25.6 C
Jakarta

Mantan Teroris Bisa Menjadi Duta Perdamaian

Artikel Trending

KhazanahMantan Teroris Bisa Menjadi Duta Perdamaian
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kelompok radikalisme dan terorisme kerap kali menggunakan sentiment atau instrument agama untuk melancarakan aksi kekerasan. Padahal, agama tujuannya adalah untuk menciptakan dan menjadikan teroris sebagai duta perdamaian bukan duta kekerasan. Kekerasan atas nama agama itu tidak hanya kesesatan dalam beragama, tetapi merusak citra agama itu sendiri sebagai pedoman hidup masyarakat agar bersikap dengan baik.

Krisis perdamaian merupakan parameter kemajuan sebuah agama, bangsa, dan negara. Karena itu, setiap perdamaian hanya ada instrumentnya dalam beragama. Tanpa agama kita tidak akan mampu hidup saling mencintai, menghormati, dan menghargai. Pada dasarnya, agama mengajarkan kita semua bagaimana cara hidup tidak dengan cara melakukan kekerasan, tetapi bagaimana cara menghidupkan perdamaian.

Dalam konteks ini, senada dengan apa yang disampaikan oleh Dr. Lukman S. Thahir, MA, selaku Direktur Wisdom Institute, saat diwawancarai tim Harakatuna Media (23/01/20), Bahwa, “Negara harus merespon sikap mereka. Dalam hal ini, mantan nara pidana teroris yang sungguh-sunguh ingin berubah, dan jadikan mereka sebagai pejuang perdamain atau bisa di Kementerian Agama. Misalnya, diangkat menjadi duta perdamaian”.

Untuk mengetahui lebih jauh pengamatan terhadap “Pendampingan Nara Pidana Terorisme”. Direktur Wisdom Institute, Dr. Lukman S. Thahir, MA, berkenan memberikan pandangan substantif sejauh mana jaringan kelompok radikalisme dan terorisme masuk ke Indonesia, khususnya jaringan kelompok al-Qaeda, dan ISIS. Dan apakah hal ini bisa memungkinkan mereka menjadi duta perdamaian? Bisa jadi, untuk lebih jauh, maka simaklah berikut petikan wawancaranya:

  • Bisa bapak jelaskan terkait motif dari tindakan kelompok-kelompok teroris dalam mencari sasaran targetnya? Indonesia ini seksi bagi kelompok ideologi transnasional. Kenapa saya bilang demikian? Karena 230 juta umat Islam di Indonesia menjadi rebutan kelompok-kelompok ideologi transnasional. Sehingga, target mereka sebelum melakukan serangan tentu mereka sudah meyakini bahwa melakukan pengkaderan radikalisme dan terorisme itu pasti. Seperti, pengeboman WTC misalnya itu dari al-Qaeda. Pasca dari pengeboman ini kelompok transnasional tersebut melakukan pertemuan di Asia Tenggara yang disebut PAN-Asia, jadi memang mereka membentuk semacam komunitas. Di mana komunitas ini dipersiapkan untuk menjaring 230 juta umat Islam ini.

 

  • Gerakan transnasional secara otomatis ada motif dari sebuah gerakan dalam suatu konteks misalkan berjihad. Jihad itu adalah tuntutan dalam ajaran agama, bagaimana bapak merespon jihad yang dijadikan dalih untuk melakukan kekerasan? Sebenarnya dengan populasi umat Islam di Indonesia itu hanya sebagian kecil saja yang terpancing kepada jihad yang dijadikan alat untuk rekrutmen. Karena itu, menempatkan jihad dalam kerangka merekrut umat Islam yang ada di Indonesia mungkin dampaknya tidak terlalu besar. Di Indonesia, ada dua organisasi besar yang sangat kuat dalam menangkal narasi-narasi kekerasan atas nama agama, yaitu. Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah. Jadi, tidak hanya jihad saja motifnya. Ada juga anak-anak karena hasil dari keluarga yang broken home itu bisa jadi pemantik masuknya anak-anak itu kepada kelompok garis keras dengan membawa jihad itu sebagai pancingan bagi mereka.

 

  • Jadi, agama itu belum tentu menjadi sebuah motif dari gerakan? Belum tentu, ada yang seperti itu tapi tidak banyak yang terlalu mempengaruhi. Kalau kita lihat kasus POSO misalnya, yang mendasari tindakan kekerasan mereka bukan jihad. Justru motifnya adalah balas dendam. Atas dasar motif balas dendam inilah kemudian kelompok-kelompok ideologi transnasional itu memanfaatkan konflik yang terjadi dan emosi dendam tersebut dengan membawa instrumen-instrumen agama. Dalam hal ini, adalah jihad. Hal itu bisa jadi daya tarik mereka untuk cepat menyalurkannya.

 

  • Lalu, kelompok-kelompok yang banyak mereproduksi teroris itu apa saja? Ada dua ideologi transnasional yang membuat negara Indonesia itu dijadikan kolone untuk terrorism. Pertama, kita mengenal al-Qaeda dengan jaringannya yang lahir di Indonesia itu disebut sayap, atau sel-sel al-Qaeda itu bisa disebut Jemaah Islamiyah. Kedua, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Sel-sel yang namanya jaringan radikalisme dan terorisme itu muncul adalah Jemaah Ansharut Daulah (JAD).
  • Jaringan-jaringan kedua kelompok ini yang cukup sering banyak bermain di Indonesia, kalau yang saya tadi katakan pasca seminggu dari pengeboman itu ada PAN-Islamisme di Indonesia. Di mana, ISIS itu juga menyebut Katibah Nusantara. Kedua jaringan ini karena POSO konflik kemudian masuk. Jadi, pesan yang paling penting di sini adalah cara yang bisa melakukan pencegahan terhadap terorisme. Pertama, menjaga daerah-daerah yang ada di Indonesia itu meredam terjadinya konflik. Terutama konflik komunal atau mungkin konflik-konflik yang dipicu oleh masalah intoleransi di dalam sebuah masyarakat. Sehingga, akhirnya kemudian bersemai dan berpotensi masuknya kelompok-kelompok. Baik itu, ISIS maupun al-Qaeda. Jadi, isu agama yang mereka dengan cepat ditangkap karena bahasa agamanya dengan jihad dan perjuangan mereka bisa masuk surga. Mungkin bisa saja berbeda antara kasus POSO dengan daerah lain. Bisa saja di suatu daerah ada perlakuan yang tidak adil, kehadiran negara yang kurang aktif. Sehingga, hal itu memicu lahan suburnya teroris. Terutama perlakuan antara umat Islam dengan Kristen.
BACA JUGA  Bimtek PPIH 2024: Upaya Kementerian Agama Melahirkan Uwais Al-Qarni di Zaman Modern

 

  • Apakah bisa memberikan suatu statement bahwa teroris itu karena krisis wawasan keagamaan, krisis ekonomi, faktor ini yang menjadi sarang lahirnya teroris, dan lain sebagainya? Banyak sekali faktor yang menjadi dasar terkait terrorism itu, baik ada faktor ideologi, faktor ekonomi, faktor ketidakadilan, dan lain sebagainya. Hal ini saya katakana tadi bahwa negara harus memberikan jaminan, bahwa kesejahteraan masyarakat terjamin, masalah perlakuan hukum terhadap masyarakat harus equality before the law. Artinya, harus ada kesamaan hukum di mata masyarakat. Semua itu bisa jadi potensi-potensi tumbuhnya terorisme. Kalau kita bicara Islam, agama ini sebenarnya sangat mengecam kepada yang namanya kekerasan.

 

  • Kenapa setiap ada tersangka dalam kasus terorisme yang teridentifikasi adalah Islam? Mereka itu paham cara menjualnya, gerakan-gerakan tersebut memang berorientasi kepaada kepentingan ekonomi dan kepentingan politik. Polanya, dengan membawa bendera Islam kepada kekerasan, dan inspirasi mereka itu ke Timur Tengah. Dan di Timur Tengah itu lebih banyak orientasinya kepentingan ekonomi. Maka dari itu, mereka justru menjual sistem khilafah untuk menjadi basis dari pergantian ideologi Pancasila. Hal ini menarik abgi generasi muda Islam secara psikologis berbenturan dengan faktor kesejahteraan mereka.

 

  • Apa yang memotivasi Bapak untuk melakukan pendampingan kepada beberapa teroris? Sebenarnya secara spontanitas ini saya mencoba melakukan pendampingan, saya pernah di FKPT semacam forum yang dibentuk BNPT untuk melakukan pencegahan radikalisme dan terorisme. Yaitu, pendampingan dengan nara pidana terorisme. Alhamdulilah, di situ kemudian banyak bersentuhan dengan para nara pidana teroris. Namun, hal ini memang kita ajukan hibah atau semacam pendanaan kepada Kementerian Agama untuk melakukan pendampingan nara pidana teroris kurang lebih saya bersama-sama dengan mereka selama 7 bulan di penjara. Saya tidak masuk lewat ideologinya, karena saya tahu hasil wawancara saya hasilnya sama bahwa motif melakukan kekerasan itu karena ingin balas dendam. Karena motifnya balas dendam, maka ini masalah psikologis.
  • Karena mereka problemnya psikologis maka saya coba mendekatinya lawat psikologis. Saya kemudian banyak berkenalan dengan karya-karya John Horgen, dan ada salah satu bukunya adalah psikologi terorisme. Lalu, ada kecocokan pasca saya baca dengan nara pidana teroris yang ada di POSO. Maka dari itu, saya tidak menggunakan istilah deradikalisasi, tetapi lebih kepada dis-engagement. Artinya, mindsetnya yang kita rubah terlebih dahulu.

                                         

  • Secara filosofis apa yang mendasari Bapak melakukan pendampingan ini? Pertama, trust. Kedua, hand. Ketiga, Dari trust itu mungkin kepercayaan sudah ada, kemudian hand terkait skill kita ajarkan kepada mereka, dan itu tergantung kepada hasil penelitian saya yang pertama. Saya kemudian bertanya kepada mereka pasca keluar dari penjara masalah yang kalian akan hadapi apa? Dan jawabannya hampir semua masalah perut, masalah ini bagaimana kita coba rubah pola atau mindset mereka agar tidak berpikir selalu-selalu duit. Sehingga, menjadi tantangan tersendiri bagi saya, caranya kita skill yang harus kita bentuk. Keterampilan-keterampilan mereka yang lemah kita coba untuk membentuknya. Kalau mengacu kepada pemikiran John Horgen tadi bagaimana kita merubah yang kebiasaan mereka membunuh kita rubah menjadi security di salah satu perusahaan atau jadi pedagang dan pengusaha, dsb. Karena Indonesia itu menjadi gadis cantik bagi ideologi transnasional, dan yang paling penting mereka harus meng-counter ideologi transnasional dengan cara menjadi pelopor perdamaian.

 

  • Harapan Bapak kepada pemerintah dengan adanya pendampingan ini? Jadi, mereka sekarang menjadi pejuang perdamaian, maka yang dibutuhkan saya pribadi berharap dan banyak butuh lembaga yang kira-kira bisa memberi gelanggang-gelanggang bagi mereka. Terutama pemerintah, karena aktualisasi mereka tidak butuh duit, yang mereka butuhkan adalah aktualisasi diri, anda hargai mereka, dan anda hromati mereka. Bagaimana cara menghormati mereka, dengan cara memberikan gelanggang. Misalkan, mereka tampil dua kali di POSO berbicara dengan pelajar dan mahasiswa. Kemudian, mereka juga pernah jadi narasumber. Kenapa tidak misalkan negara memberi gelanggang yang lebih besar, dan ekspos ini secara besar-besaran. Sehingga, dengan naskah baru mereka merasa terhormat betul. Sejauh ini, lebih besar dampaknya.
  • Oleh karena itu, negara harus merespon sikap mereka yang mau berubah ini menjadi pejuang perdamain atau bisa di Kementerian Agama. Misalnya, diangkat menjadi duta perdamaian. Paling tidak, NU dan Muhammadiyah misalnya harus punya semacam lembaga atau majelis sendiri untuk menangani mantan nara pidana terorisme. Tidak hanya sekedar pada narasi anti radikalisme dan terorisme, tetapi ada lembaga khusus yang harus dibentuk. Apalagi seperti di Surabaya, deportan yang balik ini sekitar 400. Artinya, penanganannya harus betul-betul secara khusus dengan mereka. Belum lagi, yang memang ada kesulitan, karena mereka secara tidak langsung berbenturan seara ideologi. Justru dengan keterlibatan kita dengan mereka meski berbeda menyentuh hati nurani mereka yang paling terdalam. Nah, tinggal bagaimana pendekatannya, dan bagaimana strateginya menemui mereka. Karena itu, cinta yang harus kita bangun karena mereka akan merasakan febrasinya atau getarannya.
Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru