28.4 C
Jakarta

Konstelasi Moderatisme ala NU

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuKonstelasi Moderatisme ala NU
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: NU, Moderatisme, dan Pluralisme Konstelasi Dinamis Keagamaan Kemasyarakatan dan Kebangsaan, Penulis: Prof. Dr. H. Faisal Ismail, M.A, Jumlah Halaman: 460 Halaman, Tahun Terbit: Februari 2020, Penerbit: IRCiSOD. Peresensi: M Nur Faizi.

Gerakan pemerataan Islam yang muncul sejak akhir 1980-an membuat Indonesia keteteran. Terjadi perubahan yang luar biasa dalam pola pemikiran masyarakatnya. Jika pada pimpinan Soeharto masyarakat menjadi sekuler, maka setelah masa itu, masyarakat mulai memunculkan gejolak yang luar biasa pada agama Islam.

Dalam situasi seperti ini, gerakan Islam yang toleran justru mengalami pelemahan. Justru yang mendominasi gerakan pemerataan Islam adalah kelompok Islam baru. Para mahasiswa yang berada di posisi umum, lebih tertarik kepada kelompok Tarbiyah ataupun Salafi, dibandingkan bergabung bersama kelompok lama yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah.

Pada prosesnya, organisasi seperti NU dan Muhammadiyah hanya membangun gerakan-gerakan ke dalam bukan ke luar. Mereka lebih fokus pada pendidikan warganya daripada memperluas jaringan keanggotaan. Pergerakan yang paling nampak dari NU adalah semasa KH. Abdurrahman Wahid. Saat itu NU mengalami transformasi intelektual yang mungkin sulit dikalahkan oleh organisasi manapun.

Melalui pondok-pondok pesantren, NU berupaya mewariskan jendela keilmuannya kepada masyarakat. Dari sana mereka dapat mencetak kader-kader unggul yang fasih dalam beragama. Kemudian dari sana juga NU bisa membentengi moral umat beragama untuk selalu berbuat adil, benar, melaksanakan kebaikan, dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar).

Dengan adanya pondok pesantren, diharapkan slogan-slogan yang biasanya hanya dijadikan motivasi untuk melakukan perubahan, bisa secepatnya dilakukan. Biasanya para kiyai memberikan contoh secara langsung tentang tata cara berperilaku dan bersikap di dalam masyarakat. Tidak sekadar menjadi pengetahuan saja, namun para santri dilatih untuk senantiasa membiasakan dan pada akhirnya muncul tabiat baik dari santri itu sendiri.

Kata ulama yang merupakan jama’ dari kata alim yang berarti orang yang berpengaetahuan, berilmu, saintis, sarjana, pakar, atau ahli dalam bidang ilmu agama Islam. Predikat ini diberikan kepada seseorang yang benar-benar menguasai suatu bidang tertentu dalam kajian ilmu-ilmu agama Islam [hlm. 15]. Sehingga dari para ulama inilah, metode-metode pembelajaran dapat tersampaikan secara sempurna. Terlebih menjadi pijakan saat mereka mengarungi kehidupan di masyarakat.

Meskipun sama-sama bergerak dalam bidang keagamaan, pergerakan yang dilakukan oleh Muhammadiyah lebih difokuskan kepada kelembagaan. Sekolah dan universitas dibangun, begitu pula dengan rumah sakit dan panti asuhan, semuanya menjadi basis pergerakan mereka.

BACA JUGA  Mengoreksi Kaum Jihadis dalam Memahami Hadis

Di masa Soeharto, rata-rata warga Muhammadiyah adalah pegawai dan pedagang. Yang pada akhirnya fokus mereka lebih diarahkan pada wilayah pembangunan [hlm. 75]. Warga Muhammadiyah yang tergolong mampu dalam pemenuhan harta, menjadi nilai lebih dalam upaya pembangunan. Sehingga pembangunan yang terjadi terasa begitu cepat.

Pada masa itu, Muhammadiyah sulit mengambil posisi sebagai oposisi. Karena keberadaan masyarakatnya yang kebanyakan sebagai pegawai dan pedagang, maka ada beberapa peraturan yang harus ditaati. Namun begitu, laju pembangunan yang mereka terapkan, bisa menggeser Islam ke arah kecemerlangan. Dan hingga saat ini, pembangunan-pembangunan yang sejak dulu dijalankan berkembang semakin pesat.

Memang pada kenyataannya, gerakan organisasi Islam lama kurang mengantisipasi gerakan-gerakan Islamisme baru. Mereka fokus pada pembangunan organisasi dari dalam, dan lupa menyambut apa yang ada di luar. Sehingga ketika antusiasme masyarakat meningkat terhadap keagamaan, kelompok-kelompok radikal mengambil keuntungan dengan perekrutan masal.

Terlebih lagi penduduk-penduduk kota yang dianggap kurang memahami agama. Mereka yang sejatinya bosan dengan prinsip kapitalisme dan persaingan, mulai meminggirkan diri dan berfokus pada kebutuhan rohaniah yang bisa menenangkan jiwa. Namun yang menjadi bencana, mereka mendatangi ulama-ulama yang menjadikan emosi mereka berkobar. Sehingga oase kebosanan mereka disalurkan dengan istilah jihad yang mengusung nilai-nilai kemarahan.

Kelompok jihadis mulai memprakarsai dirinya dengan doktrin Islam terancam. Mereka memainkan episode-episode penyebaran agama dengan dalih Islam telah dipermainkan sejumlah pihak [hlm. 45]. Harus ada perubahan secara cepat, dan itu hanya bisa dicapai melalui perang fisik. Doktrin-doktrin itu semakin menggema ketika bentrok antar agama terjadi di sejumlah negara. Minoritas menindas yang mayoritas, dan kasus tersebut secara hampir secara merata terjadi di seluruh dunia.

Sejatinya cita-cita mereka yang ingin memajukan agama Islam ke pentas dunia tidak salah. Akan tetapi cara kekerasan yang mereka gunakan dalam proses penemuan tujuan itu yang tidak bisa dianggap benar. Tindakan kekerasan yang mereka jalankan, sejatinya hanya memancing kekerasan di tempat berbeda. Jika disini umat beragama lain tertindas, maka dari negara lainnya umat beragama Islam mengalami penindasan serupa.

Inilah yang menjadi tugas bersama untuk membangun wahana perjuangan yang efektif. Negara selaku pengambil keputusan menjadi tumpuan tertinggi dalam upaya deradikalisasi. Sedangkan organisasi-organisasi Islam lama memiliki andil besar dalam upaya membangun dakwah rahmatan lil ‘alamin. Menata seluruh lapisan masyarakat untuk berlaku baik dan memiliki moral yang sepantasnya.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru