26.7 C
Jakarta

Kita Butuh Mubalig Moderat Bukan yang Ekstremis

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanKita Butuh Mubalig Moderat Bukan yang Ekstremis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Keislaman seseorang sesungguhnya tidak murni Islam yang dimaksud Tuhan. Seandainya seseorang memaksakan diri mempelajari Islam yang dimaksud-Nya, tentu sangatlah mustahil, karena manusia tidak dapat berkomunikasi langsung dengan Dzat Tuhan yang metafisik. Karenanya, keislaman seseorang hanyalah Islam perspektif yang diterima dari sekian mubalig yang dipilihnya. Islam perspektif ini tentunya tidak murni, melainkan produk penafsiran terhadap pesan-pesan Tuhan yang disampaikan dalam Al-Qur’an.

Sebagai penafsir pesan Tuhan, mubalig memiliki peran yang sangat penting, sehingga pesan itu benar-benar sampai dan menggugah hati para pendengar. Peran penting yang dimaksud adalah masa depan keislaman para pendengarnya. Sungguh beruntung, orang yang belajar dan mendengarkan dakwah mubalig yang membawa pesan Islam pada ranah perdamaian. Sebaliknya, sungguh sangat disayangkan, orang yang belajar Islam kepada mubalig yang menyampaikan pesan Islam yang penuh dengan kebencian.

Saking pentingnya mencari mubalig, az-Zarnuji dalam bukunya, Ta’lim Muta’allim berpesan, sebaiknya para pelajar mencari guru/mubalig dengan penuh kehati-hatian. Paling tidak, pelajar melihat track record sang mubalig, sehingga tumbuh di dalam lubuk hatinya pilihan yang benar. Lalu, mubalig yang mana yang dapat dijadikan teladan dalam belajar Islam?

Mubalig sesungguhnya saling berkaitan dengan da’i, sekalipun dua status tersebut diambil dari akar kata yang berbeda. Mubalig dengan akar katanya ballagha memiliki arti penyampai, sementara da’i dengan akar katanya da’a berarti pembujuk. Seseorang disebut mubalig, karena dia menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada orang lain. Seseorang disebut da’i, karena dia membujuk orang lain untuk bertakwa dengan cara melaksanakan segala pesan-pesan yang Tuhan perintahkan.

Standar mubalig yang baik adalah berpegang teguh pada sikap moderat (wasathiyyah). Sikap moderat, sebut Prof. Nasaruddin Umar, dibuktikan dengan cara berpikir yang tidak fanatik, sehingga selain membenarkan pandangannya sendiri, juga membenarkan pandangan orang lain. Saya pikir, sikap moderat ini penting karena dapat menghormati perbedaan, sehingga tidak selamanya kebenaran itu berpihak pada diri sendiri dan tidak selamanya kesalahan itu berada pada orang lain.

Mubalig yang moderat selalu memperkenalkan Islam bukan sebagai agama kekerasan yang membenarkan terorisme dan bukan sebagai agama paksaan yang gemar mengkafirkan orang lain. Mubalig yang moderat selalu memperkenal Islam yang ramah sebanding dengan sifat Tuhan “ar-Rahim” yang berarti Yang Maha Penyayang dan Islam yang cinta perdamaian seakar dengan kata “salam” yang berarti kesejahteraan. Selain itu, mubalig yang moderat tidak gemar menggiring isu politik pada ranah agama. Mubalig ini selalu bersikap arif melihat agama dan politik sebagai isu yang berbeda.

BACA JUGA  Ciri-ciri Calon Pemimpin yang Layak Dipilih pada Pilpres Tahun Ini

Mubalig yang menegakkan nilai-nilai moderasi di Indonesia, di antaranya, KH. Abdurrahman Wahid (akrab disapa Gus Dur), KH. Mustafa Bisri (akrab disebut Gus Mus), Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA, Dr. Husein Muhammad, dan beberapa mubalig yang lain. Sekian mubalig tersebut telah banyak mengabdikan hidupnya untuk masa depan Indonesia. Islam disampaikan oleh mereka penuh dengan cinta dan canda. Mereka tidak memperlihatkan Islam yang kalap dan gemar marah-marah, namun memperkenalkan Islam yang karib dan santun. Karena, Islam yang karib merupakan bentuk dari cara Nabi Muhammad Saw. mempraktekkan dan menyampaikan Islam. Islam Nabi Saw. bukan Islam perang, karena perang sesungguhnya bukan tujuan dakwah beliau, tapi perang hanyalah sebagai cara menyelamatkan diri dari serangan orang musyrik.

Mengikuti dakwah Islam yang ekstremis akan berujung pada kefatalan. Telah banyak orang muslim menjadi korban dan alam semesta menjadi rusak karena tindakan terorisme. Begitu pula, telah banyak sesama muslim yang bersudara terpecah karena Islam ekstremis yang menggiring isu politik pada ranah agama. Sebut saja, aksi 212 di Monas Jakarta yang digerakkan oleh ormas ekstremis Front Pembela Islam (FPI). Bahkan, persaudaraan antar agama banyak yang terpecah karena tuduhan terhadap Ahok sebagai penista agama, sehingga muncullah narasi ekstremis, bahwa haram memilih pemimpin non-muslim.

Melihat sikap mubalig yang berbeda tersebut, maka penting kehati-hatian dalam memilih mubalig. Tentu, hanya mubalig yang moderat yang dapat dijadikan teladan dan pesan-pesan yang disampaikannya dapat dijadikan rujukan. Bagaimana jika semua mubalig mengaku dirinya moderat? Perhatikan, apakah mubalig itu terbuka terhadap perbedaan atau tidak.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru