34.3 C
Jakarta

Khilafah, Corona, dan Reotnya Peradaban

Artikel Trending

EditorialKhilafah, Corona, dan Reotnya Peradaban
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hashtag #RememberingKhilafah2020  dan #99TahunUmatislamTanpaKhilafah kembali menggema di Twitter. Pada Rabu (25/3), sebanyak 227.000 cuitan tentang #RememberingKhilafah2020 dan 80.600 cuitan tentang #99TahunUmatislamTanpaKhilafah patut membuat kepala geleng-geleng. Apa iya orang bebal, pejuang khilafah, di republik masih lebih dari 300.000 kepala? Ironi!

Pada saat yang bersamaan, republik ini dalam masa berkabung, hari demi hari. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) terus memakan banyak korban. Per Rabu (25/3), jam 16.44 WIB, 425.964 orang di dunia terinfeksi COVID-19 dan 18.957 meninggal. Pada hari yang sama, di Indonesia sendiri jumlah korban mencapai 790 orang terinfeksi, 58 orang meninggal, dan 31 orang sembuh.

Mana yang harus kita sebut musibah sebenarnya?

Indonesia menjadi ladang keluyuran para aktivis khilafah karena satu hal: ada anggapan bahwa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang sekarang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono X, berdiri atas kerja sama dengan Turki Utsmani. Orang awam kemudian dibodohi, diindoktrinasi, bahwa semenjak Utsmani runtuh pada 1924, Islam yang mulanya berjaya jadi terbelakang.

Sekuat apapun kita meluruskan bahwa pemahaman mereka salah, tetap akan nol hasilnya. Otaknya sudah bebal, itu kalau mau kita istilahkan. Bahwa dulu Islam berjaya, iya betul sekali. Tetapi bahwa mereka menerapkan yang namanya al-khilafah ‘ala manhaj an-nubuwwah, itu keliru sekali. Fatal. Tak berdasar. Ahistoris. Apakah pengetahuan mereka tak cukup berpikir ke situ?

Bukan. Kalau mau jujur, sebenarnya para punggawa pejuang khilafah itu bukan tidak paham sejarah. Yang mereka lakukan adalah memanipulasinya. Tujuannya apa? Apa lagi kalau bukan nafsu ingin berkuasa dengan cara membodohi umat Islam awam? Mungkin tidak perlu disebutkan orangnya di sini. Toh para aktornya itu-itu saja. Sampai pemerintah pun, mungkin, loyo dibuatnya.

Geliat khilafah mungkin tidak akan reda sampai kapan pun. Tetapi perlawanan kita juga tidak boleh sampai gerhana. Peradaban Indonesia, peradaban Islam ke depan, ada di tangan mereka yang benar-benar paham sejarah. Menyerahkan tanggung jawab besar ini kepada mereka yang hanya mabuk khilafah adalah upaya mereotkan peradaban itu sendiri.

Khilafah di Tengah Wabah

Detik melansir berita internasional, Kekacauan Akibat Pandemi Virus Corona Menguntungkan ISIS?, bahwa musibah COVID-19 juga dipolitisir oleh ISIS. Dalam buletin regulernya, ISIS menyebarkan propaganda bahwa COVID-19 adalah ‘siksaan menyakitkan’ dari Tuhan bagi ‘negara-negara tentara salib’. Juga bahwa Barat, disebabkan COVID-19, berada di ‘ambang bencana ekonomi besar’.

Apa yang dilakukan ISIS tersebut setali tiga uang dengan apa yang digelorakan aktivis khilafah di negeri ini. Di tengah musibah Corona, mereka masih sempat berteriak tentang khilafah. Di tengah wabah mematikan, mereka masih sampai hati berupaya memprovokasi antarumat Islam. Narasi khilafah di tengah wabah ini termasuk bukti dari goyahnya peradaban kita.

Seharusnya hari ini, di tengah musibah COVID-19, saling bahu-membahu adalah prioritas. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri melawan virus. Peran civil society adalah keniscayaan. Jika civil society justru memiliki agenda lain yang justru berpotensi memecah-belah, mungkin kematian ribuan rakyat akibat wabah tak terhindarkan.

Memperingati khilafah adalah kegiatan yang nir-faedah. Di republik ini, tidak ada ruang untuk berdirinya khilafah. Seberapa kuat pun mereka menggonggong deklarasikan diri, penentangan akan hal itu lebih kuat. Kecuali untuk berbuat sia-sia, ia tidak ada gunanya sama sekali. Di tengah wabah Corona ini, memperjuangkan kesia-siaan adalah kebodohan yang nyata.

BACA JUGA  Metamorfoshow: Indoktrinasi Ajaran HTI Kembali Terjadi

NKRI sudah final. Yang harus selalu diupayakan bukanlah merubah sistem, melainkan mengembangkannya ke arah yang lebih baik. Di musim Corona, yang dibutuhkan NKRI adalah berperang bersama melawan wabah tersebut, agar rakyat tak berguguran. Lagi pula apakah dengan tidak berbicara khilafah, Islam benar-benar dalam kemunduran?

Tidak juga. Islam mundur hari ini bukan karena pemusnahan khilafah di tahun 1924, melainkan karena merosotnya mereka terhadap minat pengetahuan. Pemahaman keagamaan hari ini jumud, stagnan, dan rigid. Riset sains sudah tidak ada, bahkan sebagian kalangan puritan mengharamkannya. Itulah puncak dari peradaban kita, Muslim, hari ini.

Sementara khilafah, ia tidak berbicara lain kecuali tentang politik. Tidak ada agenda riset di sana. Yang menumpuk adalah hasrat ingin menjadi penguasa.

Masa Depan Peradaban

Peradaban Islam sedang reot, dan yang ingin merubuhkannya justru adalah mereka yang lantang menggonggong perihal khilafah. Meski secara zahir mereka tampak sebagai para pejuang kemajuan Islam, namun apa yang dilakukan justru mengatakan sebaliknya. Kemajuan seperti apa yang ingin diraih, jika terhadap sejarah politik Islam saja mereka buta?

Yang absen dari pejuang khilafah di masa-masa virus Corona ini adalah kepekaan sosial. Juga perikemanusiaan yang mengutamakan kepentingan kolektif daripada agenda politik instansi. Jika pun khilafah berhasil didirikan, tetapi kemanusiaan menjadi barang yang absen, maka peradaban khilafah tersebut akan ompong.

Sementara semua mesti meyakini, masa depan peradaban membutuhkan bekal mendesak dari yang namanya kepekaan sosial-kemanusiaan. Dan ini tentu tidak dengan cara menegakkan khilafah, apalagi melupakan bahaya Corona lantaran politik kekuasaan. Pandemi global ini adalah musuh bersama, lepas dari negara, agama, suku maupun ras.

Boleh saja memperingati khilafah, jika memang tidak bisa tidak. Tetapi tempatnya bukan di Indonesia. Baiknya mencari lokasi lain, misalnya mendirikan khilafah yang katanya ‘ala manhaj an-nubuwwah—yang kenyataannya palsu—di pulau tak berpenghuni. Mau jungkir balik mendeklarasikan diri tidak ada yang melarang.

Yang jelas lokasinya bukan Indonesia. Negeri ini tidak butuh ke-soktahu-an orang bodoh tentang Islam tetapi mengaku paling Islami. Untuk membangun peradaban, khilafah sebagaimana dipahami para aktivisnya itu, di negeri ini, tidak dibutuhkan. Tugas warga negara sekarang adalah membantu pemerintah dalam melawan COVID-19.

Menyibukkan diri mencari celah kebijakan pemerintah sangatlah tidak perlu. Misalnya dengan mengkritik karena presiden belum menerapkan lockdown di tengah merebaknya Corona. Lebih-lebih kritik tersebut bertujuan melemahkan pemerintah di mata publik, sehingga agenda delegitimasi kepemerintahan berjalan sukses. Siasat yang amat menjijikkan.

Khilafah adalah khilafah. Corona adalah Corona. Tidak perlu memanfaatkan celah di antara musibah-musibah yang terjadi. Persatuan adalah hal yang niscaya. Jika kita membiarkan khilafah menggeliat, itu bukan hanya memalukan wajah Islam ke seluruh dunia, melainkan juga memamerkan reotnya peradaban kita, Indonesia, sekarang.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru