32.7 C
Jakarta

Mahfud MD dan Keharaman Meniru Sistem Pemerintahan Nabi

Artikel Trending

EditorialMahfud MD dan Keharaman Meniru Sistem Pemerintahan Nabi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sistem pemerintahan jadi topik menarik—sekaligus kontroversial—dalam Diskusi Panel bertajuk “Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia Malaysia” yang digelar di Gedung Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (25/1) kemarin.

Acara yang diprakarsai PBNU dan Wahid Foundation tersebut dihadiri langsung oleh empat tokoh: Said Aqil Siroj selaku Ketua Umum PBNU, Yenny Wahid selaku Direktur Wahid Institute, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) RI Mahfud MD, dan Menteri Pertahanan Malaysia Mohammad bin Sabu, atau yang akrab dikenal Mat Sabu.

Mulanya, netizen menanggapi Diskusi Panel tersebut sebagai tanda rekonsiliasi Mahfud MD dengan Aqil Siroj, yang sempat ‘tidak akur’ saat Pilpres 2019 lalu. Namun, ketika acara habis digelar, yang ramai jadi perbincangan justru statemen Mahfud MD. Ia dihujat lantaran mengatakan, bahwa meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad hukumnya adalah ‘haram’.

“Tidak satu sistem khilafah tertentu yang harus diikuti menurut Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Nggak ada suatu sistem. Oleh sebab itu, Indonesia itu, berbentuk republik dengan presidensial. Malaysia berbentuk kerajaan dengan parlementer. Apakah itu melanggar Al-Qur’an-sunnah? Tidak, karena dalam Al-Qur’an dan sunnah memang tidak ada ajaran bentuk negara. Bahwa manusia bernegara, iya. Bentuknya seperti apa itu terserah,” ungkap Mahfud MD.

“Karena kita dilarang, oleh agama kita, mendirikan negara seperti yang didirikan Nabi. Kaget? Iya dilarang. Karena negara yang didirikan Nabi itu teokrasi, di mana Nabi itu mempunyai tiga kekuasaan sekaligus. Legislatif, kalau ada masalah hukum baru. Lembaga legislatifnya Nabi, lembaga eksekutifnya nabi juga. Lembaga yudikatifnya? Nabi. Sekarang nggak bisa ada negara seperti (zaman, red.) Nabi itu. Haram, kalau kita,” imbuh Mahfud.

Nah. Oleh sebab itu, pilihan bentuk negara dan sistem pemerintahan, sistem khilafah itu, Saudara, yang beragam sekarang dipilih oleh Indonesia dan Malaysia itu sama benarnya. Sama-sama tidak bertentangan dengan syar’i… Kita tidak perlu negara Islam, tetapi perlu negara islami. Seperti New Zealand negara islami, Jepang negara islami.”

“Haram”-nya Sistem Pemerintahan Nabi

Satu catatan yang sangat penting di sini ialah, pernyataan tersebut kita dapat melalui berita di media. Umumnya, setiap reporter, editor, dan media itu sendiri memiliki kebijakan tertentu terhadap semua berita yang diterbitkan. Ada suatu yang tak boleh dilupakan, yaitu: bahasa wartawan. Selain, sejauh ini, tentang pernyataan Mahfud MD, belum ditemukan pemberitaannya di media nasional.

Ketika NU Online pertama kali memberitakan, media tersebut jelas punya tujuan memakai redaksi ‘haram’. Minimal untuk menarik pengunjung, karena keharaman tersebut dinisbatkan kepada Nabi Muhammad. Masalahnya berbeda ketika media semisal Suara.com dan Duta.co memberitakan konten sejenis. Di sinilah latar belakang media itu adalah elemen penting untuk memahami suatu berita.

Lalu, benarkah Mahfud MD bermaksud mengharamkan sistem pemerintahan Nabi? Itu yang perlu diluruskan. Beberapa media sudah terlanjur memelintir statemen Mahfud, dan meminta komentar dari suatu instansi yang tak paham duduk perkaranya. Dalam tataran ini tujuannya satu: mencitra-burukkan Mahfud selaku Menko Polhukam. Kalau bukan demikian, apa lagi?

Dari pernyataannya yang telah dikutip di awal, ‘keharaman meniru sistem pemerintahan Nabi’ yang dimaksud Mahfud ialah keharaman menerapkan sistem teokrasi. Teokrasi tidak boleh diterapkan, karena akan merampas otoritas kenabian. Sedangkan hari ini, otoritas kenabian sudah tak ada. Artinya, teokrasi sudah tak relevan, sewafatnya Nabi Muhammad.

Contoh. Ketika Nabi memegang tiga posisi sekaligus; legislatif, eksekutif, dan yudikatif, tolok ukur otoritas apa yang kita pakai untuk menyematkan tiga posisi tersebut pada satu orang di hari ini? Jelas tidak bisa. Hari ini ini, legislatif ada lembaga tersendiri, begitupun eksekutif dan yudikatif. Kalau ketiganya dipaksakan diterapkan hari ini, yang terjadi justru adalah sistem pemerintahan tiranik. Jelas itu kontradiktif dengan cara kepemimpinan Nabi.

Mahfud MD sekadar menjelaskan, tidak boleh disalahpahami. Bahwa sistem pemerintahan Malaysia dan Indonesia yang notabene berbeda, tak bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah. Perkara Monarki Parlementer ala Malaysia dan Republik Presidensial ala Indonesia tidak sama dengan sistem teokrasi Nabi, jelas bukan masalah.

NKRI Sebagai Manifestasi Sistem  Nabi

Jadi inti statemen Mahfud ialah penegasan kesamaan spirit antara sistem pemerintahan kita hari ini, seperti apapun bentuknya, dengan pemerintahan Nabi. Kendati wujud sistem itu sendiri berbeda. Bahkan tidak boleh kita menyamai otoritas Nabi. Tetapi elemen sistem pemerintahan yang diterapkan Nabi hari ini tetap ada, hanya terbagi tugasnya. Legislatif, eksekutif, dan yudikatif ada lembaganya masing-masing.

BACA JUGA  Strategi Kontra-Radikalisasi Berbasis Keadilan Hukum

Sistem pemerintahan apa yang diterapkan hari ini di Indonesia? Benarkah, seperti diucapkan Mahfud, tidak ada kontradiksi dengan Al-Qur’an dan sunnah?

Paham modern tentang negara mencakup dua hal; bentuk negara dan bentuk pemerintahan. Bentuk negara ada dua, yaitu kesatuan (unitaris) dan serikat (federasi). Sedangkan bentuk pemerintahan ada tiga; republik, monarki, dan persemakmuran. Di dalam bentuk pemerintahan, ada sistem yang diterapkan, di antaranya presidensial, parlementer, semipresidensial, monarki konstitusional, monarki mutlak, komunis, dan demokrasi liberal.

Lantas di manakah posisi NKRI, dan di mana letak sistem pemerintahan Nabi Muhammad? Kenapa tidak bisa ditiru?

Sesuai namanya, NKRI adalah bentuk negara kesatuan, baik sentralisasi maupun otonomi. Bangsa ini merasakan keduanya, di bawah kepemimpinan Orde Baru dan pasca-reformasi. Sistem pemerintahannya presidensial, sehingga kekuasaan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan yudikatif berada di tangan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Zaman Nabi Muhammad belum ada bentuk negara. Tetapi sistem pemerintahan bisa diklasifikasi, misalnya aristokrasi dan teokrasi. Monarki-aristokrasi diterapkan di kekaisaran Romawi, dan imperium-imperium besar ketika itu. Tetapi Nabi sendiri memakai teokrasi. Penerapan sistem tersebut berjalin-kelindan dengan otoritas Nabi sendiri sebagai Rasul; memegang urusan legislasi, berperan sendiri sebagai eksekutif, dan memegang otoritas yurisprudensi (yadikatif).

Meniru sistem pemerintahan Nabi jelas tidak memungkinkan, karena alasan yang sudah dijelaskan di muka. Tetapi NKRI sendiri juga secara substansial adalah manifestasi sistem Nabi, karena memuat tiga otoritas tadi, meski terlembagakan secara terpisah. Jika legislatif-eksekutif-yudikatif adalah esensi bernegara ala Nabi, yang di Indonesia ketiganya sudah terpenuhi, untuk apa kita ribut mempersoalkan statemen Mahfud?

Meruwat Kesatuan-Persatuan

Agenda terpenting kita sejujurnya ialah meruwat persatuan, menyemai kesatuan demi eksistensi NKRI itu sendiri. Tidak ada yang problematis dengan statemen Mahfud MD. Ia tidak hendak memburukkan sistem pemerintahan Nabi Muhammad, atau mengharamkan umat Islam mengikuti sunnah. Apa yang diterapkan Nabi memiliki konteks, yang berbeda dengan konteks kita hari ini.

Yang terpenting elemen-elemen primordial dalam bernegara satu spirit, dan kita tak mereduksi sedikit pun dari cara Nabi bernegara. Yakni menjunjung tinggi persatuan, keadilan, dan kesetaraan di  depan hukum. Urgensi meruwat persatuan ini bukan tanpa landasan. Apa yang dialami Mahfud; dituduh menyimpang dari sunnah Nabi, ada salah satu wujud konkret stigmatisasi.

Stigmatisasi di sini berkaitan erat dengan dengan delegitimasi pemerintah, dengan sistem pemerintahan yang ada di NKRI. Kepentingan terselubung di balik pelintiran statemen Mahfud MD mudah sekali kita tebak siapa pelakunya. Kalau bukan mereka yang menginginkan sistem pemerintahan NKRI diganti khilafah ‘ala manhaj an-nubuwwah, siapa lagi?

Kuncinya, sekali lagi, adalah memperteguh kesatuan-persatuan itu sendiri. Narasi seputar ketidaksesuaian sistem pemerintahan NKRI dengan sistem pemerintahan Nabi Muhammad harus dikonter sekuat mungkin. Apa yang diterapkan Nabi, termanifestasikan dalam bingkai NKRI. Tentu dengan kontekstualisasi di beberapa aspek. Tidak ada yang perlu dipertentangkan.

Justru yang kontradiktif dengan sistem pemerintahan Nabi adalah khilafah yang diseru-serukan hari ini. Sebab, selain bersifat tiranik, dipimpin oleh satu amir, khilafah yang diperjuangkan mereka tidak mencakup elemen substansial negara. Seperti diketahui, sistem monarki-tiranik adalah sistem pemerintahan terburuk.

Jadi, benarkah “haram” meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad? Kalau yang dimaksud meniru di situ adalah mengambil peran kenabian yang teokratis, jelas tidak boleh. Haram tersebut bukan karena meniru Nabi, melainkan karena memosisikan sebagai otoritas yang setara dengan Nabi.

Lagi pula, negara adalah urusan politik. Termasuk periveral (dunyawi), tidak berada di tataran sakral (ukhrawi). Nabi tidak menuntut kita menirunya. Nabi bersabda: “Antum a‘lamu bi umur dunyakum (Engkau lebih mengetahui tentang urusan keduniaan kalian).”

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru