26.7 C
Jakarta

Lockdown Bukan Tradisi Kita

Artikel Trending

Milenial IslamLockdown Bukan Tradisi Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sebagaimana telah disinggung pada tulisan-tulisan sebelumnya, wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia semakin hari korbannya bertambah. Per Minggu (29/3), tercatat ada 1.285 kasus dengan rincian 1.107 menjalani perawatan,  114 orang meninggal dunia, dan 64 orang berhasil sembuh. Angka tersebut sudah barang tentu mencemaskan sekali. Tidak ada yang tahu pasti kapan wabah ini berakhir. Lockdown pun menjadi wacana lanjutan.

Ada beberapa cara yang diterapkan untuk meredam angka infeksi COVID-19 di berbagai negara. Semua kebijakan yang diambil berbeda-beda, sesuai kesepakatan pemerintah. Di Korea Selatan, strategi menghadapi COVID-19 adalah dengan tes massal (rapid test) warganya. Berbeda dengan China yang sedari awal wabah menyebar, pemerintah langsung terapkan kebijakan lockdown.

Sungguhpun demikian, apa pun cara yang diterapkan, keberhasilan tak ditentukan oleh cara tersebut. Di China, lockdown sukses, dan angka infeksi juga kematin berhasil ditekan seminimal mungkin. Tetapi kebijakan yang sama tidak sukses di Amerika Serikat dan Italia. Dua negara terakhir ini berada di peringkat teratas infeksi COVID-19, meski sudah lebih dua minggu lakukan lockdown.

Di Amerika, per Minggu (29/3), dilansir dari Tempo, tercatat 122.000 kasus COVID-19 dengan kematian 2.100 orang. Sementara itu Italia berada di peringkat sesudahnya, sebanyak 92.472 kasus dan kematian tertinggi sedunia mencapai 10.023 orang. Mengagetkan karena melampaui China, di mana wabah COVID-19 berawal. Semua negara adidaya tersebut menerapkan pola penanganan yang sama, yaitu menutup akses keluar-masuk (lockdown).

Bagaimana dengan Indonesia?

Presiden Jokowi mengatakan, sebagaimana dilansir Kompas, tidak ada pikiran ke arah lockdown. Salah satu alasannya ialah kultur, ketidakmungkinan masyarakat Indonesia untuk tak beraktivitas di luar rumah. Ketahanan nasional dan kekuatan pangan adalah kendala. Ekonomi berisiko kolaps, jika kebijakan tersebut dipaksaterapkan.

Akankah Pemerintah Terapkan Lockdown?

“Saya tegaskan, pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi yang telah memberikan instruksi kepada Kepala Gugus Tugas, bahwa tidak akan ada lockdown,” kata Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di Kantor Pusat BNPB, Jakarta, Sabtu (21/3) lalu. Waktu itu kasus meninggal hanya 5 orang. Hari ini jumlahnya sudah lebih dua puluh kali lipat dari itu.

Pada Minggu (29/3) kemarin, MUI menyarankan pemerintah untuk melakukan lockdown total seluruh penjuru negeri. Sekjen MUI Anwar Abbas menuturkan, pemerintah juga seharusnya menunda rancana anggaran pemindahan ibukota, lalu menggunakannya untuk membantu  ekonomi masyarakat selama masa lockdown tersebut.

“Menindak dengan tegas siapa saja yang tidak mematuhi anjuran dan ketentuan dari pemerintah tentang lockdown ini,” ujarnya, sebagaimana dilansir CNN Indonesia.

Beberapa daerah, mendahului keputusan Jokowi, sudah ada yang melakukan lockdown. Masyarakat menutup ruas-ruas jalan, menginterogasi para pengendara yang melintasi daerah mereka, dan sejenisnya. Kepanikan, ketakutan, ditambah lagi berita bohong (hoax) berseliweran. Desakan kepada Jokowi pun meningkat: pokoknya Indonesia harus segera lockdown.

Tentu desakan tersebut lahir dari kekhawatiran penyebaran COVID-19, meskipun desakan lainnya memang bertujuan memojokkan pemerintah. Pilihan pemerintah untuk menerapkan physical distancing saja menuai kritik karena dianggap tidak efektif. Padahal masyarakat kita hanya diinstruksikan #DiRumahAja. Tidak sulit sebenarnya, hanya membosankan.

BACA JUGA  Melawan Otoritarianisme-Radikalisme dengan Tradisi Kritisisme

Isolasi diri di rumah masing-masing diterapkan pemerintah jelas bukan kekurangtegasan untuk melakukan lockdown. Sebagaimana kita bersama ketahui, tidak seperti di Amerika Serikat dan Italia, masyarakat Indonesia secara ekonomi tergolong menengah ke bawah. Apalagi menyimpan stok makanan hingga dua bulan ke depan, yang mau dimakan hari ini saja sulit.

Maka dari itu pemerintah tidak melakukan lockdown adalah keputusan yang tepat. Fungsinya jelas, menghindari kelaparan dan sejenisnya. Tetapi kultur masyarakat kita memang sedikit menjengkelkan: mereka mendesak pemerintah melakukan lockdown, tetapi ketika nanti mereka kesulitan makanan krisis ekonomi lainnya, pemerintah juga yang dialahkan?

Lockdown memang bukan kultur kita. Kultur kita adalah mengkritik, nyinyir, tetapi tidak bersedia menyumbang solusi apapun.

Kultur Kita

Denny J.A, Ketua LSI mengatakan juga, memang kultur kita bukanlah lockdown. Yang diatur dalam undang-undang adalah karantina wilayah, sebagaimana tertera dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Wewenangnya ada di pemerintah pusat. Tetapi karena dianggap lamban, beberapa pemerintah daerah ambil inisiatif sendiri menerapkannya.

Solo, Bali, Tegal, Papua, dan Maluku sudah menerapkan karaktina wilayah. Jika pemerintah pusat tak segera pasang badan, masyakarat akan menyalahkan kelambanan Jokowi. Sebab, itulah tradisi masyarakat kita: saling menyalahkan. Beberapa waktu lalu bahkan sempat cekcok di kalangan masyarakat, karena Jokowi dianggap men-skakmat kebijakan Anies Baswedan.

Imbauan #DiRumahAja juga sedikit yang menggubris, dengan alasan tidak akan seefektif lockdown. Itu juga kultur masyarakat kita: tidak taat pemerintah kalau kebijakannya tak cocok dengan hasrat kita. Padahal setiap yang ditempuh pemerintah adalah demi rakyat. Siapa yang bisa membayangkan andai Jokowi melarang seluruh masyarakat keluar rumah? Yang jelas, ia akan dikritik juga.

Ketika di negara lain, para pejabat negara menyumbangkan gajinya untuk mengatasi persoalan COVID-19, dan di Indonesia justru pemerintah membuka rekening bagi masyarakat yang ingin berdonasi, masyakarat kita nyinyir menganggap pemerintah pelit dan negara ini miskin. Itu juga bagian dari kultur kita: sudah tidak berkenan berdonasi, masih misuhi pemerintah.

Kultur kita banyak sekali, mulai dari positif hingga yang negatif. Dalam masa wabah ini, seharusnya kultur negatif kita ditahan dulu. Baiknya adalah berhenti nyinyir, berhenti mengkritik, lalu ramai-ramai menerapkan kultur positif kita, yaitu suka bersaudara dan erat solidaritas. Bersama-sama mendukung pemerintah, menyumbang sebisa kita dalam menghadapi wabah ini.

Butuh Alat Pelindung Diri (APD) untuk para tenaga medis bukan lantas mengatai pemerintah kita miskin. Itu tak akan menyelesaikan persoalan COVID-19. Yang benar adalah kooperatif bersama pemerintah, mengawal mereka dalam mengambil kebijakan yang tepat. Tentu kita wajib mengkritik bila memang kebijakannya tidak tepat. Kritik membangun, dan bukan nyinyir.

Kebijakan apapun bukanlah kunci, di awal telah disinggung. Kuncinya adalah kekompakan kita. Bukan lockdown.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru