27.1 C
Jakarta

Kritik atas Diskriminasi Hukum dalam Konsep Negara Islam

Artikel Trending

KhazanahKritik atas Diskriminasi Hukum dalam Konsep Negara Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Belakangan ini sedang marak pembicaraan di antara sebagian umat Islam tentang urgensi negara Islam. Dalam pembicaraan tersebut, konsepsi negara Islam dibicarakan secara variatif baik dengan pendekatan melakukan syariatisasi peraturan daerah (Perda syari’ah). Negara Islam yang secara teritorial masih mengikuti konsepsi negara bangsa (nation-state), hingga tetang wacana khilafah Islamiyah ala Hizbut Tahrir Indonesia (telah dibubarkan pemerintahan Presiden Jokowi). Yang konsepsinya berskala internasional, yakni kekhilafahan internasional.

Dari berbagai pembicaraan perihal wacana maupun konsepsi negara Islam (dengan berbagai variasinya) tersebut memiliki problem besar terkait dengan posisi hukum dalam konsep negara Islam. Adapun problem yang perlu dikritisi tersebut berupa watak diskriminatifnya hukum dalam konsep negara Islam, dan potensial meningkatkan intoleransi, serta paham radikal.

Status hukum yang berlandaskan konsep negara Islam mendasarkan segala sumber hukum negara hanya berdasar satu sumber hukum saja (berdasar ajaran Islam), maka ia secara langsung juga akan memaksakan satu sumber tersebut untuk diterapkan kepada masyarakat yang secara identitas dan kelompok sangat beragam dan banyak.

Kedudukan Manusia dalam Hukum

Dalam hukum modern yang berlatar dari tradisi Romawi (roman empire) dan secara evolutif mengakomodasi perihal hak asasi manusia (HAM) memiliki adagium yang terkenal “equality before the law”, yakni setara dihadapan hukum. Nah, dalam konsepsi hukum dalam negara Islam adagium kesetaran itu tak terjadi. Semua orang akan dikenakan hukum berdasar satu sumber saja, yakni ajaran Islam.

Misalnya saja begini, dalam ajaran Islam yang kemudian menjadi sumber hukum dalam negara Islam ada perintah untuk setiap wanita wajib menggunakan hijab (tentu ini masih diperdebatkan oleh para ulama’). Misalnya perihal hukum kewajiban menggunakan hijab tersebut oleh hukum negara Islam dikenakan kepada seluruh warga negara karena hukum berlaku mengikat semuanya. Maka, apakah kewajiban itu tidak mendiskriminasi bagi kalangan Nasrani ataupun agama-agama maupun kepercayaan lain?

Nah, problem diskriminasi inilah yang secara intrinsik diidap oleh konsepsi hukum dalam negara Islam. Hukum yang diskriminatif tersebut bakalan bertentangan dengan perintah lain dalam Alquran yang mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (masuk Islam) dan juga bertentangan dengan spirit Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.

Kemudian, problem lain yang mengidap dalam konsepsi hukum dalam negara Islam adalah perihal status kewenangan melakukan penjatuhan hukum yang sebetulnya adalah domain dari Allah Swt. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam esainya “Islam: Pengertian sebuah Penafsiran” mengatakan bahwa dalam Islam ada ajaran yang berbunyi “yushîbu wa yu ‘âdzibu man yasyâ”, yang artinya “memberikan pahala dan menurunkan dosa adalah sifat Allah.”

BACA JUGA  Mensterilkan Generasi Muda dari Jeratan Paham Radikal

Melalui nukilan tersebut, Gus Dur ingin mengetengahkan pemahaman bahwa dalam Islam sendiri yang memiliki hak penuh (kewenangan) untuk menentukan dan memberikan hukuman pahala dan dosa kepada hambanya hanya Allah Swt semata. Dari situ apakah domain prerogatif Allah tersebut dapat diturunkan kepada penegak hukum duniawi dalam negara Islam?

Diskriminasi Negara Islam

Secara mendasar lagi juga perlu dipertanyakan bahwa jika pun ada warga negara yang melanggar hukum di negara yang hukumnya berdasarkan ajaran Islam (negara Islam), apakah ia ketika diberikan hukuman di dunia lantas di akhirat ia akan otomatis selamat?

Gus Dur secara tajam mempertanyakan demikian “dapatkah negara atas nama Allah memberikan hukuman sebagai bagian dari siksa di dunia?”. Kemudian Gus Dur juga melanjutkan “sudahkah manusia terbebas dari siksa neraka, jikalau ia telah menjalani hukuman negara?” Persoalan dosa orang lain semata-mata membuat segelintir umat Islam resah. Khususnya bagi kalangan muslim ekstrem yang menganut radikalisme, pemahaman ini mudah membuka peluang generasi teroris.

Problem mendasar yang dialami oleh hukum dalam konsepsi negara Islam tersebut bertentangan dengan dengan salah satu hadist Nabi “hendaknya hakim jangan menjatuhkan hukuman mati jika ia ragu-ragu, benarkah si terdakwa nyata-nyata bersalah.” Mengacu pada hadist tersebut menampakkan bahwa hukum duniawi termasuk hukum dalam negara Islam memiliki batasan. Ia tidak memiliki kewenangan mutlak sepeti Allah Swt.

Dengan demikian, sebagaimana telah dibahas di atas bahwa secara mendasar konsepsi hukum dalam negara Islam memiliki problem diskriminatif dan sekaligus krisis legitimasi teologis untuk menjalankan kewenangan yang sebetulnya itu adalah domain mutlak dari Allah Swt. Maka dari itu, konsepsi negara Islam (dengan hukumnya) tak dapat serta merta merasa paling benar sendiri hingga memonopoli ia adalah wajah Islam yang susungguhnya. Demikian itu hanyalah arogansi semata. Wallahua’lam.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru