25.3 C
Jakarta

Lembaga Pendidikan, Kekerasan, dan Urgensi Mengatasinya

Artikel Trending

Milenial IslamLembaga Pendidikan, Kekerasan, dan Urgensi Mengatasinya
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “Aku takut, mama tolong cepat jemput”, pinta Bintang Balqis Maulana kepada ibunya lewat pesan WahtsApp. Bintang (14 tahun) adalah santri asal Banyuwangi yang tewas dianiaya empat seniornya, di Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Korban meninggal pada Jumat (23/2/2024) siang.

Lembaga pendidikan agama di Indonesia darurat kekerasan. Dua tahun terakhir, kasus kekerasan verbal, penganiayaan, kekerasan seksual, pelecehan seksual, kekerasan berujung kematian juga terjadi di pondok pesantren dan lembaga pendidikan di berbagai daerah di Indonesia.

Misalnya, pada awal Desember 2023, seorang santri Ponpes Husnul Khotimah di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, berinisial H (18), meninggal dunia. Ia menjadi korban penganiayaan teman seangkatannya. Pada tahun yang sama, September 2023, seorang santri di Ponpes Sirajurrokhim di Pringsurat, Temanggung, Jawa Tengah, meninggal akibat diduga dikeroyok oleh delapan santri lain.

Pada November 2023, seorang santri tewas setelah dianiaya seniornya di Ponpes Ta’mirul Islam Kampus Masaran di Kecamatan Masaran, Sragen, Jawa Tengah. Dan pada Agustus 2023, seorang santri di Pondok Modern Darussalam Gontor 1, Ponorogo, Jawa Timur tewas dikeroyok dua rekannya. Masih di bulan yang sama, seorang santri di Kabupaten Tangerang tewas dianiaya oleh teman seangkatannya.

Terbaru, kasus kekerasan seksual terhadap santriwati dilakukan oleh pimpinan Pondok Pesantren Hidayatul Hikmah Al Kahfi di Kelurahan Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur di Kota Semarang. Kasus serupa terjadi di Pondok Pesantren KM Jatipuro, Karanganyar (Solopos.com, 11 September 2023).

Perlu diingat, persentase angka 78 persen kasus kekerasan seksual terjadi di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama. Pelakunya 55 persen guru/tenaga pendidik; 22 persen kepala sekolah/pimpinan pondok pesantren (Kementerian Agama RI, 11 April 2023).

Darurat Kekerasan

Banyaknya kasus kekerasan seksual dan kekerasan berujung kematian seorang santri tidak dapat dilepaskan dari lemahnya sistem pengawasan terhadap pesantren dan lembaga pendidikan. Akibatnya, kasus-kasus kekerasan, pelecehan seksual di lembaga pendidikan berpotensi terus terjadi di masa yang akan datang. Untuk itulah, Kementerian Agama (Kemenag) dan otoritas terkait dituntut sesegera mungkin melakukan perbaikan tata kelola lembaga pendidikan agama.

Hari ini, Kemenag baru menyiapkan langkah-langkah mengantisipasi terjadinya kembali kasus serupa. Di antaranya, langkah pertama yang akan dilakukan adalah melakukan investigasi. Langkah ini diperintahkan kepada jajaran lembaga untuk melakukan investigasi kepada sekolah-sekolah/pesantren yang disinyalir sering terjadi pelanggaran kekerasan verbal, penganiayaan, kekerasan seksual, pelecehan seksual, dan seterusnya.

BACA JUGA  Residu Pembubaran HTI: Propaganda Sporadis Khilafah yang Membahayakan NKRI

Langkah kedua, Kemenag akan menjalin kerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), aparat, dan pihak terkait lainnya dalam penanganan masalah ini, termasuk dalam proses investigasi.

Ketiga, Kemenag akan memperbaiki prosedur pemberian izin operasional lembaga pendidikan agama dan keagamaan. Kemenag menggarisbawahi pentingnya pengetatan pelaksanaan verifikasi dan validasi sebelum menerbitkan rekomendasi. Langkah ini didasarkan tidak hanya pada rekomendasi berupa izin di atas kertas, tetapi juga hasil verifikasi dan validasi lapangan. Jadi petugasnya harus datang melihat, menyaksikan, baru mengeluarkan rekomendasi izin.

Tidak Sekadar Teknis

Dalam kaitan ini, kita tidak boleh keliru mempersiapkan solusi atas keberadaan lingkungan lembaga pendidikan agama. Sebagai ruang belajar anak didik, keberadaan lembaga pendidikan harus nyaman, aman, dan kondusif agar berbagai kegiatan proses pembelajaran dan interaksi sosial berjalan secara sinergis dan produktif.

Dengan demikian, solusi terbaik tidak sekadar memikirkan hal-hal yang sifatnya teknis. Untuk mengatasi dan mengantisipasi terjadinya kembali kekerasan di lembaga pendidikan agama dibutuhkan audit-solusi secara fundamental. Kita perlu mengevaluasi perilaku, persepsi dan juga kurikulum dalam memperlakukan fungsi pendidikan.

Selama ini, kita seringkali menganggap bahwa kurikulum dan aspek lain di dalam lembaga pendidikan tidak penting. Akhirnya, kita menghilangkan fungsi “belajar kesalingan”, persepsi dan perlakuan kepada santri/mahasiswa sebagai objek pasif, dan hanya memperdulikan sikap mekanis-teknis. Maka tak ayal, lembaga pendidikan sering kehilangan fungsinya sebagai sistem interaksi sosial yang hidup di tengah masyarakat, tidak bisa memberikan sumbangsih riil kepada masyarakat, dan seringkali memburu slogan ambisius yang tak perlu.

Anehnya, perilaku itu masih terus diteruskan. Lembaga-lembaga pendidikan ini berlomba-lomba mengejar peringkat internasional agar terindeks unggul dan menjadi lembaga pendidikan yang seolah-olah sudah berada di puncak world class university. Mereka tiap hari mengampanyekan slogan-slogan fantastis meski misterius. Padahal, Sumber Daya Manusia (SDM), infrastruktur lembaga, dan bahkan kelas belajar saja mereka tak memilikinya. Jangan tanya soal atmosfer keilmuan.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru