Harakatuna.com. Jakarta-Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak pemerintah merevisi rancangan peraturan presiden tentang pelibatan TNI menangani teroris. Wakil Koordinator KontraS Malik Ferry Kusuma menyebut aturan itu melampaui tugas pokok TNI.
“Rancangan perpres ini bertentangan dengan aturan hukum dan bisa merusak sistem peradilan pidana di Indonesia, mengingat TNI tidak tunduk pada peradilan umum,” kata Malik, melalui keterangan tertulis, Senin, 8 Juni 2020.
Ia mencontohkan, rancangan perpres tersebut tidak mengatur kapan, di mana, dalam waktu apa, serta kondisi seperti apa TNI bisa dilibatkan dalam penanganan terorisme. Sepengetahuannya, belum ada situasi yang mendesak hingga harus melibatkan TNI dalam menangani terorisme.
Menurutnya, sifat perbantuan paling tepat ketika melibatkan TNI. Malik sepakat terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan masuk kategori kejahatan luar Biasa. Tapi, pola pendekatannya jangan sampai berimplikasi pada pelanggaran hak asasi manusia.
“Di sini poin penting kita untuk mengingatkan bahwa rancangan perpres ini tidak tepat. Itu merusak sektor reformasi keamanan, khususnya TNI,” kata dia.
Rancangan perpres ini sudah diserahkan pemerintah ke DPR pada 4 Mei lalu. Selanjutnya, DPR akan memberikan pertimbangan merujuk aturan di atasnya, yakni UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Setelah itu, baru diputuskan apakah perpres diterima, ditolak, atau dikembalikan.
Sejak rancangan perpres itu diserahkan ke DPR, gelombang penolakan terus disuarakan. Sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat bahkan membuat ‘petisi bersama masyarakat sipil menolak rancangan perpres’.