26.7 C
Jakarta
Array

Khilafah dan Nahdlatul Ulama (2)

Artikel Trending

Khilafah dan Nahdlatul Ulama (2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Khilafah dan Nahdlatul Ulama (2)

Oleh: Rumail Abbas*

Pada awalnya, di sekitar tahun 1910-an, istilah radikalisme agama diperkenalkan oleh tradisi Barat khususnya dari kalangan Kristen Protestan. Dalam satu pengertian, setiap ideologi yang menjadikan pemeluknya menjadi militan, fanatik, dan berdampak negatif maka hal tersebut disebut sebagai radikalisme. Ketika militansi ini terjadi dalam lingkup agama, katakanlah ia disebut dengan radikalisme agama.

Eko Endarmoko, dalam bukunya Tesaurus Bahasa Indonesia, memiliki penjelasan menarik tentang itu: radikal adalah sinonim dari fundamental, mendasar, primer, esensial, ekstrim, fanatik, keras, militan. Jika hal ini dikaitkan dengan seseorang, maka radikal berarti ekstrimis, reaksioner, revolusioner, progresif, reformis, dan seterusnya.

Pada mulanya, radikal hanya berkeliaran di dalam tempurung kepala (ideologi) pemeluknya saja, namun akan jadi momok ketika ideologi ini memiliki wadah sosial dan menjelma dalam sebuah pergerakan yang menimbulkan keresahan, alih-alih mengganggu tatanan stabilitas yang sudah ada. Hal ini dikarenakan kuatnya keyakinan akan kebenaran ideologi yang mereka bawa, sehingga dalam benturan ideologi dengan lainnya, pada taraf paling emosional, memunculkan kekerasan.

Oleh karena itu, benar sudah hipotesa filosof asal Perancis bernama Roger Garaudy bahwa radikalisme yang awalnya hanya di kisaran agama namun akhirnya bergeser ke dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya. Dalam pada itu, dalam lingkup internasional, realitas politik standar ganda (baik di Amerika maupun negara manapun) ikut berperan dalam memicu berkembangnya radikalisme agama sampai sekarang.

Kemudian kelompok-kelompok yang menampakkan dirinya seperti karakteristik di atas dengan legitimasi Quran-Hadits secara apa adanya, seperti Ikhwanul Muslimin Indonesia (IMI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), adalah kategori kelompok radikal(isme) Islam.

Islam Radikal

Apa yang terlintas di pikiran Anda ketika membaca judul artikel semacam ini:

Nasionalisme Melemahkan Umat

Islam Menolak Demokrasi

Indonesia Merdeka Hanya Dengan Khilafah

Khilafah Justru Untuk Kebaikan Negeri 

Khilafah: Satu-Satunya Harapan 

Suatu peristiwa di tahun 1979, dimana sering disebut sebagai masa awal lahirnya radikalisme Islam, adalah ketika pemerintahan berkuasa di Iran, Syah Reza Pahlevi, berhasil digulingkan oleh apa yang dikenal sebagai Revolusi Islam Iran dan Syariat dijadikan simbol penggulingnya.

Sebelumnya, ketika “Wahabisme” kian populer, ia adalah konsep aplikatif syariat pada semua aspek, dan diantaranya adalah idiologi negara. Dengan mendirikan negara Islam, seperti kelompok Wahabi tegaskan, maka secara otomatis syariat Islam akan menjadi dasar negara, pun sistem perpolitikannya. Pada akhirnya Islam yang benar-benar kaffah akan lahir dengan sendirinya.

Setiap ‘perjuangan’ memerlukan landasan teologis. Harus diakui munculnya radikalisme Islam adalah karena lagitimasi teks-teks agama (Quran dan Hadits) yang seolah-olah “menganjurkannya”; seperti kewajiban mendirikan (Syariah Islamiah) khilafah dan sifatnya yang sangat fardlu (wajib), serta dibumbui sentimen pemeluk Kristen dan Yahudi yang harus diyakini sebagai musuh. Pemaknaan teks-teks agama semacam ini sudah barang tentu memperkenankan permusuhan meskipun harus dilalui dengan jalan kekerasan. Dan, mereka pun menganggapnya sebagai jihad.

Jihad sendiri memiliki nilai sakral sangat tinggi. Segudang nash-nash Al-Quran dan Hadits yang berbentuk perintah, himbauan, anjuran, atau setidaknya janji ‘manis’ Allah bagi mujahid (pelaku jihad), akan sangat kuat memotivasi pemeluknya untuk melakukannya.

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) lahir karena motivasi menerapkan Syariat Islam di Indonesia, melahirkan produk Piagam Yogyakarta dan kongresnya bertema Tathbiq Al-Syari’ah. Sementara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berkeinginan mendirikan imamah (khilafah) di Indonesia, sering ‘sembunyi’ di balik nama Nahdliyin (warga Nahdlatul Ulama) dan menghadirkan sejuta umatnya dalam Muktamar Khilafah di Jakarta. Kedua kelompok ini memiliki persamaan fundamental: hanya ada dua pilihan; menegakkan Syariah Islam dan Imamah, atau mati syahid di atas Jihad fi Sabilillah karena memperjuangkannya.

Dalam mendakwahkan ideologinya, satu ragam katakter dapat disimpulkan dari mereka: sering menggunakan pendekatan skripturalis, dengan melihat sejarah Islam pada zaman dahulu dimana Islam berada di era keemasan, kemudian jaman itu harus diwujudkan secara apa adanya di era sekarang. Oleh karenanya mereka mendasarkan praktik keagamannya pada orientasi masa lalu (Salafy).

Nahdlatul Ulama

Ibnu Sa’ud telah menguasai Mekkah, kemudian berencana menggelar Muktamar Khilafah yang tidak lain tujuannya adalah meneguhkan posisinya sebagai pengganti Daulah Utsmaniyah dan pusat kekuasaan Islam. Ulama sedunia diundang, termasuk Indonesia. Rencana awal, delegasi Indonesia yang akan hadir dalam Muktamar Khilafah tersebut adalah: HOS. Cokroaminoto (Sarekat Islam), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah), dan KH. A. Wahab Hasbullah. Pada akhirnya KH. Wahab Hasbullah dicoret sebagai delegasi hanya karena tidak mewakili organisasi manapun.

Bahwa di Bandung pada tahun 1926 usulan para Kyai pesantren ditolak Al-Islam, dan KH. Wahab Hasbullah dibantu Raden Asnawi (Kudus), Kyai Ridlwan (Semarang), Kyai Saleh (Pati), dan Kyai lainnya termasuk KH. Hasyim Asy’ari, mengirimkan Komite Hijaz ke Saudi. Setidaknya ada 5 (lima) materi yang ingin disampaikan komite ini di hadapan Raja Ibnu Saud: pertama, bermadzhab; kedua, ritus sejarah; ketiga, hal ihwal haji; keempat, perundang-undangan Hijaz; kelima, jawaban tertulis 4 (empat) usulan sebelumnya (komite ini tidak langsung dibubarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari sekembalinya dari Saudi, namun dirubah menjadi Jam’iyah Nahdlatul Ulama pada 16 Rajab 1344 H./31 Januari 1926 di Surabaya).

Jika lantas ada yang berasumsi komite ini (khususnya KH. Wahab Hasbullah) adalah inspirator Khilafah, dengan sendirinya sudah terbantah.

Sehari setelah Proklamasi 1945, Undang-Undang Dasar (1945) yang sifatnya sementara ditetapkan oleh panitia PPKI pada Sabtu 18 Agustus 1945. Empat tahun kemudian, konstitusi ini sempat diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dari 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950 yang sekaligus mengesahkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 seiring dirubahnya negara ini dari federal menjadi negara kesatuan kembali. Setahun setelah berlangsungnya pemilu 1955, pada 1956 Badan Konstituante tidak mampu (gagal) melahirkan Undang-Undang baru menggantikan UUDS 1950, dan akhirnya Keputusan Presiden tahun 1959 berakhir pada pembacaan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang menegaskan UUD 1945 sebagai ‘kitab suci’, fundamental law; peraturan perundang-undangan yang lain harus sesuai dan tidak boleh bertentang dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam masa Dekrit 5 Juli 1959 itu, adalah pimpinan pemerintahan dan angkatan bersenjata diletakkan di bawah kekuasaan langsung presiden Soekarno. Maka selutuh pimpinan rakyat akan diserahkan secara formal pula kepada Presiden, sesuai dengan prinsip-prinsip Demokrasi Terpimpim. Otonomi presiden pun semakin gendut, hingga pada tahun 1956 Wakil Presiden Muhammad Hatta sampai mengundurkan diri dan membiarkan Soekarno meneruskan idealismenya.

Dalam Kabinet Ali Sastro Amijoyo I (menggantikan Kabinet Wilopo) pada pertengahan 1953, NU yang mula-mula hanya mendapat 3 (tiga) kursi akhirnya mendapat jatah 4 (empat) kursi dalam kabinet tersebut; Wakil Perdana Menteri I, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agraria, dan Menteri Agama; hal yang tidak pernah dirasakan Masyumi, yang waktu itu menjadi partai oposisi.

Untuk diketahui, NU sudah lama berselisih dengan Masyumi, hingga Muktamar NU tahun 1947 di Madiun membentuk semacam biro politik NU untuk menyelesaikan konflik antara NU dengan Masyumi. Konflik ini pun berimbas pada pemilu 1955 yang dalam tubuh NU sendiri terpecah menjadi dua kubu; Pro-NU dan Pro-Masyumi.

Pada waktu itu NU, yang tergabung dalam Liga Muslimin bersama Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), beranggapan bahwa era Demokrasi Terpimpin Soekarno tidak lebih sifatnya adalah pragmatis dan realistik. Sedangkan Masyumi sendiri memiliki pendapat yang berbeda: bahwa Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah bentuk penyimpangan terhadap Agama Islam.

Ternyata Demokrasi Terpimpin ini cukup merepotkan; beberapa anggota Masyumi, bersama PSI, KH. Muhammad Dahlan (Wakil Ketua Tanfidziyah NU) dan Imron Rosjadi (GP. Anshor), malah justru bergabung dalam Liga Demokrasi. Tidak kurang, KH. Bisri Syansuri dan KH. Ahmad Shiddiq pun ikut serta dalam menolak sistem pemerintahan yang diusung Soekarno ini.

Bagaimana sikap NU sendiri? Pendapat paling representatif dalam kasus ini adalah analisa tokoh-tokoh NU seperti KH. Saidufin Zuhri (kelak di tahun 1962 menjadi Menteri Agama RI ke-9) yang mengatakan: ma la yudraku kulluhu la yutraku ba’dluhu (apa yang tidak dapat digapai sepenuhnya, tidak lantas sebagiannya itu dilepaskan). NU mendukung Demokrasi Terpimpin Soekarno, selain kaidah di atas, NU meyakini—terlepas dari segala kekurangannya—demokrasi semacam ini didasarkan oleh hikmah kebijaksanaan musyawarah.

Kemudian bagaimana dengan anggota NU seperti KH. Bisri Syansuri, KH. Muhammad Dahlan, dan Imron Rosjadi? Pada akhirnya ijtihad beliau-beliau adalah khazanah dalam tradisi NU, dan sifatnya hanya pendapat pribadi, tidak didukung Kyai-Kyai NU kebanyakan, oleh karenanya relatif sedikit.

Apakah terlintas NU memikirkan Khilafah? Sama sekali: TIDAK!

*Penulis adalah Peneliti Budaya Pesisiran, tinggal di Jepara.

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru