26.9 C
Jakarta

Literasi di Pesantren dan Pentingnya Teori Terjemah

Artikel Trending

KhazanahLiterasi di Pesantren dan Pentingnya Teori Terjemah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Perkembangan literasi di pesantren perlulah disertai dengan kritik serta saran yang bertujuan mendukung perkembangan itu sendiri. Utamanya yang berkaitan dengan pondasi dasar dari literasi itu sendiri, yaitu perihal persinggungan para santri dengan teks-teks arab. Ini menjadi penting sebab nantinya akan berpengaruh pada perkembangannya selanjutnya, seperti persoalan mengkontekstualisasikan apa yang termaktub pada kitab kuning pada kekinian, sebelum kemudian menuliskannya.

Persinggungan para santri terhadap kitab kuning adalah perihal menterjemahkan. Menterjemahkan adalah aktivitas yang tidak bisa dihindari dikalangan umat Islam, utamanya di lembaga pendidikan seperti pesantren. Sebab al-Qur’an dan Hadis tersusun dari Bahasa Arab. Khazanah intelektual Islam selain al-Qur’an dan Hadis yang sampai pada saat ini juga kebanyakan tersusun dari Bahasa Arab. Maka aktivitas menjadi penting untuk dipelajari strategi serta problem-problemnya.

Sayangnya, pendalaman teori penterjemahan amat sangat minim di pesantren. Atau, malah bisa dinyatakan tidak ada. Yang ada adalah semangat untuk menyampaikan apa yang termaktub dalam kitab kuning dengan ungkapan setepat-tepatnya. Semangat ini didorong rasa takut bila ada ungkapan yang terhitung mengurangi maupun menambahi, akan terancam dinyatakan mendustakan teks yang diterjemahkan itu sendiri. Ini tak lepas dari pengaruh hadis:
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa dengan sengaja mendustakan aku, maka bersiap-siaplah memperoleh tempat di neraka.

Hadis ini memiliki andil besar dalam membendung gelombang kemunculan hadis palsu serta digalakkannya aktivitas penyaringan hadis. Tapi, juga perlu diketahui hadis ini juga sering digunakan untuk mengancam para “penafsir” hadis nabi, oleh orang-orang yang tidak setuju dengan penafsiran para penafsir tersebut. Santri-santri pun menerima imbas beban mental khawatir kalau-kalau apa yang ia ucapkan terkait suatu hadis, termasuk kategori mendustakan. Meski hal itu dilakukan tidak dengan unsur kesengajaan. Dan ini meluas termasuk teks keagamaan di luar al-Qur’an dan Hadis.

Pesantren dan Tradisi Literasi

Kenyataan di atas tampak kontras dengan perkembangan teori penterjemahan di dunia akademis. Syihabuddin dalam Penerjemahan Arab-Indonesia, Teori dan Praktik menyatakan bahwa menterjemahkan memiliki banyak teknik. Diantara teknik-teknik ini ada yang dengan tegas meniadakan kata bantu yang berada dalam teks asli, demi memperoleh hasil terjemahan yang mudah difahami.

Syihabuddin mengutip Newmark menyatakan, bahwa metode penerjemahan berdasar penekanan terhadap Bahasa sumber melahirkan delapan metode. Diantaranya adalah Penerjemahan Kata demi kata, yaitu menerjemahkan tiap kata berada di bawah setiap Bahasa sumber. Urutan kata Bahasa sumber dijaga dan dipertahankan. Ini mungkin.yang sering dipraktekkan oleh para santri. Adapula metode terjemah bebas. Yaitu mengungkapkan amanat yang terkandung dalam Bahasa sumber, dengan ungkapan penerjemah sendiri. Sehingga adakalanya hasil terjemahan menjadi lebih panjang daripada Bahasa aslinya (Sihabuddin, 2016).

BACA JUGA  Giat Literasi dengan Menulis Sastra Moral

Bandingkan dengan aktivitas “muradi” yang biasa dilakukan para santri. Ada yang bersikeras menterjemahkan makna gandul berupa utawi, dengan kata adapun. Akan terlihat aneh bila makna utawi yang biasa pada tarkib mubtada’ tersebut, muncul di awal bab. باب البيع apakah cocok bila terjemahkan “adapun ini adalah bab jual beli”. Bukankah lebih sesuai bila diterjemah dengan “Bab menerangkan jual-beli”? Dengan menghilangkan kata “adapun ini” dan menambahkan kata “menerangkan”.

Mengembangkan Kreativitas

Tanpa adanya sosialisasi tentang teori terjemahan, ini tentunya menimbulkan kebingungan tersendiri bagi para santri. Muncul pertanyaan, bagaimana bisa tarkib mubtada ditiadakan? Bukankah meniadakan adapun berarti meniadakan utawi, dan meniadakan utawi berarti meniadakan mubtada? Lalu, meniadakan kata ini berarti meniadakan makna “iki”, dan meniadakan iki berarti meniadakan kata hadza yang tersimpan dalam judul tersebut? Lalu darimana munculnya kata “menerangkan”. Dan, andai memang diperbolehkan, bagaimana batasannya?

Menanamkan pengetahuan tentang berbagai metode penerjemahan, akan memberi dampak positif berupa santri menjadi tahu bahwa proses mengalih bahasaan, tidak melulu harus ketat menjaga urutan tiap kata pada Bahasa asli. Tapi bisa juga disesuaikan dengan kebiasaan dalam tata Bahasa Indonesia. Selain itu, penerjemahan bisa juga dilakukan dengan proses menangkap inti dari apa yang ingin disampaikan oleh Bahasa asli, kemudian dikembangkan dengan Bahasa sendiri. Santri bisa belajar lebih kreatif dalam menyusun kata. Tidak terkungkung oleh pola penyusunan kata yang tampak seperti terjemahan kaku.

Penanaman pengetahuan ini sejak dini, tentu akan berpengaruh pada daya kreatif santri saat mulai menuliskan karya ilmiyah. Santri tak terbebani doktrin “mendustakan Bahasa asli”. Mereka juga dapat cepat beradaptasi dengan pola komunikasi kekinian, seperti berkembangnya Bahasa populer atau gaya penulisan populer. Entah bergaya chiken soup, maupun gaya Bahasa dalam buku-buku, yang isinya lebih banyak terdiri dari gambar menarik disertai kata-kata sedikit namun memotivasi.

Mohammad Nasif
Mohammad Nasif
Lulusan Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru