32.1 C
Jakarta

Ketertindasan Islam dan Pelajaran untuk Seluruh Umat

Artikel Trending

Milenial IslamKetertindasan Islam dan Pelajaran untuk Seluruh Umat
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ratusan orang tewas dalam suatu masjid di Pakistan, beberapa hari lalu, karena serangan bom bunuh diri. Kabar tersebut segera menjadi headline internasional tentang kebrutalan umat Islam. Alih-alih umat jadi sasaran kritik, Islam sendirilah yang justru menjadi korban—dituduh sebagai agama kekerasan yang membuat reputasinya di mata dunia rusak. Pada saat yang sama, sebagian umat Islam justru merasa tertindas dan hendak melakukan konfrontasi. Bagaimana bisa begitu?

Jadi, kalau diamati bersama, umat Islam dan umat yang anti-Islam sama-sama punya pandangan negatif satu sama lain. Yang satu menuduh orang kafir melakukan penindasan terhadap Islam dan harus dilawan, yang lainnya merasa tidak aman karena meyakini Islam membenarkan ekstremisme. Yang pertama memantik fenomena teror di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan yang kedua memantik islamofobia. Terhadap yang kedua ini, anehnya, yang pertama juga merasa marah.

Dalam puncak kemarahan antara satu sama lain itulah, umat Islam sering kali lupa ajaran ideal agamanya sendiri, kalah oleh hasrat untuk mematahkan agama lain—bahkan menindas balik sebagaiman Islam juga diperlakukan demikian. Teror pun menjadi alternatif yang, dalam pandangan mereka, adalah taktik memorak-perandakan musuh. Potret Islam sebagai agama rahmat kemudian luntur, dan terkikis habis setelah terorisme jadi fenomena umum.

Pada saat yang sama, pemberitaan tentang aski-aksi teror di berbagai belahan dunia terus menciptakan ketakutan kolektif. Kelak, ketakutan tersebut menjelma sebagai kebencian terhadap Islam atau islamofobia. Jadi faktor islamofobia itu tidak tunggal. Boleh jadi ia disebabkan agenda politik untuk mendiskreditkan Islam. Namun kebanyakan terjadi karena kawin silang antara ketidaktahuan akan Islam dengan berita-berita mengerikan tentang terorisme. Komplit.

Terorisme dan Islamofobia

Terorisme dan islamofobia adalah musuh bersama. Tidak ada yang baik dari keduanya. Sama-sama buruk untuk umat dan sama-sama merusak citra Islam. Aksi teror yang dilakukan untuk menakuti pihak-pihak yang dianggap musuh Islam adalah tindakan tidak manusiawi yang sangat ditentang Islam. Begitu pula, aksi teror yang dilakukan karena kebencian pada Islam adalah tindakan brutal yang mencederai kerukunan. Keduanya, sejatinya, adalah sama-sama terorisme.

Namun demikian, islamofobia lebih terstruktur sebagai deislamisasi, yang berupaya menciptakan narasi dan imej global bahwa Islam merupakan agama yang layak dinista. Faktornya lebih kompleks daripada terorisme, maka sebenarnya islamofobia juga mengandung nilai-nilai terorisme—lebih teroris daripada terorisme itu sendiri. Bahkan dalam konteks aksi teror disepakati sebagai tindakan terkutuk, islamofobia tidak pernah lebih baik dari itu. Semua orang harus menyadarinya.

Di sisi lain, terorisme juga tidak selalu berkenaan dengan Islam. Para komunis di China menebarkan teror kepada etnis Uighur. Para penganut Buddha di Myanmar juga menebar terorisme kepada etnis Rohingnya. Di India, umat Hindu jadi teroris yang membuat umat Islam tertindas. Di Israel, umat Yahudi bertahun-tahun meneror Palestina yang mayoritas Islam. Intinya, terorisme selalu berkaitan dengan agama mayoritas, kendati Barat lebih mengidentikkan terorisme sebagai “Islam”. Sangat politis.

BACA JUGA  Homo Academicus Diam Pada Ajaran Wahabi?

Terorisme dan islamofobia merupakan faktor yang saling memengaruhi satu sama lain. Jika orang-orang islamofobis tidak berhenti lakukan aksi yang memancing amarah umat, maka terorisme tidak akan pernah habis. Jika terorisme tidak pernah berhenti dilakukan oleh sebagian umat pegiat khilafah dan para maniak negara Islam, islamofobia akan terus muncul di seluruh dunia. Garis besar pelestari keduanya adalah, tidak lain, saling “merasa tertindas”.

(Merasa) Tertindas

Prinsipnya, tidak ada orang di dunia ini yang ingin tertindas. Penindasan bertentangan dengan ajaran agama dan kesepakatan HAM. Penindasan harus dilawan dan kemerdekaan harus diperjuangkan. Pihak penindas selalu jadi sasaran tembak. Sehingga, sebrutal apa pun penindasan dilakukan, pelakunya tidak akan mengakui kesalahan mereka. Tidak hanya itu, untuk mengelabui sorotan dunia, mereka lebih suka merasa terindas karena dengan tertindas alibi pembelaan diri bisa dilakukan.

Katakanlah Israel dan Palestina. Sudah jelas bahwa zionis Yahudi menjajah, merampok, mencuri, dan menindas orang Palestina, namun Israel justru berkilah dengan merasa tertindas. Intrik tersebut Israel lakukan dengan bilang kepada dunia bahwa orang Palestina di masa lalu merebut Yerussalem dari umat Yahudi, dan pencaplokan Palestina yang mereka lakukan selama puluhan tahun tidak lain adalah upaya perebutan kembali tanah Israel. Melalui monopoli sejarah, Israel mengklaim diri tertindas.

Ketertindasan Islam juga ada dalam nuansa tersebut. Kalau ditanya, apakah para teroris hendak menindas dunia dengan aksi-aksi teror mereka? Jawabannya jelas: tidak. Dalam pikiran teroris, kebrutalan mereka bukanlah penindasan, melainkan balas dendam agar tidak ditindas oleh pihak kafir—Barat dan sekutunya. Teroris merasa tertindas dan berupaya membalas agar tidak terus ditindas. Pola pikir ini juga dianut oleh pelaku islamofobia.

Orang yang islamofobia merasa tertindas dan berupaya meluapkan kekecewaannya melalui aksi-aksi konyol yang alih-alih menyelesaikan masalah, justru semakin menyulut ketegangan dengan umat Islam. Pembakaran Al-Qur’an, sebagai contoh. Umat Islam akan marah dan sebagian umat Islam yang menganut terorisme akan melakukan balasan melalui teror. Jadi, masalah tidak akan selesai. “Merasa tertindas” menjelma sebagai langkah menuju penindasan itu sendiri.

Dengan itu semua, ada pelajaran yang bisa diambil oleh umat Islam. Yakni, bagaimana menjadi Muslim yang baik; mengasihi sesama; dan tidak membalas kebencian dengan kebencian. Marah terhadap aksi pembakaran Al-Qur’an atau pun aksi islamofobia lainnya itu lumrah, bahkan wajib, tapi penyelesaiannya tidak boleh dengan balas dendam teror. Serahkan kepada otoritas terkait; aparat keamanan. Hanya dengan cara itu, dunia akan melihat kebijaksanaan Islam dan ajaran belas-kasih di dalamnya.

Umat Islam harus belajar untuk menahan diri dari emosi-emosi tak terkontrol yang mendorongnya untuk menebarkan teror, bahkan terhadap mereka yang jelas-jelas musuh. Umat Islam harus memahami bahwa terorisme—sebagai ideologi maupun pelampiasan dendam belaka—tidak pernah bisa menyelesaikan masalah. Umat Islam harus maju pikirannya, juga maju langkahnya. Islam harus melek ilmu agar peradabannya maju, bukan malah jadi teroris hanya karena romantisme kejayaan masa lalu.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru