31.2 C
Jakarta

Manusia-manusia yang Fitri

Artikel Trending

KhazanahOpiniManusia-manusia yang Fitri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Marilah coba kita meluangkan waktu sejenak, untuk kembali menemukan titik fitri dalam metabolisme ataupun mekanisme dari hal-hal kompleks keberlangsungan peradaban ini dengan metode melingkar. Maksudnya, bergerak dari titik awal yang nanti akan kembali ke titik awal lagi. Meskipun sebenarnya, pada jalan keberlangsungannya tidak cukup medan dan momentum yang tersedia dirasa mampu untuk memperbincangkan masalah ini dengan leluasa dan panjang lebar.

Langsung saja. Idul Fitri merupakan titik paling esensial atas berlangsungnya perjalanan hidup manusia, jika ia dipahami sebagaimana “terminal” atau bahkan ghoyah dari perjalanan yang sedang ditempuh manusia. Arti atau makna term Idul Fitri akan terasa perkenaannya dalam hati, ketika seseorang benar-benar mendalaminya secara teliti dan penuh keberhati-hatian sekaligus kesungguhan dalam menjalani metode (tarekat) puasa.

Keberadaan puasa jika ia dimaknai secara teknis, berhenti pada hal formal saja, ketika ia berhasil menahan diri untuk tidak makan dan minum serta menahan dari hal-hal yang tidak membatalkan puasa, selesailah atau sukseslah kewajiban puasanya. Akan tetapi, apabila puasa dimaknai bukan hanya sebagai sekadar kewajiban, melainkan juga sebuah metode (tarekat), pastilah harus ditemukan semacam indikator yang menunjukkan bahwa puasa yang ia lakukan telah sukses atau belum.

Indikatornya bisa berupa taraf kualitas psikologis serta kepribadian diri manusia. Jadi, puasa di sini bukanlah sebuah tujuan akhir, ia hanya sebuah jalan (tarekat) yang ditempuh supaya mendapatkan sebuah kualitas kepribadian manusia yang benar-benar matang.

Idul Fitri itulah yang justru menjadi sebuah hasil, sebagai tujuan, atau semacam refleksi daripada kualitas yang dimaksudkan tadi. Term Idul Fitri memiliki makna yakni, kembali kepada kondisi dan situasi yang fitri (murni, orisinil). Di mana puasa adalah sebuah proses yang ditempuh manusia untuk mengubah atau mengembalikan dirinya ke kondisi yang suci atau “kembali fitri”. Maka, hanya orang yang sukses “mengubah diri”-nya menjadi manusia yang fitri-lah, yang berhak menyandang realitas serta kapabilitas manusia dengan limpahan keberkahan Idul Fitri.

Sebab, kita semua tahu bahwa Idul Fitri lebih tinggi derajat nilainya dibandingkan dengan teknis-mekanisme peristiwa bermaaf-maafan saja. Idul Fitri lebih tinggi derajatnya dibanding dengan hegemoni serta gegap gempita yang sibuk kita rayakan pasca puasa Ramadhan. Apalagi Idul Fitri di sini, tidak bisa kita hinakan dengan sangkaan-sangkaan perayaan tentang masalah pakaian baru ataupun letusan kembang api. Juga, ketika apabila kita mensimplifikasikannya dengan konsep-konsep klise pasar swalayan serta adat kultural di desa dan kantor-kantor.

Jadi, jangan heran kiranya jika pada tahun ini atmosfer atau suasana “kerohanian” Idul Fitri terasa lain dari tahun-tahun sebelumnya. Bisa saja itu merupakan kritik kepada kita yang ternyata selama ini memahami Idul Fitri hanya sebatas perayaan artifisial belaka, tanpa penghayatan berarti yang mendalam. Bahkan Idul Fitri sama sekali tidak dipahami sebagai proses peleburan atas segala dosa dan kesalahan-kesalahan, sehingga memungkinkan kita untuk menjadi pribadi yang baru. Yang memang fitri di mata Allah serta manusia.

Idul Fitri bukanlah milik orang yang tepat pada hari itu memiliki atau memakai pakaian baru, tetapi Idul Fitri merupakan milik orang yang kadar serta mutu kemusliman dan ketaqwaannya bertambah. Laisal idu liman labisal jadid, walakinnal idu liman tha’atahu tazid.

Bahkan sebelum ber-Idul Fitri pun, kita dianjurkan mengeluarkan zakat fitrah sebagai bentuk katarsis lainnya, atau sebuah anjuran untuk mensucikan jiwa kita—bahkan, harta—agar supaya kita benar-benar siap dan pantas berasyik-masyuk dengan Idul Fitri tersebut.

Ini hubungannya dengan kewajiban zakat fitrah. Tetapi saya tidak akan menjelaskan atau meng-interpretasi hubungan pararel antara zakat fitrah dengan Idul Fitri secara ilmiah ataupun dengan disiplin ilmu-ilmu baku. Sebab, saya mengira Anda semuanya pasti mengerti bahwa setiap kewajiban ibadah—maupun perintah—keagamaan, tentunya memiliki hikmah atau tujuan tersendiri bagi para pelakunya, khususnya.

Umpamnya, adanya puasa dalam rangka untuk menjadikan manusianya menjadi sosok yang sampai pada derajat tattaqun. Begitu juga dengan sholat yang goal-nya sendiri adalah untuk tanha ‘anil fahsya’-i wal munkar. Kemudian, dalam zakat selain mensucikan jiwa dan harta, juga bertujuan untuk menghilangkan kesenjangan sosial-ekonomi yang mungkin banyak terjadi di kalangan masyarakat kita.

Kita sering mengidentikkan bahwa Idul Fitri adalah hari kemenangan untuk kita, khusunya umat muslim. Bagaimana tidak, kata faidin sangat mewakili kecenderungan kita dalam memaknai kemenangan atau keberlangsungan dari Idul Fitri itu sendiri. Akan tetapi apakah arti sejati kemenangan yang kita maksud tersebut?

Kata seseorang, bahwa sampai beratus-ratus abad berlangsung, kehidupan manusia selalu tetap tidak beranjak dari sifat kekanak-kanakan untuk bisa menang atas orang lain. Politik, kebudayaan, peradaban sekaligus keadikuasaan serta hal-hal berbau isme-isme lainnya seperti hanya merupakan permainan gundu atau “gobak sodor” (go back through the door) belaka—maksudnya yang dinamakan hakikat kemenangan dan kekalahan posisinya hanya bersifat relatif, sangat lokal, situasional, dan tidak bersifat kekal-abadi.

Hal tersebut terjadi lantaran dalam pergulatan hidup yang dilibati, manusia hanya sibuk untuk saling mempertarungkan, mempersaingkan, membenturkan, dan menabrakkan kekuatan. Senantiasa berperang di antara dua kutub kemungkinan: kalah dan menang. Sedangkan subjek dari kemenangan itu, umumnya adalah diri pribadi subjek. Dan bisa pula berwujud, ego-sentrisme seseorang, golongan, kelompok, partai, sayap, kubu, serta aliran-aliran pihak tertentu.

Padahal puncak ilmu dan pengetahuan manusia yang harusnya dicapai dalam konstelasi seluruh aneka ragam kehidupan ini, ialah untuk memperoleh kemenangan sejati.

Kemenangan sejati bukanlah kemenangan seseorang atas seseorang yang lain. Di mana di situ harus ada pihak yang terkalahkan atau dikalahkan. Bahkan pun kemenangan yang dipahami umat Islam—atau Islam sendiri—bukanlah ketika Islam menang atas umat yang lain. Arti kemenangan dalam Islam sangatlah ideal arif-bijaksana, yakni kemenangan untuk merahmati seluruh alam semesta berserta isinya.

BACA JUGA  Memaknai Toleransi Beragama dan Menyudahi Radikalisme

Dan, Baginda Muhammad Saw. mengatakan dengan bahasa amat populer perihal kemenangan yang begitu dahsyat maknanya, yaitu kemenangan atas hawa nafsu kita sendiri, bukan?

Umpamanya, konsep menang yang biasa diusung, biasanya yakni tatkala orang memiliki kapling tanah atau jenis-jenis kepemilikan lainnya yang bisa saja berjuta-juta kali lipat jumlahnya dengan yang dimiliki orang lain. Serta kecenderungan mereka untuk mempertahankan kekuasaan yang dikuasainya. Atau hal apapun saja yang bernilai unggul dalam pandangan mata manusia secara umum. Itu sama sekali belum mencapai tahap kemenangan yang sejati. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw. sebagai sosok nabi dan manusia yang ideal.

Segala bentuk rasionalitas serta beribu-ribu harta, keberadaan jabatan, kedudukan, profesi, pencapaian kesuksesan, status, nama besar serta hak asasi. Kesemuanya itu sama sekali tidak patut secara gamblang dan angkuh untuk kita banggakan. Kata Mas Kalong, “… hanya ada satu sumber kekuatan di muka bumi ini, sekaligus hanya ada satu pula ke mana segala bentuk kekuatan harus dikembalikan.” Yang mana maksud “kekuatan” di situ bisa berupa segala pencapaian manusia, kekuasaan, serta bentuk-bentuk kepemilikan manusia lainnya. Harus dikembalikan ke satu muara yang absolut.

Itulah yang saya katakan di awal tadi, yakni mencoba memahami keadaan fitri kita itu dengan metode melingkar, bahwa segala sesuatu pada hakikatnya bermuara hanya pada satu titik sumber. Innalilahi wa innailaihi raji’un. Sedangkan dalam ayat lain dikatakan, wa-annakum ilaina la-turja’un?

Sehingga kita tidak terus-menerus terjebak pada bias-bias yang seringkali memalsukan segala kesejatian dalam kehidupan yang ditempuh manusia. Dalam banyak hal, kita ini selalu saja menipu diri sendiri; mulai dari keadaan politik, kelas keberkuasaan, sektor-sektor kepemilikan serta hal-hal yang menguntungkan nafsu kita lainnya. Yang pada akhirnya justru menimbulkan ketidakadilan serta ketidakseimbangan sistem kerja secara metabolik.

Alhasil, kerusakan dalam berbagai aspek kehidupan menjadi dampak negatif yang mau tidak mau harus kita terima. Kalau memang kita ini serius hendak memberantas segala kerusakan yang terjadi, maka hal utama yang kita harus benahi adalah sikap adil dan kejujuran kita, bukan?

Itulah yang saya maksudkan dengan kondisi fitri manusia. Maka, yang bernama kesejatian, kesucian serta kefitrian bisa kita lihat dan coba pahami pada beberapa petala pemahaman.

Lewat sejumlah rangkaian formulasi puasa, zakat dan goal Idul Fitri. Kita telah mencoba mengendalikan nafsu. Kemudian menyaring dari yang termurni di antara 36 jenis nafsu. Menyesuaikan dan menyatulangkahkan gerakan dengan bisikan iradatullah. Mulai dari bangun tidur kita, makan kita, mandi kita, pakaian kita, pilihan hidup kita meliputi: pasangan, bangunan rumah tangga, serta keputusan birokrasi kita haruslah sejalan dan berlandaskan pada akar amrullah (Perintah-Nya), sinkron dengan arada syai’an (Dia menghendaki sesuatu), berpedoman pada ayyaqula lahu (Dia mengatakan sesuatu).

Sebab hanya dengan itulah akan terjadi kun fayakun. Terjadi, dan terjadilah sesuatu yang memang Allah menghendakinya untuk terjadi. Misalnya ketika kita ini menjadi guru, karena memang Allah menghendaki kita menjadi guru. Tetapi, apakah kita memilih guru lantaran Allah menghendakinya?

Akan saya kutipkan pemahaman tentang pemetaan sebuah hakikat “diri”, yang kemudian berubah menjadi diri bernama “manusia”. Terserah Anda, hendak mencoba memahami dari perspektif mana dan dengan alat keilmuan macam apa, sehingga berpotensi menjadi landasan Anda dalam menjalani kehidupan ini pada setiap nafasnya.

Aku ruh tunggal
Aku tiga puluh enam
Mewadahi sembilan puluh sembilan
Aku hati rohani
Aku hati nurani
Aku hati robbani
Aku hati sanubari
Aku akal
Aku hati batini
Aku jiwa
Aku sukma
Aku nyawa
Aku nafsu
Aku Sir, rahasia
Aku Jufi, rongga
Aku Shudur, dada
Aku Qalbi
Aku Fuad
Aku Syaghafa
Aku Insya
Aku sembunyi
Aku lelembut qalbi
Aku lelembut ruh
Aku lelembut sir
Aku lelembut khafi
Aku lelembut nathiqa
Aku lelembut kullujasad
Aku nurullah
Aku dzatullah
Aku sifatullah
Aku ismullah
Aku lelembut robbaniyah ruhaniyyah
Aku lembar kertas kalimatullah
Aku meja syahadatullah
Aku cermin tajalli
Kerja Allah
Pemantul wajhullah
Kaca ruhullah
Danau dzatullah
Aku muthmainnah
Aku ammarah
Aku lawwamah
Badan hanya alat
Badanku medan perang
Badanku menanggung
Duka hayya ‘alal falah
Musuh menikam dari dalam jantung
Kutindih di bawah Gunung Jabbar Qahhar
Penindas tinggal di usus
Penindas merobek usus
Kucampakkan ke kakus
Berhala menggumpal di aliran darah
Menjadi planet-planet mati
Kutetesi dengan ma-ullah
Sepanjang siang dan malam hari.
(dari syair “Lautan Jilbab”)

Sengaja saya kutipkan sajak itu, sebagai alat awal untuk memahami sebuah hakikat “diri” manusia yang pada awalnya amat sederhana, tetapi sekaligus amat tidak sederhana pula.

Kalau kita hendak menggayuh pemahaman tentang bentuk “realitas sejati” di antara kepungan segala bentuk-bentuk “realitas palsu” serta ke”-semu”-annya. Maka, pertama kali yang harus kita pahami ialah nilai “kepastian” dari bentuk realitas sejati itu.

Sebagai contoh, tatkala kita menyebut diri sebagai “aku”, kemudian menyebut orang lain sebagai “engka” atau “ia”. Sebenarnya yang manakah yang sejati “aku”, “engkau” atau “ia”? Wajahnyakah? Bajunyakah? Identitasnyakah? Gelar budayanya dan sosialnyakah? Pangkat dan jabatannyakah? Status kemasyarakatannyakah? Yang mana: yang benar-benar sejati dan kekal, serta yang hanya berposisi “seakan-akan”, yang bersifat fana, relatif dan temporer?

Apalagi kita selama ini sudah terlanjur memakai istilah “jati diri”. Apakah yang dimaksud dengan “jati diri” itu sendiri? Kalau hendak dielaborasi dan disambungkan dengan maksud muthmainnah sebagai jiwa yang tenang, yakni satu-satunya jiwa yang punya kemungkinan besar untuk berhasil kembali. Ilaihi raji’un. Sejauh mana keduanya berhubungan untuk menghasilkan manusia-manusia yang fitri, sehingga tidak ada kemungkinan lain bagi manusia untuk mengkhianati dirinya sendiri.

Ahmad Miftahudin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari
Peminat kajian filsafat, kebudayaan dan sosiologi. Aktif di komunitas Dianoia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru