26.1 C
Jakarta
Array

Khilafah dan Nahdlatul Ulama (1)

Artikel Trending

Khilafah dan Nahdlatul Ulama (1)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Khilafah dan Nahdlatul Ulama (1)

Oleh: Rumail Abbas*

Melihat Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama, NU—lahir pada tahun 1926), sebenarnya tidak dapat disederhanakan dengan hanya melihatnya dari satu sudut pandang (formal) saja. Karena bagaimanapun, sebelum NU lahir sebagai organisasi massa, ia telah melebur dengan masyarakat dalam (hampir) seluruh aktifitas sosial keagamaan.

Pada abad ke-20, gerakan ‘Pembaharuan Islam’ semakin marak di Mesir, Turki, India, dan Semenanjung Arabia. “Gerakan Kembali ke Quran-Hadits”, para pakar menyebutnya. Beberapa anak Indonesia setelah belajar dari sana, kembali ke tanah air dengan membawanya. Singkatnya, gerakan itu menginginkan semua hal harus digali langsung dari sumber primer; Al-Quran dan Hadits (Al-Sunna), bukan dari pemikiran madzhab. Pada masa selanjutnya, gerakan ini disebut “modernis”.

Umat muslim Indonesia (yang waktu itu sudah mentradisikan tahlil, manaqib, mauludan, talqin, ziarah kubur, dan lain sebagainya) merasa ‘terusik’ dengan kehadiran gerakan Pembaharuan Islam yang dibawa ‘santri-santri’ jebolan Timur Tengah ini. Akhirnya muncul perselisihan, sampai-sampai Mas Mansur pun menyatakan mufarroqoh (berpisah) dari sahabatnya, KH. Wahab Hasbullah, pada tahun 1921, dan pindah ke Muhammadiyah (untuk diketahui, KH. Wahab Hasbullah dan Mas Mansur adalah aktifis Sarekat Islam, sekembalinya KH. Wahab Hasbullah ke tanah Air, dibantu Mas Mansur, beliau mendirikan Nahdlatul Wathan). Kelompok yang mentradisikan hal-hal yang ingin dihapus pembaharu-pembaharu ini selanjutnya disebut kelompok “tradisional”.

Dari tangan KH. Wahab Hasbullah ini NU lahir, dan di seluruh Indonesia berdiri pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah, memiliki pengikut yang sangat fanatik—kebanyakan dari masyarakat papa, dan bukan orang berpunya—untuk menyebarkan paham ‘tradisional’ yang berhaluan ahlu al-sunnah wa al-jama’ah; akidah merujuk Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi; dalam fiqih dengan pendekatan Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali; dalam Tasawuf mengikuti Imam Al-Junaid Al-Bahgdadi dan Imam Al-Ghazali; menetapkan 4 (empat) sumber beragama, yaitu: Al-Quran, Hadits, Ijma’, dan Qiyas.

Dan, KH. Wahab Hasbullah inilah nama Kiai NU yang pernah disinggung saudara kita di Hizbut Tahrir Indonesia sebagai inisiator konferensi Khilafah (untuk menanggapi hal ini, penulis akan menyajikannya dalam editorial tersendiri, insyaallah).

Pesantren NU dan Imam Al-Mawardi

Penulis sendiri adalah santri. Tentang konsep pemerintahan, penulis menjadi saksi langsung pesantren manapun akan merujuk—secara kurikulumnya—kepada Imam Al-Mawardi dan kitabnya Al-Ahkam Al-Shulthoniyah.

Dipanggil Al-Mawardi karena pandai berorasi, berdebat, lihai beranalisis, dan seorang yang cerdas. Pemilik nama Abu Hasan ibn Ali ibn Muhammad ini dilahirkan pada tahun 975 M. menghabiskan masa kecilnya di Baghdad. Mengaji fiqih Syafi’i dari asuhan langsung Imam Abu Al-Hamid Al-Isfiraini di masjid Abdullah Ibn Al-Mubarak di Baghdad, oleh karenanya ia bermadzhab Syafi’i, dan semasa dinasti Abbasiyah ia menjadi Hakim Agung (Qadli Al-Qudlah).

Pada waktu itu, kekhalifahan memang berada di tangan Sang Khalifah secara formal, namun pelaksana pemerintahan yang sebenarnya adalah para panglima dan pejabat tinggi negara yang sebenarnya berkebangsaan Turki dan Persia. Akhirnya muncul beberapa kelompok yang menuntut jabatan kepala negara tidak mensyaratkan dari bangsa Arab; suku Quraisy. Al-Mawardi adalah tokoh yang mempertahankan syarat itu.

Harus diakui bahwa Al-Ahkam Al-Shulthoniyah adalah karya Al-Mawardi paling prestisius, di samping kitabnya yang lain seperti Al-Iqna. Al-Ahkam Al-Shultoniyah menjadi kurikulum wajib pesantren ketika memberikan materi kepemerintahan. Ia adalah bekal paling teoritis bagi santri-santri di pesantren. Kitab ini berisi berbagai persoalan politik dan tata negara dari kaca mata Islam; dari materi pengangkatan kepala negara, menteri, gubernur, pimpinan jihad, kepolisian, kehakiman, imam shalat, pemungutan pajak, harta rampasan perang, jizyah dan kharaj, otonomi daerah, eksplorasi air, fasilitas umum, iqtha’, administrasi, sampai dengan ketentuan-ketentuan yang berbau kriminalitas.

Secara sederhana penulis dapat memberikan garis besar pemikiran Imam Mawardi dalam kitab tersebut: “bahwa tujuan pemerintahan Islam adalah melaksanakan syari’ah Islam yang bersumber pada Al-Quran dan Al-Sunnah, untuk menjaga tegaknya agama dan menangani seluruh masalah kehidupan”.

NU dan Khilafah

Apakah dengan memberikan materi Imam Al-Mawardi di pesantren-pesantren lantas NU hendak mengusung khilafah?

Pada tahun 1930, Muktamar NU di Banjarmasin menetapkan bahwa NU sama sekali tidak mensyaratkan negara Islam, karena pemerintahan Hindia Belanda sudah memberikan kelegaan pada warga muslim untuk menjalankan syariat Islam, dan oleh karenanya negara Islam tidak perlu dipermasalahkan.

Jika malah NU bersama Masyumi pada tahun 1945 mengusulkan negara Islam, hal itu tidak lebih karena Indonesia baru saja merdeka dan para pemimpin bangsa masih ‘kebingungan’: akan menjadi negara macam apa Indonesia ini? Akhirnya NU, dari wakilnya yaitu KH. Wahid Hasyim, putra KH. Hasyim Asy’ari, dalam BPUPKI menyetujui Pancasila sebagai dasar negara.

Dari tahun 1950 sampai dengan 1970 NU menjadi partai politik dalam ajang pemilihan umum. Bersama partai Islam lainnya, pada detik-detik sebelum Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Piagam Jakarta adalah tawaran dan proposal Partai NU. Akhirnya tawaran ini tidak diterima, dan Dekrit pun dibacakan Presiden Soekarno; Indonesia kembali kepada UUD 1945.

Pada tahun 1983 NU punya gawe dengan menggelar Munas Alim Ulama NU di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo yang menegaskan pemulihan Khittah NU 1926 dan menyatakan NKRI berdasarkan Pancasila adalah bentuk paling final. Pancasila adalah asas tunggal negara Indonesia, dan NU mengamini: Pancasila dan Islam memang ada relevansinya. Keputusan ini pun dipertegas lagi pada Muktamar NU ke-31 tahun 2004 di Boyolali, Solo. Hemat penulis, alasan pengukuhan kembali keputusan 1983 di tahun 2004 ini dikarenakan pada tahun 2001 beberapa simpatisan NU yang ada di PPP masih memperjuangkan negara yang berbau Piagam Jakarta, pemandangan yang berlawanan dari ‘politisi’ NU di dalam PKB dan Golkar yang tetap mempertahankan Pancasila.

Dalam satu pemikiran yang ‘nakal’, penulis menyimpulkan bahwa NU, yang dalam lembaga pesantrennya sampai sekarang masih menyuguhkan kurikulum Al-Ahkam Al-Shulthoniyah, sepertinya harus dilihat sebagai perjalanan NU yang memerlukan waktu cukup lama untuk menyadari bahwa Pancasila dan Islam bukanlah sesuatu yang bertentangan.

Jadi, apakah NU menyetujui pendirian Khilafah Islamiyah? Saya berani memastikan: TIDAK!!!

*Penulis adalah Peneliti Budaya Pesisiran, tinggal di Jepara.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru