29.5 C
Jakarta

Konfrontasi Kepentingan dan Konsensus Perdamaian dalam Pilkada 2024

Artikel Trending

KhazanahPerspektifKonfrontasi Kepentingan dan Konsensus Perdamaian dalam Pilkada 2024
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Teringat dengan salah satu scene dialog di film Gundala (2019), teman security Sancaka bilang begini, “Sepanjang hidup saya, hal yang tidak pernah bisa bertahan lama adalah perdamaian.” Saya jadi berpikir ada benarnya, bahwa memang perdamaian tidak pernah bisa langgeng. Hidup yang sungguh dinamis ini selalu menciptakan konfrontasi yang membuat makhluk bernama “perdamaian” itu tidak bisa betah hidup lama.

Apalagi saat momen-momen pemilu, seperti menjelang Pilkada 2024 ini. Melanjutkan tulisan saya yang sudah dimuat beberapa waktu lalu, terkait bahaya politisasi agama menjelang momen Pilkada 2024. Munculnya politisasi agama, dengan menggunakan sentimen agama, sebagai sebuah jalan praktis demi pemenuhan dahaga kekuasaan adalah sesuatu yang mengkhawatirkan, dan mesti diantisipasi.

Sebenarnya, dalam setiap aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan beragama, selalu memiliki keterhubungan dengan politik, apapun jenisnya. Hanya saja, keberadaan agama yang seharusnya memperkuat hubungan antarmanusia meskipun memiliki pilihan (iman dan yang lainnya) yang berbeda, justru diberlakukan sebaliknya.

Kenyataannya justru banyak aktor politik dan agama yang malah memanfaatkan dan merendahkan peran suci agama demi tujuan “politik praktis”. Saya rasa tidak ada elaborasi yang cukup baik untuk mendefinisikan maksud dari terminologi “politik praktis”. Makna “politik praktis” selalu menciptakan nuansa yang ugal-ugalan dan sibuk dalam mencari jalan pintas untuk tujuan kekuasaan yang cepat.

Di Indonesia, afiliasi organisasi keagamaan memiliki pengaruh signifikan terhadap keputusan politik masyarakat. Kita perlu merefleksikan diri kembali pada sebuah survei yang dilakukan oleh Tim tirto.id pada 23 Agustus 2023 lalu. Dengan melibatkan 1.500 responden berusia 17 tahun ke atas, survei tersebut menunjukkan bahwa 40,40 persen responden terlibat dalam satu atau lebih organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan lainnya.

Dan, ketika ditanya mengenai pentingnya afiliasi organisasi keagamaan dari calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Pemilu 2024, ada 33,17 persen responden menganggapnya penting, 28,38 persen menganggapnya sangat penting, dan 26,90 persen menganggapnya cukup penting. Hanya 11,65 persen yang menilai aspek ini tidak penting atau sangat tidak penting. Artinya, lebih dari 88 persen responden survei menilai afiliasi organisasi keagamaan penting dalam memilih kandidat capres-cawapres. Hal yang sama saya kira ketika survei dilakukan untuk para calon kandidat di Pilkada 2024 ini nanti.

Otoritas Kepentingan dalam Diskursus Politisasi Agama

Tak heran, penggunaan politisasi agama untuk mendapatkan dukungan suara merupakan bentuk mobilisasi agama dalam masyarakat yang sangat strategis untuk dilakukan. Politisasi agama ini sering kali dilakukan oleh aktor politik dengan memanfaatkan simbol-simbol agama, dukungan dari tokoh agama, dan retorika keagamaan. Langkah ini dianggap praktis dan murah karena sentimen keagamaan dapat dengan cepat membangkitkan emosi dan simpati dari pemilih yang memiliki afiliasi keagamaan yang kuat.

Dalam konteks akademis, mobilisasi agama semacam itu dapat kita pahami bersama melalui konsep identitas kolektif (sosial). Mobilisasi politik (agama) akan selalu mengacu pada upaya untuk menggalang dukungan massa melalui penggunaan berbagai identitas sosial, termasuk identitas agama. Identitas kolektif, seperti identitas keagamaan, dapat dimobilisasi untuk menciptakan rasa persatuan dan tujuan bersama di antara pemilih.

Menurut teori identitas sosial misalnya, seorang individu sering kali akan mengembangkan rasa kepemilikan dan harga dirinya melalui keanggotaan dalam kelompok agama tertentu. Dalam interaksi antarkelompok, ada kecenderungan untuk melihat anggota kelompok agama luar sebagai ancaman terhadap identitas dan kohesi kelompok agamanya. Sehingga ini akan membuat munculnya semacam upaya untuk berebut otoritas kepentingan dalam hal keagamaan.

Hal tersebut terjadi karena dari perspektif kohesi dan identitas sosial, keyakinan kuat bahwa mereka merasa telah mempraktikkan nilai keagamaan dengan benar, sehingga itu sekaligus membuat mereka merasa terancam oleh pandangan keagamaan yang berbeda. Rasa ancaman ini mendorong kelompok tersebut untuk “menertibkan” individu yang berbeda atau tidak mengikuti pandangan keagamaan yang sama dengan mereka.

BACA JUGA  Dari Indonesia Emas ke Indonesia Cemas: Ancaman Radikalisme Wahabi dan Khilafah

Dalam ranah diskursus praktis, kita bisa memahami, bahwa kita memang selalu berpartisipasi, melibatkan diri dalam ranah politik dengan membawa kepentingan dan kebutuhan pribadi, serta berharap bahwa konsensus yang tercapai akan memenuhi kepentingan atau kebutuhan tersebut. Akan tetapi, menurut pandangan Habermas, kepentingan bukanlah hal yang statis atau terisolasi dari kepentingan lainnya. Kepentingan itu terbentuk melalui interaksi antarindividu.

Artinya, kepentingan bukanlah sesuatu yang statis atau terisolir, melainkan terbentuk melalui kontak intersubyektif (interaksi antar individu). Tidak dapat dihindari memang bahwa para peserta diskursus akan selalu membawa kepentingannya masing-masing, yang mungkin berbenturan dengan kepentingan orang lain. Dan, menurut Habermas, justru melalui konfrontasi (dalam hal agama, misalnya) semacam itulah kepentingan bersama akan terbentuk dan menjadi konsensus.

Urgensi Kampanye #PemiluDamai di Indonesia

Apa yang dilakukan di Papua, ketika diselenggarakan acara tabligh akbar yang dihadiri oleh seluruh pemuka agama dan para pemeluk lainnya dengan pesan pemilu damai menjelang Pilkada 2024 adalah urgensi yang mesti terus kita lakukan. Di situ, para tokoh agama mengajak seluruh masyarakat Papua untuk tetap bersatu dan menjaga kedamaian meski berbeda pilihan dalam Pilkada 2024.

Seperti pesan yang disampaikan oleh Pastor Jhon Bunay demikian, “… masyarakat Papua (harus) tetap bersatu dan tidak boleh tercerai berai hanya karena beda pilihan dalam memilih pemimpin baik gubernur, walikota maupun bupati 5 tahun kedepan.” Pesan itu disampaikan saat malam puncak Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang digelar Polda Papua dalam rangka Pilkada Damai 2024, di Istora Papua Bangkit, Jayapura, Papua (28/6), dikutip dari Koreri.

Papua adalah Indonesia. Dan, pesan Pastor Jhon Bunay adalah pesan untuk kita semua, masyarakat Indonesia dimanapun kita berada. Terlepas dari soal romantisme apapun tujuannya. Mengingat pesan Ketua FKUB Provinsi Papua, Pdt. Lipiyus Biniluk di forum yang sama, bahwa atensi pemilukada kali ini lebih berbeda dengan Pileg/Pilpres kemarin, karena tingkat kerawanannya lebih tinggi. Ada potensi terjadi konflik dalam masyarakat lebih besar. Hashtag “pemilu damai” sangat penting dan harus direalisasikan untuk menciptakan pemilu yang benar-benar damai dan demokratis di Indonesia, terutama menjelang Pilkada 2024.

Bahaya laten sentimen agama yang digunakan untuk mempolarisasi pemilih dapat merusak integritas dan kestabilan politik. Sebagai contoh, politisasi agama sering kali melibatkan penggunaan retorika yang memecah belah, seperti pengalaman yang pernah terjadi di Indonesia, ada yang menuduh lawan politik sebagai “cebong”, “kadrun”, bahkan sampai “kafir” atau “murtad”. Jelas itu bisa membangkitkan emosi negatif dan menimbulkan ketegangan sosial yang berbahaya bagi kesatuan dan kedamaian NKRI.

Kita mesti menyadari dan mewanti-wanti, dalam konteks Pilkada 2024, potensi kerusuhan dan perpecahan bisa lebih tinggi jika isu-isu agama terus dieksploitasi. Upaya seperti yang dilakukan di Papua, di mana masyarakat dan pemerintah menggelar acara untuk mempromosikan pemilu damai, adalah contoh langkah proaktif yang perlu diikuti di seluruh Indonesia​​. Kampanye “pemilu damai” harus mengedepankan pesan-pesan tentang pentingnya toleransi, menghormati perbedaan pilihan, dan menolak segala bentuk kekerasan atau provokasi yang bisa memecah belah masyarakat.

Maka dari itu, implementasi hashtag “pemilu damai” harus melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah, penyelenggara pemilu, organisasi masyarakat, media, dan tokoh agama. Yakni, kita semua. Keberadaan media sosial juga harus kita gunakan untuk menyebarkan pesan damai dan mencegah penyebaran hoaks atau ujaran kebencian yang sering kali menjadi pemicu konflik pada momen-momen Pilkada semacam ini.

Dengan mempromosikan dan merealisasikan pemilu damai, kita semua berharap Indonesia dapat menjaga stabilitas sosial dan politiknya, memastikan proses demokrasi berjalan dengan baik, dan memberikan contoh positif tentang bagaimana masyarakat yang beragam bisa menjalani pemilu dengan penuh kedamaian dan toleransi​. Mungkin memang benar bahwa kedamaian tidak akan pernah langgeng, tapi perjuangan kita bersama demi kedamaian akan selalu langgeng.

Ahmad Miftahudin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari
Peminat kajian filsafat, kebudayaan dan sosiologi. Aktif di komunitas Dianoia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru