26.7 C
Jakarta
Array

Khilafah Bukan Jaminan Kemaslahatan

Artikel Trending

Khilafah Bukan Jaminan Kemaslahatan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Khilafah menjadi persoalan penting yang perlu dipahami, terutama bagi generasi muda. Kerap kali terjadi permusuhan antar teman, saudara bahkan sanak famili karena perbadaan pendapat tentang falsafah kebangsaan yang secara tidak langsung berafiliasi dengan kehidupan sehari-hari. Memahami khilafah yang pernah diterapkan di zaman dulu dari dinasti ke dinasti akan membuat pola pikir sadar bahwa apapun sistem pemerintahannya bukan jaminan untuk kemashlahat umat Islam dan warga negaranya.

Kelompok eks HTI masih terus melakukan gerakan masif secara gerilya untuk menyuarakan khilafah yang mereka anggap sebagai solusi atas permasalahan umat, maupun problematika negara. Sebut saja jika nilai rupiah melemah, korupsi atau harga barang yang melambung solusinya Khilafah, mungkin mereka tidak tahu sejarah masa lampau yang juga pernah mengalami keadaan ekonomi yang menurun bahkan jauh lebih parah.

Prof. H. Nadirsyah Hosen, PH.D, dalam bukunya yang berjudul Islam Yes, Khilafah No Jilid II menerangkan bahwa setiap pemimpin umat Islam zaman ‘old’ mendapat gelar Khalifah, sejak masa Khulafaur Rosyidin, Umayyah, Abasiyyah, Fathimiyyah, Ayyubiah, Buwaihiyyah, Buwahhidin hingga Ustmaniyah. Setelah Rosulullah wafat, ada pertemuan tokoh-tokoh elit bangsa Arab yang membahas tentang siapa pengganti Rosulullah sebagai pemimpin umat muslim. Terjadi perdebatan cukup panjang antar suku, masing-masing kabilah merasa berhak menjadi pemimpin menggantikan Rosulullah, sampai akhirnya semua kabilah sepakat memilih Abu Bakar As-Shidiq.

Abu Bakar As-Shidiq menjadi pemimpin tidak lama, lalu berijtihad menunjuk Umar bin Khattab sebagai pengganti Abu Bakar As-Shidiq sebagai pemimpin umat muslim. Berbeda dengan cara Abu Bakar As-Shidiq yang langsung menunjuk Umar, sebelum Umar wafat Kholifah kedua itu memilih enam orang yang bisa memilih dan dipilih  untuk menggantikannya menjadi Kholifah ketiga, hingga terpilihlah Ustman bin Affan. Terakhir, berbeda dengan cara ketiga Kholifah sebelumnya pasca Usman bin Affan dibunuh, Ali bin Abi Tholib dipilih oleh khalayak ramai untuk menggantikan.

Kenapa para Sahabat Rosulullah yang paling tahu tentang isi beserta makna Al-Quran dan Hadist tidak menentukan sistem yang permanen untuk cara pemilihan pemimpin dan mengatur sistem pemerintahan yang harus diterapkan disemua negara bagi umat muslim. Sebuah realita terkait fakta sejarah pemerintahan islam di masa lalu pada masa Khulafaur Rosyidin dan pasca Kepemimpinan Ali bin Abi Tholib pun tidak semua baik, sistem khilafah yang diterapkan tidak lantas menjadikan umat islam makmur ataupun mashlahat.

Masa kepemimpinan zaman dulu terdapat fakta perang saudara sesama umat islam, penyebabnya beragam termasuk yang sering terjadi karena perebutan kekuasaan. Imam Ali bin Abi Thalib berperang dengan Muawiyah (Perang Shiffin), Imam Suyuti menjelaskan dalam kitab Tarikh Al-Khulafa bagaimana pasukan Muawiyah yang hampir kalah namun seketika mengangkat Mushaf Al-Quran diujung pedang untuk meminta perundingan.

Ali bin Abi Thalib memahami bahwa ini hanyalah strategi dari Muawiyah yang hampir kalah. Tapi karena memuliakan Mushaf Alqur’an, pasukan Ali bin Abi Thalib memutuskan untuk tidak melanjutkan peperangan dan berunding dengan Muawiyah yang berkahir tragis untuk pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib karena terjadi perpecahan antar umat islam.

Pada masa Abbasiyah pun pernah mengalami perang saudara sesama umat muslim, antara al-Amin dan al-Ma’mun kedua putra Harun ar-Rasyid. Padahal sebelum wafat, Kholifah Harun mengajak kedua anaknya pergi haji kemudian menuliskan wasiatnya yang disimpan di dinding Ka’bah bahwa Al-Amin akan menggantikan Kholifah Harun, dan setelah al-Amin wafat maka al-Ma’mun yang menjadi Kholifah selanjutnya. Namun, sejarah berkata lain, walaupun wasiat dari Kholifah Harun diletakan di Ka’bah sekalipun nafsu duniawi berupa tahta kekuasaan mengalahkan segalanya. Al-Amin kalah dalam peperangan dan kepalanya dipenggal, lalu al-Ma’mun yang menjadi kekhalifahan Dinasti Abbasiyah.

Khalifah al-Wasiq pemimpin yang membunuh ulama, Khalifah al-Mu’tazz yang mengalami krisis ekonomi dan disiksa pasukannya karena tidak dibayar, Khalifah al-Muqtadir yang menjadi Khalifah saat berusia 13 tahun, Khalifah al-Muttaqi yang taat beribadah namun tidak cakap memimpin negara, sampai masa akhir kepemimpinan Dinasti Abbasiyah yang terjadi perang salib.

Beberapa fakta sejarah diatas hanyalah sebagian contoh kekacauan yang pernah terjadi di masa Khilafah. Masih panjang daftar masalah yang terjadi pada zaman dulu, dalam jangka waktu yang panjang ada saatnya kekhilafahan mendatangkan kemashlahatan seperti di masa Khalifah Harun ar-Rasyid namun ada juga priode kekhilafahan dimana kekacauan akibat perebutan kekuasaan atau kemiskinan karena Khalifah yang tidak cukup ahli menjadi pemimpin. Eks HTI menganggap bahwa Khilafah adalah satu-satunya solusi ternyata juga membawa masalah pada umat islam yang tercatat dalam kitab Tarikh Thabari karya imam al-Thabari dan Tarikh Khulafa karangan Imam Suyuthi.

Fakta ini membuktikan bahwa bagaimanapun sistem pemerintahan yang diterapkan baik Khilafah, ke-Amir-an, Kerajaan ataupun Republik itu bukan jaminan kemashlahatan bagi warga negaranya. Khilafah pula bukan inti ajaran islam, tidak menerapkan Khilafah bukan berarti kita tidak menerima ajaran islam.

Berbeda dengan sistem demokrasi yang terus meng-upgrade kebijakan sesuai keadaan zaman, masa jabatan pun dibatasi dalam satu priode. Jika Khilafah sudah dikalim satu-satunya solusi yang harus ditegakkan untuk umat islam, sama saja mengaggap islam Khilafah sempurna dan seharusnya hasilnya akan lebih baik tanpa menimbulkan berbagai masalah ataupun perang antar sesama umat islam.

Pendukung Khilafah pada zaman sekarang tidak ingin mengungkap fakta sejarah kepemimpinan dengan sistem Khilafah yang terjadi di masa lalu dan menyerang Pemerintah Republik Indonesia dengan sistem demokrasinya seolah-olah Khilafah bisa mengatasi masalah internal dan eksternal di Indonesia yang sejatinya adalah warisan masalah dosa pemerintahan RI zaman dulu.

Jika masih saja bersikeras ingin menegakkan Khilafah, kenapa mereka tidak mau bersatu dengan organisasi yang juga mempunyai niat yang sama seperti ISIS, al-Qaeda, al-Nusro dan lain sejenisnya.

NKRI merupakan rumah keberagaman, kesepakatan yang dibangun oleh pendiri bangsa adalah mengutamakan persatuan yang melahirkan Pancasila sebagai Ideologi negara. Pancasila telah mengawal 73 tahun lebih bangsa Indonesia membangun kesatuan nasional, oleh karena itu tidak perlu lagi mencari sistem pemerintahan lain di luar Pancasila yang tidak menjadi jaminan kemashlahatan bagi bangsa Indonesia.

Para pendiri dan pemimpin terdahulu telah sepakat bahwa tidak satupun sila dalam Pancasila yang melanggar syariat Islam. Mencegah kehancuran lebih diutamakan daripada memperoleh keuntungan. Jika Indonesia menerapkan sistem Khilafah, berapa banyak daerah yang akan memisahkan diri karena mayoritas penduduknya beragama non-muslim. Sehingga akibatnya perpecahan bahkan peperangan akan terjadi di tanah air.

*Oleh: Febi Akbar Rizki, mahasiswa Universitas Islam Malang.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru