29.1 C
Jakarta
Array

Konsep Wahyu: Basis Interpretasi Al-Qur’an Abdullah Saeed

Artikel Trending

Konsep Wahyu: Basis Interpretasi Al-Qur'an Abdullah Saeed
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Abdullah Saeed dikenal sebagai tokoh pemikir Islam kontemporer yang memiliki ketertarikan pada bidang tafsir al-Qur’an. Sebagai bentuk konstribusi dalam bidang ini, ia pun mencoba menawarkan sebuah pendekatan baru untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Model pendekatan tafsir yang dimaksud yakni interpretasi kontekstual al-Qur’an.

Sebelum mendalami model interpretasi yang dibangun oleh Saeed, kita perlu memahami bagaimana ia mendeskripsikan konsep wahyu terlebih dahulu. Hal ini penting karena konsep wahyu menjadi basis dari pemikirannya tentang interpretasi kontekstual al-Qur’an. Ia pun menegaskan bahwa usaha menafsirkan al-Qur’an harus bermula dari pemahaman tentang konsep wahyu secara komprehensif. Dengan begitu, mufasir akan mampu memahami konteks sosio-historis di mana ayat  al-Qur’an turun.

Dalam menguraikan konsep wahyu, Saeed memposisikan Nabi Muhammad dan masyarakat Arab masa itu sebagai subyek pertama yang menerima wahyu di muka bumi sekaligus sebagai pemberi makna pertama terhadap al-Quran yang berimplikasi pada penafsiran. Hal ini berbeda dengan pandangan ulama-ulama atau para penafsir klasik yang tidak menaruh perhatiannya terhadap peran Nabi dan masyarakat dalam proses pewahyuan.

Sebagaimana konsep wahyu yang diyakini oleh Farid Esack, Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, dan tokoh kontemporer lainnya, Saeed beranggapan bahwa Nabi Muhammad  berperan aktif  dalam proses pewahyuan al-Qur’an. Hal ini bukan berarti menganggap bahwa wahyu al-Qur’an itu berasal dari perkataan Nabi Muhammad sehingga al-Qur’an tidak dapat dianggap sakral. Namun yang dimaksud adalah bahwa Nabi berperan sebagai penyampai Firman yang dibawa oleh malaikat kepada masyarakat Arab di sekitarnya.

Abdullah Saeed mendukung pemikiran Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa terdapat hubungan erat antara wahyu, Nabi Muhammad, dan misi dakwahnya dengan konteks sosio-historis saat wahyu al-Qur’an turun. Tidak ada yang dapat menafikkan peran Nabi dalam pewahyuan karena keterhubungan antara konteks sosial masyarakat saat itu dan sejarahnya berimplikasi pada penafsiran al-Qur’an. 

Sebagai basis interpretasi kontekstualnya, konsep wahyu yang dibangun oleh Abdullah Saeed tampaknya banyak dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Fazlur Rahman. Namun, Gagasan utama yang paling menarik hati Saeed adalah pada sisi psikologis dan historis turunnya wahyu. Al-Quran turun ke muka bumi di tengah-tengah masyarakat yang berbudayaan dan dari sanalah al-Qur’an memiliki keterlibatan sejarah.

Bila melihat dukungan Abdullah Saeed kepada Fazlur Rahman, maka kita mungkin menyimpulkan bahwa pemikiran Saeed hanya mengekor pada Rahman. Padahal nyatanya Saeed juga memiliki kritik atas pemikiran Rahman dalam beberapa hal. Salah satu bentuk ketidaksetujuan Saeed adalah mengenai gagasan keikutsertaan elemen manusia pada penciptaan al-Qur’an. Ia berpedapat bahwa al-Quran benar-benar murni berasal dari Tuhan, namun untuk dapat dipahami manusia al-Qur’an harus menyentuh sisi-sisi kemanusiaan dari yang menerimanya (masyarakat Arab).

Dalam konsep wahyu milik Saeed, al-Qur’an melalui empat level proses pewahyuan. Level pertama dimulai saat wahyu masih berada di alam ghaib. Pada level ini, Allah mewahyukan al-Qur’an ke dalam al-lauh al-mahfuzh, selanjutnya wahyu dibawa ke langit dunia dan diserahkan kepada malaikat penyampai wahyu yang lebih familiar kita sebut dengan nama malaikat Jibril. Selama proses penyampaian wahyu, sebagaimana pesan rahasia, Allah menggunakan bahasa/kode-kode yang hanya dapat dimengerti oleh malaikat Jibril.

Pada level kedua, wahyu yang dibawa oleh malaikat Jibril disampikan kepada Nabi Muhammad saw dengan cara menetapkan wahyu ke dalam hati Nabi dan kemudian diserap menjadi bentuk yang dapat dipahami oleh Manusia. Ketika proses pewahyuan dari Jibril kepada Muhammad, sebagaimana pada level pertama, bahasa hanya dipahami oleh penyampai dan penerima. Setelah wahyu diberikan kepada Nabi, beliau menyampaikan kepada masyarakat di sekelilingnya dalam bentuk oral berbahasa Arab yang mana bahasa tersebut merupakan bahasa yang dipahami.

Di saat Nabi menyampaikan risalah yang diterimamya, maka secara langsung itu pula al-Quran berperan menyejarah. Al-Quran terikat pada berbagai bentuk persoalan dan permasalahan di sekitar Nabi Muhammad juga berinteraksi dengan norma-norma, adat-istiadat, dan sistem masyarakat pada masa itu. Ia menjadi solusi dari kesulitan-kesulitan umat, juga menjadi peringatan atas tindakan-tindakan masyarakat yang menyimpang.

Di level ketiga, proses pewahyuan telah menjadi salah satu bagian hidup terpenting bagi masyarakat Islam. Wahyu al-Qur’an menjadi teks yang bersifat oral maupun tulisan yang dijelaskan, diajarkan, dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat muslim. Al-Qur’an menjadi bagaian hidup yang membentuk realitas akibat dan aktualisasi pewahyuan.

Pada level keempat, terdapat dua dimensi pewahyuan. Pertama, proses transmisi wahyu dari generasi ke generasi yang bersumber dari pemahaman wahyu yang dipraktikan dalam kehidupan Nabi Muhammad dan masyarakat Islam pada saat itu. Kedua, petunjuk ilahiyah atau berupa sebuah ilham yang diberikan kepada mereka yang sadar akan kehadiran Tuhan dan mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an dalam kesehariannya.

Dari pemahaman empat level pewahyuan tersebut maka kita dapat mengerti bagaimana dan ke mana nantinya arah penafsiran kontekstual al-Qur’an yang akan dibangun oleh Abdullah Saeed. Ia berupaya untuk menyadarkan setiap orang bahwa untuk memahami al-Quran yang pertama-tama harus dimengerti adalah Nabi memiliki peran aktif menyampaikan wahyu dan memberi pemahaman kepada masyarakat Arab saat itu, dan masyarakat juga memiliki pemahaman tentang wahyu dengan dilandasi sosio-kultural mereka.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru