31 C
Jakarta

Ketika Istri Menafkahi Suami

Artikel Trending

Asas-asas IslamAkhlakKetika Istri Menafkahi Suami
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pagi itu masih tampak meremang kabut. Matahari belum juga terbit. Hawa dingin merasuk menggigil kulit. Usai jama’ah salat subuh, Aminah dengan agak tergesa beranjak dari hamparan sajadahnya. Sebagaimana lazim saban pagi, ia mengemas barang-barang dagangan untuk dijual di pasar. Dengan cukup cekatan, ia mengendarai sepeda motor butut, beranjak meninggalkan rumah. Sepertinya ia terburu-buru. Telat baginya adalah kerugian. Kemaren misalnya, dagangannya numplek banyak yang tak laku.

Aminah termasuk sosok pedagang yang cukup ulet. Dengan hanya mengandalkan modal pas-pagan, profesi ini ditekuni penuh kesabaran. Ia pantang menyerah. Walau kata tetangga, kemiskinan itu adalah takdir yang harus diterima. Tetapi baginya, suratan takdir ini bisa diubah dengan usaha bukan hanya doa. Bukankah Allah telah berfirman “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. ” [QS. al-Ra’du (13): 11]

Istri bekerja memang tidak lazim (biasa). Tapi apa boleh buat, Aminah harus kerja keras untuk mencari uang makan buat keluarganya. Gara-gara sang suami tak lagi punya kesempatan bekerja, dia menjadi tumpuan satu-satunya untuk mempertaruhkan hidup keluarganya. Memang begitu melelahkan, namun ia jalani dengan tabah, walau terkadang dia tak kuasa menahan derai air mata.

Cuplikan cerita di atas bukan hanya ciptaan ilustrasi imajinasi belaka, tetapi telah menjadi realitas yang sering kita temukan dalam relung kehidUpan masyarakat. Di tengah jeratan krisis ekonomi yang kian tak berujung, rakyat harus pontang-panting merogoh penghasilan apalagi lahan pekerjaan semakin sulit dicari, rakyat semakin mengenaskan. Akibatnya kesejahteraan rakyat menjadi terancam.

Begitu juga dalam kehidupan rumah tangga. Ekonomi menjadi pilar utama demi keberlangsungannya. Susah dan bahagia biasanya diukur oleh kondisi ekonomi keluarga. Memang terkesan material tapi itulah yang terjadi. Bisa kita bayangkan, bagaimana nasib rumah tangga yang ekonominya masih morat-marit. Tak bakalan bahagia. Terlebih ketika suami tidak mempunyai kesempatan kerja lagi, maka kesejahteraan rumah tangga yang diidam-idamkan hanya mimpi belaka.

Kisah Aminah di atas menarik untuk kita simak. Setidaknya, sosok Aminah adalah sebuah fenomena baru. Profil seorang istri yang tegar. Dia keluar rumah berlabuh menerjang terik matahari demi sesuap rezeki buat anak dan suaminya. Masyaallah, sungguh berat tantangan hidup yang ia hadapi. Bukan hanya Aminah. Di jaman mutakhir ini, banyak perempuan memilih keluar rumah, bekerja di tanah seberang menjadi TKW, berdagang, pegawai sipil dan lain-lain. Satu yang menjadi tujuannya, keluar dari renggutan kesulitan ekonomi yang melilitnya. lnilah prestasi yang dicatat oleh kaum perempuan. Mereka sukses berkarir. Tak ayal, terkadang istilah yang menjadi sumber penghidupan keluarga. Suami mungkin bisa bernafas lega bebannya sedikit terkurangi. Kenyataan inilah yang banyak menuai pembahasan dalam hukum Islam. Apakah kewajiban nafkah memang sepenuhnya beban bagi suami? Bagaimana dengan istri? Benarkah ia sama sekali tidak punya beban dalam mencari nafkah keluarga?

Perkawinan pada hakikatnya adalah sebuah ikhtiar (usaha) manusia dalam merajut kebahagiaan hidup mahligai rumah tangga. Pesan inijelas tertera dalam surat ar-RUm ayat 21.

BACA JUGA  Cara Rasulullah Agar Harta Kita Membawa Keberkahan

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang”. [QS. al-Rum (30): 21]

Sayangnya, fisik dan psikis tak selamanya seirama. Terkadang kenyataan tak sejalan dengan harapan. Keluarga harmoni sering hanya menjadi ikrar kala khotbah nikah dikumandangkan. Banyak keluarga dirundung duka lara gara-gara pasangan tidak sepaham. Na’udzubiliah, ini harus dihindari.

Untuk mewujudkan cita-cita tinggi dan mulia ini, tentu tidak hanya mengacu pada prinsip-prinsip pribadi. Sebagai seorang muslim. al-Qur’an harus dijadikan sandaran dalam membangun rumah tangga. Setidaknya ada dua prinsip dalam berkeluarga yang diajarkan al-Qur’an. Pertama, menjalin hubungan yang harmonis (wa’asyiruhunnna bi alma’ruf). Yaitu santun dalam berkata, ramah dalam bersikap termasuk dalam urusan nafkah. Si suami dengan penuh kesadaran menjalankan kewajiban memberi nafkah. Sedangkan si istri ikhlas menerima pemberian dari suami. Kedua, saling melindungi dan mengayomi. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. lnilah sesungguhnya inti dari pesan moral al-Qur’an hunna liba’rsu ai-lakum wa antum libasu al-lahun (istrimu adalah pakaianmu dan kamu juga pakaian mereka). Hal ini akan melahirkan rasa keseimbangan hak dan kewajiban antara suami istri. Semisal pembagian tugas rumah tangga yang meliputi ranah domestik (urusan dalam rumah tangga) dan publik (urusan luar rumah tangga).

Hidup berkeluarga ibarat mendayung layar menuju dermaga biru. Seperti juga kepakan sayap merpati mengukir tujuan. Kedua sayapnya menggambarkan sepasang suami istri yang tengah berpacu, bahu membahu dalam mengarungi bahtera kehidupan. Sudah barang tentu, burung tidak bisa terbang bila salah satu sayapnnya tidak berfungsi. Oleh karena itu butuh kerja sama. Begitu juga dengan suami istri. Mereka harus mulai menyadari bahwa pernikahan memang diancangkan Untuk menciptakan organisasi dan pembagian tugas (division of labour) yangjelas dalam keluarga. [Fiqhu as-Sunnah, 11:ll]

Dari pembagian peran dan tugas di atas, kemudian muncul kewajiban dan hak bagi masing-masing pasangan dalam aneka urusan rumah tangga, tak terkecuali urusan biaya hidup rumah tangga yang cukup berperan terhadap jalannya biduk rumah tangga. Dalam hal ini lslam mengajarkan akan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pasangan. Allah berfirman :

“Talak adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah”.

Al-hasil, keharmonisan rumah tangga merupakan mutiar berharga yang harus dijaga oleh sepasang suami istri. Jangan sampai hanya persoalan perut, ikatan itu menjadi tercerai-berai. Soal perut semestinya menjadi tanggungjawab bersama. Antara suami dan istri sama=sama memiliki kewajiban untuk mengembangkan Ekonomi keluarga, senyampang masih dalam koridor bisa menjaga hak dan kewajibannya. Saling pengertian dan menghormati itu adalah kiat mujarab untuk merajut kebahagiaan rumah tangga yang mawaddatan wa rahmah. Baiti jannati. Rumahku adalah surgaku. Istriku adalah bidadariku. ltulah sabda Nabi yang patut kita renungkan dan sekaligus gambaran tentang keluarga sakinah. Falyataammal.

Sumber: Fikih Progresif

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru