang setia sampai akhir hayatnya. Bayangkan seandainya Nabi keras dan acuh tak acuh terhadap Umar, niscaya Umar tidak bakal beserta Nabi.

Karena itu, penting menjaga masa depan santri dalam meneruskan perjuangan Nabi. Seiring dengan ini semua, para ustaz hendaknya mendidik santri dengan cara yang benar dan mengajarkan keterbukaan berpikir, sehingga perbedaan tidak dianggap sebagai petak, melainkan sebagai rahmat. Saya senang berbagi dengan santri, karena mereka ingin belajar menjadi pribadi yang lebih baik, bukan merasa ‘sok’ baik.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru