31.1 C
Jakarta

Leila Khaled: Membaca Palestina, Membaca Perempuan

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuLeila Khaled: Membaca Palestina, Membaca Perempuan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul: Leila Khaled: Kisah Pejuang Perempuan Palestina, Judul Asli : Leila Khaled: Icon of Palestinian Liberation, Penulis: Sarah Irving, Penerjemah: Pradewi Tri Chatami, Identitas Buku: Marjin Kiri, Cetakan pertama, Januari 2016, I + x + 198 hlm, 14×30 cm. Peresensi: Siti Aminah Tardi.

Ketika mendengar Palestina, saya sebelumnya hanya mengetahui sebagai perjuangan Muslim melawan Zionis Yahudi. Sampai kemudian ketika melanjutkan belajar, saya bertemu dengan perempuan Palestina, baik sesama penerima beasiswa maupun penerima suaka (asylum) yang tinggal di New York. Mereka sebelumnya tinggal di Palestina, kamp pengungsian di Yordania atau Lebanon dan kami kerap hadir dalam keagamaan, seperti buka puasa atau Idul Fitri.

Satu teman saya berasal dari Palestina, saya sempat terkejut karena ia berpenampilan tidak menggunakan jilbab seperti yang saya pikir. Proposal beasiswanya tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan karena mahar (dowry). Pada titik ini, kemudian terbangun kesadaran bahwa terdapat persoalan perempuan yang sama , namun terdapat lapisan kerentanan pada perempuan Palestina, yaitu negara terjajah, status pengungsi atau asylum dan sistem sosial yang patriarki.

Saya berjumpa dengan buku karangan Sarah Irving yang memperkenalkan Leila Khaled, ikon gerakan pembebasan Palestina. Melalui buku ini, saya ikut merasakan kemarahan, kesedihan dan ketakutan selalu ada antara hidup dan mati. Buku ini laksana membaca pertualangan gerakan bawah tanah, sekaligus menemukan refleksi jujur dari seorang pembajak pesawat ke yang mempromosikan perdamaian.

Palestina: Jika Ingin Pulang Maka Berjuanglah

Leila lahir di Haifa, yang PBB memasukkannya sebagai kawasan Israel pada 1947. Bersama ribuan keluarga Palestina, Leila kecil meninggalkan Haifa dan menjadi pengungsi di Lebanon. Dengan kondisi yang terbatas, termasuk makanan, keluarga Leila menghibur diri, kesulitan (makanan) karena mereka tidak di Palestina. Bagi keluarga ini jeruk ternikmat adalah jeruk di kebun rumah yang menjadi kenangan Leila yang paling melekat.

Ketika Leila berusia 10 tahun, ia mulai terlibat dalam gerakan pembebasan dengan ikut berdemontrasi, membawakan roti ke garis depan pertempuran atau menyebarkan pamflet. Kegiatan Leila remaja tidak mendapat persetujuan ibunya. Ibunya menyembunyikan baju bajunya, hingga pernah Leila berangkat rapat hanya dengan memakai baju tidur. Saat itu, ibu menamparnya karena ia menilai tidaklah pantas perempuan keluar malam dan akan merusak reputasi Leila sendiri. Tapi sang Ayah berkata: “Jika ingin pulang ke Haifa, maka ia harus berjuang!” [hlm. 30].

Setelah mendapat restu Ayah, Leila berjuang bersama Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) salah satu fraksi kiri perjuangan kemerdekaan Palestina berhaluan keras. Leila melakukan pengorganisasian dan merekrut anggota baru, sampai kemudian mengikuti pelatihan militer termasuk bagaimana melancarkan pembajakan pesawat.

Leila dan Aksinya

Aksi pertama Leila ia lakukan bersama Salim Issawi, dari Unit Komando Che Guevara PFLP yang memaksa pesawat tujuan Athena mendarat di Damaskus. Ketika pesawat melintasi Haifa, Leila mengenangnya: “Aku hanya ingin memanggil nenekku, bibiku, semua orang yang ada di sana dan mengatakan pada mereka bahwa kami akan kembali pulang” [hlm. 50]. Leila dan Salim meminta semua penumpang dan kru turun, meledakkan moncong pesawat tanpa seorang pun terluka dengan pesan kemerdekaan untuk Palestina. Dunia menyoroti peristiwa ini dan mencari tahu siapa perempuan muda, berpenampilan elegan, yang meledakkan moncong pesawat.

Leila dan Salim mendekam di tahanan otoritas Suriah selama enam minggu dan kemudian mereka ia lepaskan. PFLP menjustifikasi bahwa aksi pembajakan peswat sebagai taktik sementara untuk mengabarkan penderitaan rakyat Palestina pada dunia, menggeser perspektif dari pengetahuan mengenai kondisi pengungsi yang menyedihkan menjadi pemahaman bahwa ini adalah masalah tanah, politik, pembebasan nasional dan pengusiran sebuah bangsa melalui kongkalikong negara-negara barat [hlm. 51]. Pemberitaan dan kepentingan keamanan Leila maupun untuk operasi PFLP selanjutnya, Leila harus menjalani enam operasi untuk mengubah wajahnya agar orang tidak mengenalinya.

Aksi kedua, adalah pembajakan pesawat dari Amsterdam, yang ia lakukan bersama Patrick Arquello, seorang Nikaragua Amerika dari gerakan Sandinista (gerakan pembebasan Nikaragua). Namun, sejak awal menaiki pesawat ada seorang penumpang yang mengenalinya sebagai Leila dan terjadi baku tembak di dalam pesawat. Aksi ini gagal, Patrick tewas dan Leila terluka dan mendekam di tahanan London. Kegagalan pembajakan kedua oleh Sarah Irving diberi judul sebagai “September Hitam” [hlm. 69-86]. Pembajakan yang dilakukan Leila atau anggota PFLP pada masa itu tidak terlepas dari belum terbangunnya sistem keamanan transportasi udara seperti saat ini.

Palestina dan Leila

Lelia ditempatkan di sebuah kantor polisi yang sengaja dikosongkan dengan pengawasan maksimum. Namun, di situ pulalah Leila mereflesikan perasaan dan pandangannya ketika petugas bertanya,”apakah Anda keberatan diperiksa dan diobati dokter Yahudi?” Leila mengingat kembali kenangannya dengan Tamara, teman kecilnya yang beragama Yahudi dan tetangga tetangga di Haifa yang menawarkan keluarganya untuk tinggal bersama mereka. Pada titik ini, Leila mampu membedakan antara Yahudi sebagai agama dan Zionis. Ke depan, ia pun menyeberangi sekat ini, mengetahui tidak sedikit orang Yahudi di Israel yang justru membela orang orang Palestina.

BACA JUGA  Dinamika Zaman dan Sisi Lain Gerakan Radikal

Leila bebas melalui program pertukaran tahanan. Leila kemudian mendapat citra sebagai perempuan revolusioner di satu sisi, namun di sisi lainnya, dunia menstigmanya sebagai teroris. Banyak yang taku padanya, sehingga tidak mendapatkan visa ke berbagai negara. Hidup dari satu tempat persembunyian ke persembunyian yang lain.

Perkawinan pertamanya gagal, karena kebijakan partai dan penugasan, membuat Leila dan suaminya hanya bertemu satu dua hari atau seizin Kameradnya. “Sudah seperti dua orang asing!” [hlm. 97].  Ketika Leila mendapat perintah untuk sembunyi dalam waktu panjang, suami enggan ikut bersembunyi. Maka selesailah perkawinan mereka.

Feminisme vs Nasionalisme

Perjuangan Leila berubah ketika kebijakan aksi pembajakan pesawat dihentikan. Salah satu alasannya karena kurangnya dukungan jaringan internasional yang mempertanyakan komitmen PFLP untuk tidak melukai warga sipil. Leila sendiri harus hidup berpindah-pindah dari satu tempat persembunyian ke persembunyian lain, termasuk tewasnya adik perempuan dan tunangannya di apartemennya yang mengguncangnya.

Leila menikah kembali dengan seorang dokter. Pada perannya sebagai isteri, ibu dan perempuan di kamp pengungsian, ia menyadari ada kebutuhan berbeda antara laki-laki dan perempuan. Termasuk peran pengasuhan anak yang menyebabkan kamerad perempuan tidak lagi aktif setelah memiliki anak atau berkeluarga. Para kamerad perempuan mengambil keputusan bahwa semua kamerad baik laki-laki maupun perempuan harus bertanggungjawab dalam pengasuhan anak [hlm. 123]. Termasuk mengatur jadwal rapat tidak sampai jam 12 malam.

PFLP selanjutnya menugaskan Leila mewakili PFLP dalam Serikat Umum Perempuan Palestina, salah satu organisasi PLO yang berfungsi menaungi semua lembaga perempuan di Palestina. Awalnya, Leila menolak, karena ia adalah prajurit dan tugasnya memegang senjata. Namun dijawab: “Kau juga perempuan, kau harus memperjuangkan hak-hak perempuan” [hlm. 130].

Melalui Serikat, tumbuh persfektif feminisnya. Leila menyadari adanya ketertidasan lain sebagai perempuan yaitu subordinasi dari laki-laki, di mana masalah akan muncul dari ayah, paman atau saudara laki-laki yang menjadi ruler dan controller perempuan, juga dalam kebijakan partai. Ada masalah seperti kekerasan terhadap perempuan, kesehatan dan pendidikan perempuan yang harus ia atasi, baik selama perang atau untuk mempersiapkan Palestina merdeka.

Melalui Serikat ini Leila mendapatkan perjumpaan ide-ide terkait seksualitas, feminisme dan solidaritas perempuan dengan gerakan perempuan di negara lain. Pertemuan dengan Felicia Langer, pengacara perempuan Israel pembela perempuan Palestina ikut merubahnya. Felicia yang mendatangi dan memeluk Leila layaknya saudari, membacakan surat-surat perempuan Palestina merubah pandangannya terkait kerjasama dengan perempuan Israel yang seide dengannya.

Palestina atau Hak Perempuan?

Di kalangan aktivis perempuan sendiri muncul perbedaan antara mendahulukan kemerdekaan Palestina ataukah hak perempuan? Terdapat kekhawatiran bahwa setelah kemerdekaan, maka hak perempuan tidak akan mendapat hormat dan pemenuhan. Benar, bahwa perempuan dan laki laki memiliki kewajiban untuk memerdekakan Palestina, namun perempuan memiliki agenda yang harus mereka perjuangkan bersama, terlebih fundamentalis agama semakin menguat, yang akan mempengaruhi seperti apa Palestina merdeka.

Hal ini misalkan merujuk pada kegagalan partai-partai besar dalam “pemaksaan pemakaian jilbab” di Gaza yang memberi sinyal bahwa pimpinan partai (laki-laki) akan rela mengorbankan hak perempuan demi aliansi politiknya. Grafiti bertebaran di Gaza agar perempuan “menutup aurat” dan memakai jilbab untuk menghormati para syuhada intifada [hlm. 175].

Buku ini juga menceritakan bagaimana perempuan yang tidak berjilbab mendapatkan kekerasan dari sesama pejuang. Dengan konteks ini kemudian saya memahami mengapa teman Palestina saya enggan memperlihatkan passportnya kepada kami. Ketika mengurus visa, ia menunjukkan passport dengan jilbab. “We should wear a hijab for this!”

Ia menjelaskan alasan perbedaan penampilannya dengan foto di identitasnya dan bagaimana perempuan mendapat tekanan. Perjuangan perempuan Palestina jelaslah berlapis, selain memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, mereka harus memperjuangkan posisi dan haknya dalam struktur sosial masyarakat Palestina yang patriarkis.

Leila sebagai ikon gerakan pembebasan Palestina dan gerakan perempuan, secara konsisten terus memperjuangkan keduanya selama limapuluh tahun hidupnya. Di masa tuanya, ia menggagas “Hak Untuk Pulang” sebagai bagian dari tawaran perdamaian dengan Israel, juga untuk membangun harapan pada rakyat Palestina. Melalui projek “When I Return” yang mengumpulkan mimpi pribadi seandainya bisa kembali, Leila menulis: “Aku akan tidur di bawah pohon jeruk selama tiga hari”.

Siti Aminah Tardi
Siti Aminah Tardi
Ketua Subkom Reformasi Hukum dan Kebijakan di Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan periode 2020-2024.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru