29.7 C
Jakarta

Serial Pengakuan Mantan Teroris (XX-II): Priyatmo Korban Doktrin Khilafahisme dan Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahInspiratifSerial Pengakuan Mantan Teroris (XX-II): Priyatmo Korban Doktrin Khilafahisme dan Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Semua orang pasti tidak ingin terjebak dalam jerat kebodohan. Semua orang tentu bermimpi menjadi orang yang pintar. Karena itu, mereka semangat belajar. Belajar apapun yang mereka suka, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Apalagi, mereka tahu, bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: Thalab al-ilmi faridhah ala kulli muslim wa muslimah. Maksudnya, belajar itu diwajibkan bagi semua orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan.

Ilmu di sini, bagi sebagian ulama, dipahami secara terbatas, bahwa ilmu yang diwajibkan untuk dipelajari adalah ilmu agama. Sekalipun, ada ulama lain yang tidak setuju memisah-misahkan ilmu. Sebab, semua ilmu itu adalah satu rumpun dan hukumnya wajib dipelajari semua. Terlepas dari perselisihan ini, pendapat pertama lebih banyak diterima oleh orang Islam sendiri sehingga tidak sedikit mereka yang semangat belajar dan mendalami ilmu agama.

Salah seorang yang memiliki spirit yang besar untuk belajar ilmu agama adalah mantan narapidana teroris (napiter) Priyatmo. Priyatmo mulanya tidak punya keinginan menyandang sebutan “teroris”, apalagi sampai bergabung dan masuk di dalam kelompok radikal ini. Ceritanya begini, pada saat merantau, Priyatmo bertemu dengan beberapa orang yang sampai dianggapnya sebagai teman karena saking dekatnya. Melalui beberapa teman ini, Priyatmo tertarik belajar ilmu agama. Priyatmo ingin menjadi muslim yang kaffah. Kendati, Priyatmo sendiri tidak tahu muslim yang kaffah itu seperti apa.

Istilah kaffah ini sering disalahpahami oleh kelompok teroris. Sekalipun, istilah itu jelas diambil dari ayat Al-Qur’an: Idkhulu fi as-silmi kaffah. Maksudnya, seluruh orang Islam diperintahkan masuk dan beragama Islam secara kaffah atau totalitas. Kaffah di sini dipahami oleh kelompok teroris dengan berislam secara fanatik, tidak terbuka terhadap perbedaan agama, mengkafirkan orang yang beragama di luar Islam, bahkan menghalalkan darah orang tersebut. Pemahaman yang keliru ini kemudian diekspresikan dalam bentuk tindakan kekerasan yang berbau teror.

Priyatmo terjebak dengan pemahaman keliru tentang Islam kaffah tersebut, sehingga mengantarkannya masuk dalam kubangan teroris. Priyatmo menjadi teroris secara tidak sadar, karena ia merasa yang dilakukannya adalah sebuah kebenaran yang tidak boleh diubah oleh siapapun yang menganggapnya teroris. Darah teroris mengalir di tubuh Priyatmo bermulai semenjak peristiwa Ambon 2011. Peristiwa ini merupakan serangkaian kerusuhan yang dipicu oleh bentrok antar warga. Peristiwa ini kemudian dijadikan kesempatan oleh kelompok teroris untuk mendoktrin orang Islam, termasuk Priyatmo, bangkit membela saudara semuslim yang tertindas.

BACA JUGA  Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XXVI): Mantan Napiter Toni Saronggalo Dapat Bantuan Wirausaha dari Polres Lamongan

Kelompok teroris memahami persaudaraan itu sangat sempit dan sangat tertutup. Orang yang dianggap saudara itu tentunya orang yang sesama muslim atau yang disebut ukhwah Islamiyyah, bahkan orang yang sepemikiran. Artinya, orang yang beragama non-Islam jelas bukan saudara mereka. Lebih dari itu, mereka sudah dikafirkan dan disesatkan. Tragisnya, darahnya halal dibunuh. Kemudian, orang yang tidak sepemikiran juga bukan saudara mereka. Tidak sepemikiran di sini adalah bukan kelompok mereka. Biasanya orang Islam yang tidak dianggap kelompoknya adalah mereka yang memiliki pemikiran liberal dan moderat. Disadari atau tidak, kelompok teroris itu adalah kelompok garis keras atau radikalis.

Priyatmo melakukan tindakan yang melanggar hukum sehingga mengantarkannya ditahan di balik jeruji besi selama lima tahun. Tindakan pelanggaran ini berupa penyelundupan senjata M-16 beserta dua buah magazine. Di dalam sel, Priyatmo bertemu dengan banyak tahanan yang memiliki kasus yang serupa. Priyatmo menjalani hidup di sana dalam penyesalan setelah ia melakukan refleksi atas segala tindakannya yang telah berlalu. Priyatmo memandang ke depan, melihat masa depan yang masih menunggunya menjadi orang yang baik, bahkan muslim yang kaffah dengan cara-cara yang bijaksana. Priyatmo memutuskan untuk keluar dari kelompok teroris dan kembali ke jalan yang benar (shirath al-mustaqim).

Kepulangan Priyatmo di tengah-tengah masyarakat pada mulanya belum langsung diterima dengan baik. Masyarakat masih dihantui ketakutan dengan masa lalu Priyatmo yang tak ubahnya film horor yang menyeramkan. Priyatmo menguatkan dirinya sendiri dan memahami kekhawatiran masyarakat dengan kehadirannya. Priyatmo terus membuktikan bahwa ia sendiri sudah taubat, berhenti secara total melakukan tindakan teror. Priyatmo terus berbaur dengan masyarakat dan membantu mengembangkan desanya sendiri, terlebih dalam persoalan ekonomi. Step by step, hati masyarakat mulai tergugah dan menyadari bahwa Priyatmo itu sudah insaf dan kembali menjadi muslim yang baik.

Priyatmo sekarang mengecam keras tindakan teror, sekalipun dilakukan dengan sejuta alasan untuk membela Islam. Karena, Islam sendiri tidak menghendaki tindakan yang zalim berwajah terorisme. Islam menghendaki perbuatan yang bijaksana dan lemah lembut. Priyatmo menyuarakan pentingnya menjaga NKRI dari serangan terorisme yang sedang menjajah Indonesia secara pelan-pelan. Maka, penting diingat, bahwa muslim yang baik bukan yang menyesatkan orang lain, tetapi menerima mereka sebagai saudaranya sendiri.[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini diolah dari cerita Mantan Napiter Priyatmo yang dimuat di akun YouTube BIN Official RI

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru