31.5 C
Jakarta

Logical Failure Felix Siauw

Artikel Trending

CNRCTLogical Failure Felix Siauw
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sebenarnya beberapa kali logika berpikir Felix sebagai syabab Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam tulisan dan perkataan menunjukkan kekeliruan berpikir. Saya tidak tahu apakah ini disengaja atau tidak, namun kekeliruan berpikirnya Felix sangat berbahaya mengingat jutaan orang menjadi pengikutnya di media sosial. Pada kali ini saya mau membahas satu saja dari tulisan Felix, yang dimuat di akun Facebook dan Instagram dengan judul “Manusia Berlagak Tuhan”.

Awal paragraf diawali dengan perbandingan sikap manusia pada dokter dan Tuhan. Tak ada satu pun pasien yang pernah mendebat dokternya dalam diagnosa, saran, dan resep yang diberikan. Hebatnya banyak orang yang berani mendebat Tuhannya. Semua saran dokter ketika diberikan didengarkan dengan seksama dan ditaati, di saat yang sama kewajiban dari Allah diragukan, disangsikan kesesuaiannya dengan zaman.

Konsep-konsep Ilahiah dimakzulkan, ayat-ayat Tuhan saja dipertanyakan. Tapi pendapat manusia dimuliakan, dijunjung dan dipuji, walaupun sudah terbukti menyengsarakan. Anda bisa jadi mendebat dokter, bila Anda tidak meyakini bahwa orang itu adalah dokter. Sama seperti anda bisa jadi mendebat Allah bila Anda tak meyakini Allah itu Tuhan.

Menyamakan seorang dokter yang memberikan treatment pengobatan pada pasien dengan Tuhan sebetulnya sebuah pelecehan yang nyata. Karena Allah Swt adalah Khaliq, sedangkan seorang dokter hanyalah makhluk. Membandingkannya tak sebanding sama sekali. Allah Swt bersifat Maha Esa menurunkan satu wahyu pada umat Islam yaitu al-Qur’an untuk memecahkan permasalahan kehidupan.

Manusia yang menerima al-Qur’an mencoba memahami wahyu Allah Swt melalui tafsir-tafsir yang dilakukan secara sahih sesuai keilmuan sehingga melahirkan para mufasir dan mujtahid. Karena berbeda sudut pandang dan pemahaman pada ayat maka tidak menutup kemungkinan terjadi ragam tafsir. Manusia lain yang tidak memiliki ilmu tentang tafsir dan proses ijtihad, hanya menjadi pengikut setelah memilih mujtahid yang diyakini baik secara ilmu setelah mengkaji hasil ijtihad ulama tersebut maupun faktor tsiqah pada ulamanya saja.

Adapun dokter sifatnya jamak, ada banyak. Pasien akan berobat pada dokter tertentu, dokter akan memberikan diagnosa dan saran pengobatan, pasien yang sudah yakin sama hasil diagnosa dokter akan mengikuti, tapi jika belum yakin dia akan datang ke dokter lainnya sebagai second opinion. Bahkan dia bisa memilih teknik pengobatan lainnya dari para tabib ahli herbal atau dari para sensei akupuntur bahkan dari orang pintar.

Sampai di sini jelas,demi membuktikan, bahwa “dokter” dengan “Tuhan” itu sangat berbeda.

Kalimat selanjutnya Felix menuliskan: “Pasien serasa Dokter sama dengan Manusia Berlagak Tuhan” untuk pasien yang tidak percaya pada diagnosa dan saran dokter, dan manusia yang tidak menjalankan hukum syara’.

Anehnya, kita berlagak lebih tahu dari dokter, lebih hebat dari Tuhan. Resep yang diberi dokter kita sortir sendiri, syariat dari Allah kita pilah pilih, sesuka semau kita. Pasien serasa dokter, manusia berlagak Tuhan, dengan bangga mempertontonkan kebodohan, menyombongkan kelemahan, padahal malaikat maut sedang mengintainya.

Posisi dan cara kerja seorang dokter sangat tidak sebanding dengan Allah Swt. Menganalogikan kepercayaan pasien, pada itu sulit, pada dokter dengan kepercayaan makhluk pada Allah Swt adalah sebuah Logical Failure bahkan bisa jadi pelecehan yang nyata. Jika pun mau disamakan kepercayaan pasien pada dokter sama sama dengan kepercayaan umat pada mujtahid.

Ada banyak dokter, begitu juga ada banyak mujtahid. Dokter dalam mendiagnosa dan menyarankan treatment terhadap pasien akan menjalani serangkaian pendidikan dan pembiasaan menggunakan kaidah ilmiah. Begitu juga dengan seorang mujtahid akan menjalani serangkaian pendidikan agama sehingga mempunyai kemampuan dalam menafsirkan al-Qur’an dan menghasilkan hukum-hukum syara’.

Jika seorang pasien sudah memilih dokter A, maka jika dia yakin dengan diagnosa dokter A dia akan mengikuti pengobatan yang disarankan dokter A. Namun jika dia tidak yakin dengan dokter A dia bisa memilih dokter lainnya bahkan pindah ke pengobatan alternatif lainnya. Hal Ini sah-sah saja bagi pasien. Pun begitu dengan umat dalam memilih seorang mujtahid yang diikutinya.

Jika seorang memilih Mujtahid Taqiyuddin an-Nabhani, jika ia yakin dengan kesahihan hasil ijtihadnya akan mengikuti hasil ijtihadnya bahwa “semua hukum Islam hanya bisa tegak dengan mendirikan khilafah islamiyah. Namun jika seorang tidak yakin terhadap argumen-argumen an-Nabhani tentang hukum syara’ ketatanegaraan, dia boleh saja mengambil hasil ijtihad dari ulama lain misalnya mengambil pendapat dari hasil ijtima’ para ulama Indonesia 1945 yang berijtihad tentang sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu NKRI Pancasila.

Khilafah Islamiyah Tahririyah adalah produk ijtihad seorang ulama, pun begitu NKRI Pancasila pun hasil ijtihad bahkan jadi kesepakatan para ulama Indonesia. Umat Islam diperkenankan memilih hasil ijtihad ini mana yang paling sesuai dengan konteks Indonesia dan tidak menimbulkan kemudaratan yang besar. Sama dengan pasien diperkenankan memilih dokter mana yang memberikan treatment yang lebih baik bagi kesehatannya. Mujtahid dan dokter tidak bersifat tungga, sehingga banyak pilihan yang bisa dipilih tergantung keyakinan mereka.

Kesimpulan Felix bahwa “Pasien serasa Dokter, manusia berlagak Tuhan” adalah kesimpulan yang salah. Ketika kita memilih hasil ijtihad ulama lain dibandingkan hasil ijtihad Taqiyuddin an-Nabhani tentang penerapan hukum Islam melalui khilafah, tidak menyakini hasil ijtihad seorang ulama bukan berati “Manusia berlagak Tuhan”. Manusia berlagak Tuhan itu hanya pantas disematkan bagi mereka yang berlaku seperti Tuhan padahal mereka bukan Tuhan.

Misalnya “Tuhan punya sifat Esa, dan Dia mengklaim kebenaran bersifat tunggal dari kelompoknya saja” atau berlagak seperti Tuhan yang Al-Hakim yaitu “mengklaim bahwa orang yang tidak mengikuti ijtihad Taqiyuddin an-Nabhani sebagai golongan sesat, munafik, kafir, atau zalim”. Padahal syariat Islam jelas, mereka yang berijtihad dengan benar dapat 2 pahala, dan ijtihad salah dapat 1. Mana yang benar dan salah tidak ditentukan didunia tapi di akhir akhir berdasarkan keputusan Allah Swt.

Manusia hanya bisa mengikuti ijtihad para ulama dengan kaidah mana yang dalilnya paling kuat, mana yang memberikan manfaat lebih banyak pada umat, dan tidak menimbulkan kemudaratan yang besar. Manusia yang tidak menerima perbedaan hukum syara’ yang dikeluarkan oleh para ulama, sesungguhnya dialah, Felix, yang “Manusia Berlagak Tuhan”.

Wallahu a’lam bi ash-shawab…

Yanti Herlanti
Yanti Herlanti
Dosen Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru