Harakatuna.com. Jakarta – Bagi para penceramah, dai, atau mubalig, jangan merasa paling sunnah, paling benar dalam beragama, dan saling menjatuhkan klaim sebagai ahlussunnah.
Bahkan, jangan terjebak atau ikutan larut dalam perdebatan internal, saling menjatuhkan hingga gampang bid’ah, Syiah, apalagi mengkafirkan. Cara-cara ini tidak elok dan tentu juga tidak termasuk sunnah dalam berceramah atau menyampaikan dakwah.
Berkaca dari kasus yang terjadi di kawasan Timur Tengah, di sana meski sama-sama Arab dan beragama Islam, mereka pecah dan sulit disatukan disebabkan perbedaan pandangan keagamaan.
“Kalau Muhammadiyah masuk ke dalam pertikaian tentang istilah ini tidak jadi kita bikin rumah sakit. Habis energi kita untuk bertikai secara internal,” kata Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Fathurrahman Kamal, dalam kajian rutin yang diadakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) pada Sabtu (22/6/2024).
Alumni Arab Saudi ini menjelaskan, di masa sekarang terkadang perdebatan tidak lagi tentang pelaksanaan sunnahnya, tapi lebih kepada sensitivitas golongan – sosiologis dan psikologis yang ditampakkan melalui simbol-simbol dangkal.
Terkait dengan perbedaan beberapa pandangan disebabkan oleh pendekatan yang digunakan di antara mereka. Oleh karena itu Muhammadiyah, kata Fathur, antara ilmu agama dengan sains merupakan dua hal yang saling menopang bukan saling kontradiktif.
Merujuk pendapat dari Imam Ibnu Hazm, ahlussunnah adalah mereka ahlul haq yaitu lawan dari ahlul bid’ah. Tapi yang perlu dicatat adalah tidak setiap persoalan khilafiyah dalam agama otomatis itu adalah bid’ah.
Di antara perbedaan-perbedaan definisi bid’ah dalam konteks hadiah pahala bagi orang yang meninggal, kata Fathur, mubalig dan warga Muhammadiyah tidak boleh gamang dalam pelaksanaan agama Islam.
Sebab terdapat berbagai pandangan yang disampaikan oleh ulama besar dunia, misalnya Imam Syafii yang cenderung menerima tradisi tersebut, dan Imam Hambali yang menolak tradisi keagamaan tersebut.
“Termasuk orang qunut itu juga bukan bid’ah, itu persoalan khilafiyah. Beberapa teman saya yang baru pulang dari Madinah itu yang masih kurang jauh ngopinya di awal-awal mengharamkan qunut, tapi semakin ke sini, mereka tidak mengapa qunut,” katanya.
Fathurrahman berseloroh dengan mengajak para mubalig yang mudah membid’ahkan yang lain untuk ngopi, sebab dia memandang saat ini surplus bid’ah – bukan persoalan dalil tapi kurang luasnya radius pergaulan dan bacaan.